Chereads / Ujung Yang Manis / Chapter 30 - Amnesia kecil

Chapter 30 - Amnesia kecil

Alarm yang disetel pada ponsel Gabriela berdering saat jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi.

Sebenarnya sudah sedari tiga jam yang lalu alarm itu berbunyi sampai Bi Elis rasanya gatal mendengarnya dan berharap nyonya besarnya itu segera bangun.

Tetapi naas alarm itu terus berbunyi dari 3 jam yang lalu.

Ingin rasanya Bi Elis membangunkan majikannya itu tetapi ia takut mengganggu waktu istirahat Gabriela, jadi dia mengabaikan bunyi alarm dan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya.

Bi Elis yakin jika Gabriela pasti sangat kelelahan sehingga tidak dapat mendengar alarm yang bunyinya sangat nyaring itu.

Bagaimana tidak, Bi Elis yang ada di dapur saja masih bisa mendengarnya lalu kenapa Gabriela tidak dapat mendengarnya?

Ia tidak peduli jika nanti Gabriela bangun dia akan mendapat omelan karena tidak membangunkannya, Bi Elis sudah tahu jika alarm itu disetel agar Gabriela tidak terlambat berangkat bekerja.

Tetapi saat ini nyonya besarnya itu masih berduka dengan meninggalnya sang suami meksipun Bi Elis tidak yakin jika Gabriela akan bersedih karena ditinggal sang suami pergi untuk selama-lamanya.

Bunyi alarm semakin memekakan telinga ketika Gabriela masih terlelap dalam tidurnya.

"Eunghhh... Sudah jam berapa ini." Begitu melihat jam yang melekat pada dinding wanita itu langsung bangun dari posisinya yang sebelumnya terlentang, "Astagaaa... Sudah jam 8 tapi kenapa Aris tidak membangunkan aku?"

Gabriela merapikan rambutnya sebelum dia beranjak dari tempat tidurnya, "Mck, apa dia masih marah karena pertengkaran kita kemarin malam."

Tidak biasanya Gabriela bangun sesiang ini, biasanya dia bangun jam 5 itu pun atas bantuan alarm yang disetelnya di ponsel miliknya.

Dia juga menyetel alarm tetapi kenapa sekarang alarm itu tidak terdengar di telinganya?

Atau jangan-jangan karena kelelahan Gabriela tidur terlalu nyenyak sehingga dia tidak bisa mendengar bunyi alarmnya.

Wanita itu beranjak dari tempat tidurnya, meskipun sudah terlambat untuk pergi ke kantor mau tidak mau harus Gabriela bangun untuk menjalani aktivitas seperti biasanya, "Ngomong-ngomong kemana Aris tumben dia tidak berisik, biasanya jika aku kesiangan dia akan membangunkan aku dengan mulutnya yang berisik itu." tanyanya secara tidak sadar.

Apakah Gabriela mulai merasa kekosongan dalam dirinya sehingga dia menanyakan kemana perginya lelaki yang selama tiga tahun ini tinggal satu atap bersamanya.

Wanita itu menepuk keningnya pelan, "Astaga kenapa aku bisa lupa jika kemarin Aris berangkat pergi keluar kota, ada apa dengan ku biasanya aku tidak pernah mencari Aris seperti ini."

Gabriela melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mencari keberadaan Aris, tidak biasanya ia mencari lelaki itu. Berkali-kali dia bertanya pada dirinya sendiri kenapa dia mencari keberadaan lelaki itu.

"Nyonya, nyonya besar dan tuan datang."

Gabriela menoleh pada Bi Elis yang berjalan dari arah pintu depan, di susul oleh ayah dan ibunya yang berjalan menghampirinya.

"Ayah, ibu."

Mereka tersenyum ketika melihat Gabriela terlihat baik-baik saja, awalnya mereka mengira bahwa Gabriela akan mengurung diri di kamar atau semacamnya tapi sekarang mereka lihat Gabriela nampak baik-baik saja, dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya.

Padahal dia baru saja kehilangan orang yang sangat di sayanginya.

Sarah maupun sang suami sangat yakin bahwa anak perempuannya itu adalah orang yang kuat, dia tidak mungkin melakukan hal-hal bodoh setelah ditinggal oleh sang suami untuk selama-lamanya.

Dan sekarang terbukti bahwa tidak terjadi apa-apa pada Gabriela, bahkan wajahnya tidak terlihat sedih atau semacamnya.

Apa mungkin Gabriela sudah mengikhlaskan kepergian suaminya atau justru sekarang Gabriela tengah memasang wajah baik-baik saja miliknya, agar kedua orang tuanya percaya bahwa dia baik-baik saja?

Apapun alasannya, yang terpenting Sarah dan sang suami senang melihat Gabriela baik-baik saja.

"Kau baru bangun, sayang." Ujar sang ibu yang baru saja mengusap puncak kepalanya.

Karena kasihan dengan sang ibu, wanita itu mengambil alih kantong plastik berisi banyak makanan yang dibawa oleh ibunya itu, "Tumben Ayah dan Ibu datang pagi-pagi begini, memang ayah tidak pergi ke kantor?"

Kedua orang tua tersebut sontak saling bertukar pandang lalu memusatkan fokus mereka pada Gabriela.

"Ayah mengambil cuti untuk beberapa hari kedepan karena ayah masih dalam masa berkabung. Ayah tidak mungkin berangkat ke kantor jika ayah aja belum percaya apa yang terjadi kemarin." Ayah Gabriela itu memelankan suaranya diakhir kalimatnya.

"Memangnya siapa yang meninggal?"

Begitu mendengar sang anak tidak mengingat siapa yang kemarin meninggal, Sarah langsung mendekatkan dirinya pada sang putri, "La..."

Gabriela menoleh, "Ibu, siapa yang meninggal kenapa ayah sampai tidak berangkat bekerja?"

Dengan sekuat hati Sarah menahan air matanya agar tidak keluar, sungguh ia sakit melihat anak perempuannya bertingkah seolah tidak tahu apa-apa.

Entah disengaja ataupun tidak, tetapi Sarah tetap merasa kasian pada Gabriela.

"Ibu katakan pada ku, siapa yang meninggal."

Sarah mengunci kedua netra milik Gabriela, "Aris. Kemarin Aris baru saja meninggal La, apa kau tidak ingat?"

"Aris me-meninggal? Bagaimana-" ucapan Gabriela terpotong ketika mengingat seseorang menelponnya dan mengatakan bahwa Aris mengalami kecelakaan saat hendak menuju ke Bandara.

"Maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin tetapi nyawa pasien tidak bisa diselamatkan, dan saya selaku dokter yang menanganinya menyatakan bahwa saudara Aris meninggal. Kami semua turut berduka atas kepergian saudara Aris untuk selama-lamanya, semoga keluarga yang ditinggalkan diberi keikhlasan."

Saat dimana dokter mengatakan bahwa Aris sudah meninggal dunia juga teringat dengan jelas di kepala Gabriela.

"J-jadi Aris sudah meninggal bu?"

Sarah menganggukkan dengan kedua matanya yang mengisyaratkan kesedihan.

"Pantas saja dia tidak membangunkan aku untuk berangkat bekerja, dia juga tidak ada didapur setiap aku pergi ke dapur. J-jadi Aris sudah meninggal? Tapi kenapa aku masih merasa bahwa dia masih hidup bu, sebenarnya aku sedang mimpi atau apa?"

"Kau tidak mimpi La, maaf tapi ibu harus mengatakan ini pada mu." Gabriela menatap sang ibu, "Aris, suami mu sudah pergi untuk selama-lamanya. Tapi kau tidak perlu bersedih karena ayah dan ibu akan selalu ada disamping ku, sayang."

Gabriela masih tidak percaya ketika ibunya itu mengatakan bahwa Aris sudah meninggal, tetapi jika ditelusuri lebih dalam ia sendiri mengingat bagaimana Aris dinyatakan meninggal dunia oleh dokter yang menanganinya.

Bodohnya Gabriela, kenapa dirinya seolah menganggap Aris masih hidup dan tinggal bersama dengannya.

Apa Gabriela  mulai terbiasa dengan kehadiran Aris dalam kehidupannya?

Gabriela menggigit bibir bawahnya kuat, "Aris meninggal..." Lirihnya.

Seakan mengetahui bagaimana perasaan sang anak saat ini, Sarah memeluk tubuh Gabriela dengan erat, "Ibu tahu ini pasti berat untukmu La, namun kau harus merelakan kepergiannya sayang. Aris akan bahagia jika kau bisa merelakan dia untuk pergi selama-lamanya. Tetapi yakinlah bahwa Aris akan selalu bersama kita seperti dulu saat dia masih hidup." Melihat kedua wanita yang disayang dan dicintainya menangis, Johnny memeluk istri dan anaknya itu.

"La, Aris pergi bukan karena kemauannya tapi dia pergi karena takdir yang sudah Tuhan berikan untuk Aris. Jujur ayah juga sedih dan belum percaya jika anak menantu ayah sudah pergi untuk selama-lamanya."

Johnny mengusap wajah anak perempuannya yang basah karena air mata, terhitung sudah dua kali Gabriela menangisi Aris. Tadi malam dan sekarang.

Apakah Gabriela memang sudah menyadari betapa berharganya Aris dalam hidupnya?

Entahlah...