Laura menekan bel rumah Revan, berharap Revan yang membukakan pintu itu untuknya.
Tapi sayang harapan tinggal harapan karena ternyata bi Marni yang membukakan pintu untuk Laura.
"neng Laura, ayo masuk"
Laura terdiam, tak ada yang bisa dia lakukan karena bi Marni gaj akan mengerti dengan dirinya.
"den Revan di kamar neng, beberapa hari ini den Revan gak keluar sekali pun untuk makan juga susah neng"
Laura menunduk sesaat, kemudian meminta izin untuk menemui Revan, bi Marni memang tak begitu paham dengan cara komunikasi Laura tapi bi Marni yakin tujuan Laura datang adalah untuk menemui Revan.
Laura menyusuri rumah Revan menuju ke kamarnya, Laura tahu dimana kamar Revan jadi tidak perlu untuk diantar.
Laura mengetuk pintunya dengan sedikit keraguan, takut-takut jika Revan akan mengusirnya.
"aku udah bilang gak mau makan kenapa sih bi, simpan aja buat nanti atau nggak bibi makan aja sendiri"
Laura memejamkan matanya sesaat dan kembali mengetuk pintu menyiapkan diri akan hal yang pasti terjadi, Laura tersenyum saat pintu terbuka dan sosok Revan yang muncul dibaliknya.
"untuk apa kesini, aku kan sudah bilang aku yang akan datang nanti"
Ucap Revan tiada keramahan, Laura menahan pintu yang hendak ditutup kembali oleh Revan.
Meski tanpa izin Revan, Laura memasuki kamar tersebut.
"apa lagi, aku gak ingin diganggu"
Laura tak peduli, langkahnya semakin mendekati Revan, hatinya sedih karena keadaan itu melihat Revan yang berbicara membelakanginya dan dengan nada yang penuh ketidak sukaan.
Laura sampai dihadapan Revan dan berusaha mengarahkan pandangan Revan padanya.
"apa lagi, aku udah tanya dari tadi untuk apa kesini"
Laura menggeleng, tatapannya penuh harap akan kelembutan Revan seperti sebelumnya.
"kenapa diam, ayo ngomong bukankah waktu itu kamu udah bisa bicara kamu bisa kan sebut nama aku, sekarang kenapa diam apa harus ada Gilang baru kamu bisa bicara"
Laura mengernyit, kedua tangannya berusaha meraih tangan Revan.
Tapi lagi-lagi Laura harus menahan sedihnya karena Revan dengan cepat menghindarinya.
"kamu bicara aja, gak usah ditutup-tutupi lagi aku kan udah tahu"
Revan menatap Laura yang dianggap memaksakan segalanya, Revan tak mengerti dengan semua keadaannya satu yang Revan mengerti adalah Laura telah membohonginya.
"kenapa seperti ini, apa aku pernah bohong sama kamu, jangankan hal besar dalam hal kecil saja apa aku pernah bohong sama kamu"
Laura menggeleng, air matanya tak dapat ditahan Laura sedih dengan semuanya dengan keadaan dirinya dengan Revan dan dengan hubungannya.
"aku gak minta kamu buat nangis, aku cuma minta kamu bicara, kamu kesini mau jelasin semuanya kan, ayo bilang"
Laura mengangkat tangannya dan mulai memainkan jemarinya memberikan berbagai isyarat, Revan tersenyum miris melihat hal itu rasanya Laura benar-benar membodohinya.
"itu apa artinya, aku gak ngerti semua itu, aku gak ngerti gerakan-gerakan seperti itu"
Laura mengernyit, tak ingin menyerah Laura.mengeluarkan ponselnya dan mulai mengetik apa yang ingin dikatakannya.
Revan semakin merasa miris terhadap dirinya sendiri setelah melihat perlakuan Laura.
"aahh....
Laura memberikan ponselnya dan diterima Revan, tanpa sempat Revan membacanya ponsel itu lebih dulu dilemparkan keluar jendela.
Laura menganga melihat tindakan Revan, itu adalah cara untuknya menjelaskan semua tapi Revan tak mempedulikannya.
"setelah aku tahu semuanya dan kamu masih mau menganggap aku bodoh, maksud kamu apa aku minta kamu bicara Laura bicara, bukan dengan jari bukan dengan ponsel tapi bicara gunakan mulut mu untuk bicara"
Laura menunduk dan memejamkan matanya berharap bisa menahan air matanya, setelah lama bersama itu adalah pertama kalinya Revan berani membentaknya begitu kasar.
Revan mengusap wajahnya prustasi, bukan mendapat jawaban untuk pertanyaannya Revan malah mendapat air mata.
"diamlah, gak usah nangis aku gak minta kamu nangis apa kamu gak dengar, aku minta kamu bicara jelasin semuanya jangan diam seperti ini karena sekarang aku gak percaya lagi dengan kebisuan kamu"
bentakan demi bentakan yang terdengar ditelinganya telah menggoreskan luka dihatinya, air matanya semakin deras mengalir dan Laura kini telah terisak, jantungnya berdetak hebat kesedihan yang sejak tadi ditahannya telah berganti menjadi luka dan tak bisa lagi untuk ditahan.
Laura merasa salah dengan menemui Revan jika saja Laura bisa sabar menunggu Revan menemuinya mingkin luka itu tak akan dirasakannya.
Revan terdiam menatap Laura, matanya memerah dan hatinya pun ikut terluka.
Revan tak ingin melakukan semuanya tapi Laura memaksanya untuk melakukan itu, andai Laura memberikan jawaban sesuai dengan keinginan Revan tentu hal itu tak akan terjadi.
Kini keduanya sama-sama terluka, kebisuan Laura telah menambah luka dihati Revan dan gara-gara hal itu juga Revan harus memberi luka dihati Laura.
"Laura, aku cuma....
Laura mengangkat tangannya meminta Revan untun diam, Laura kembali menatap Revan dengan sisa kekuatannya Laura menggeleng dan tersenyum.
Laura menyantukan kedua tangannya dan mengangkatnya didada, Laura mengangguk dan melangkah pergi meninggalkan Revan.
Laura tak ingin lebih lama lagi berada disana semakin lama mungkin Laura akan kehilangan perasaannya.
"Laura, kamu mau kemana"
Laura tak peduli langkahnya terus saja terayun menjauh dari kamar Revan, Revan berlari ke ambang pintu untuk menghentikan Laura.
"Laura, kalau kamu pergi berarti kamu memilih untuk gak ketemu lagi sama aku"
Laura menghentikan langkahnya, bibirnya mengukirkan senyuman, Laura tak pernah memutuskan itu jika itu terjadi Revanlah yang memutuskannya.
Laura kembali melangkahkan kakinya tak peduli dengan Revan yang terus menerus memanggilnya dan memintanya untuk berhenti.
"sekarang jelas bagi ku, kamu membenarkan semua pemikiran buruk aku tentang kamu"
Revan kembali tersenyum penuh kepedihan, Revan sudah memberikan kepercayaan dan keyakinannya pada Laura tak peduli dengan kekurangannya tapi ternyata balasan untuknya adalah kebohongan.
"terimakasih Laura, dan memang benar kamu memang gadis istimewa, sangat, sangat istimewa"
Disisi Lain, Laura menyusuri pingiran jalan, langkah kakinya ditemani dengan air mata yang tak henti mengalir.
Laura tak mengerti dengan semuanya, Laura berusaha menahan isakannya saat mengingat bentakan Revan padanya.
Laura benar-benar tak pernah menyangka kedatangannya ke rumah Revan akan berakhir dengan rasa sakit seperti itu.
"hey, apa harus sampai menangis seperti ini"
Laura menghentikan langkahnya dan melihat sosok dihadapannya, Gilanglah yang berdiri disana.
Laura menggeleng isakannya yang sejak tadi ditahan meluap begitu saja saat Gilang menariknya kedalam dekapannya.
"tenanglah Laura semua akan baik-baik saja, gak akan lama semua akan kembali baik, kalian akan kembali bersama dan akan tetap bersama, jangan lupa dengan cinta yang kalian miliki itu yang akan tetap menyatukan kalian berdua"
Gilang mengusap lembut kepala Laura yang masih terus saja menangis dalam pelukannya.