"Apa ibu Gabriela tidak merasa kehilangan suaminya ya, kenapa dia sudah masuk kerja dihari kedua suaminya meninggal. Gila kerja sekali. Atau jangan-jangan dia memang sudah mengharapkan kematian suaminya." seorang gadis cantik yang membelakangi Gabriela mengajak ngobrol teman yang berada disampingnya.
"Jika kalian ingin membicarakan seseorang, usahakan di sekitarmu tidak ada yang mendengarnya atau setidaknya jangan membicarakan orang itu dikantor. Apa kalian tidak tahu kantor itu tempat dimana orang-orang bekerja, kenapa kalian justru membicarakan orang disini apalagi orang yang baru saja kalian bicarakan adalah atasan kalian sendiri."
Gabriela menatap kedua karyawannya dengan seksama, "Kali ini saya masih bisa mentolerir kalian, jika saya mendengar kalian membicarakan saya seperti tadi apalagi sampai berbicara sembarang tentang saya, maka saya tidak akan segan-segan untuk langsung memutus kontrak kerja kalian di kantor saya. Permisi." Gabriela berjalan melewati kedua gadis itu untuk ke ruangannya.
Gabriela tidak peduli apa yang akan kedua gadis itu bicarakan tentang dirinya lagi namun yang pasti Gabriela hanya tidak suka ada orang yang terang-terangan membicarakan.
Sampai diruangan kerjanya, Gabriela disuguhkan dengan beberapa map yang menumpuk dimeja kerjanya.
Semalam ia memang menghubungi sekertaris untuk menyiapkan berkas-berkas yang mungkin belum selesai Gabriela tangani sejak kejadian Aris dikabarkan mengalami kecelakaan sampai sekarang dinyatakan sudah meninggal dunia.
Gabriela sendiri heran mengapa disaat dirinya tengah berkabung seperti ini pekerjaannya sama sekali tidak diringankan.
Memangnya siapa yang bisa menghandle pekerjaannya jika tidak Gabriela sendiri?
"Tolong buatkan saya segelas kopi dan antarkan keruangan saya ya." ucapnya pada seseorang dibalik telpon.
Dengan cepat Gabriela memeriksa berkas-berkas yang menumpuk itu, ada beberapa laporan dan beberapa pengajuan dari pihak pemasaran.
Ia hanya sekedar tanda tangan pertanda bahwa dia setuju atau tidak terhadap pengajuan-pengajuan tersebut, untung saja pekerjaan ini tidak seberat pemikirannya.
Tak lama kemudian seorang office boy masuk kedalam ruangan Gabriela sembari membawakannya segelas kopi, sesuai pesanan Gabriela di telpon tadi.
"Ini kopinya, Bu Direktur."
Office boy itu keluar setelah mendapat anggukan dari Gabriela.
Aroma kopi yang menguak mampu membuat atensi Gabriela teralihkan, ditinggalkannya berkas itu dan Gabriela meraih segelas kopi tersebut dan dibawanya berjalan menuju balkon ruangannya.
Sebenarnya hari ini Gabriel belum mau masuk kerja karena baik hati maupun pikirannya masih merasakan duka yang terlalu dalam, namun jika terus berada dirumah maka dirinya akan terus teringat dengan Aris.
"Apa ibu Gabriela tidak merasa kehilangan suaminya ya, kenapa dia sudah masuk kerja dihari kedua suaminya meninggal. Gila kerja sekali. Atau jangan-jangan dia memang sudah mengharapkan kematian suaminya."
Perkataan karyawatinya tadi kembali berputar di kepala Gabriela, "Apa semua orang akan memandang aku seperti itu, apakah aku memang sudah mengharapkan kematian Aris?" Gumam Gabriela.
"Pergilah dari sini, aku tidak ingin melihat wajah mu Aris!"
"Aku benar-benar muak dengan mu, tidak bisakah kau mati saja agar aku tidak melihat mu lagi."
"Matilah kau Aris, aku tidak akan pernah mencintai pria seperti diri mu!"
Kedua mata Gabriela berkaca-kaca ketika mengingat bagaimana dulu ia sering sekali menyuruh Aris untuk pergi, bahkan Gabriela sampai hati menyuruh suaminya sendiri untuk mati.
"Maafkan aku... Sungguh maaf kan aku, meskipun aku sering menyuruh mu untuk pergi apalagi sampai menyuruh mu untuk m-mati tapi itu dulu saat aku belum bisa mencintai mu, Ris. Sekarang aku hanya meminta Tuhan bisa mengembalikan mu, jika kau benar-benar kembali maka aku berjanji akan membalas perasaan mu yang begitu tulus itu pada ku."
Wanita itu menghela napasnya mencoba untuk menahan isak tangisnya, "Aku memutuskan bekerja hari ini bukan karena aku tidak merasa kehilangan mu dan bukan karena aku gila kerja, tapi aku hanya ingin mengalihkan pikiran ku agar tidak terlalu menangisi kepergian mu, Ris. Aku harap kau mengerti."
Kini Gabriela sudah mengatakan apa tujuannya datang ke kantor hari ini dan bersikap seolah kemarin tidak terjadi apa-apa.
Dari situlah kita bisa melihat bahwa tidak ada seorangpun yang bisa mengetahui isi hati seorang Gabriela Karina Waris.
Di minumnya secangkir kopi pesanannya tadi.
Slurrrrpppp
Ahhhh
"Ini hanya kopi biasa tapi kenapa rasanya sangat enak." Wanita itu terus meminum kopi tersebut sampai setengah sembari melihat pemandangan kota yang terlihat dari jendela kaca yang ada di ruangannya.
"Haaaahhh aku tidak menyangka jika hiruk pikuk kota akan seperti itu."
Brakkkk
Andai saja Gabriela memegang erat cangkir berisi kopi tersebut kalau tidak maka gelas itu akan lepas dari tangannya.
Karena kesal sekaligus marah dengan orang yang baru saja membuat keributan di ruangannya, Gabriela menoleh kearah pintu ruangannya yang dibuka oleh seseorang tanpa permisi, "Kak, bisakah kau mengetuk pintu dulu sebelum masuk, kau membuat ku kaget." wanita cantik itu meletakkan gelas kopi itu dimeja kerjanya lalu mendekati sang kakak yang masih berdiri diambang pintu.
Begitu Gabriela sudah sampai dihadapan kakaknya, Briel justru berjalan melewati adiknya dan duduk di sofa.
"Aku mendengar dari sekretaris mu bahwa besok kau ada pertemuan diluar kota?." Tanya Briel yang sudah duduk di sofa di susul oleh Gabriela.
"Jika iya, memangnya kenapa. Aku sudah biasa menjalani kegiatan kantor sendirian tanpa ditemani oleh ayah, seharusnya kau tidak perlu kaget dan mendatangi aku seperti ini."
Briel menatap wajah cantik sang adik, seakan ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan tapi Briel sendiri juga bingung apa yang harus ia katakan pada adiknya, namun jujur saja perasaan Briel sedikit tidak tenang ketika mengetahui adiknya itu akan pergi ke luar kota.
Bukan apa-apa, Briel hanya tidak mau berjauhan dengan sang adik karena ini baru kali pertamanya Gabriela akan melakukan perjalanan keluar kota dalam urusan pekerjaan.
Mengingat masa berkabung masih terlihat jelas di dalam diri Gabriela meskipun wanita itu tidak mengatakannya, apakah Gabriela akan abik-baik saja setelah kehilangan Aris?
Briel menggengam tangan sang adik, "Sebaiknya kau mengutus sekretaris mu saja untuk datang ke pertemuan itu, jujur aku masih khawatir dengan keadaan mu sekarang. Apalagi kemarin kau baru saja kehilangan Aris, aku tidak tega melihat mu harus pergi sendirian."
"Aku tidak pergi sendiri kak, aku bersama Susi dan beberapa bawahanku yang lain. Jadi kau tenang saja." Gabriela mencoba menenangkan sang kakak agar Briel tidak terlalu khawatir dengan kepergiannya ke luar kota.
"Memangnya Pak Ruli tidak ikut dengan mu?"
Gabriela menggeleng, "Aku tidak nyaman jika Pak Ruli ikut menemani ku, maka dari itu aku meminta Susi saja yang menemani ku."
Briel kembali menggeleng, "Meskipun ada Susi dan beberapa bawahan mu tapi aku tetap tidak akan mengijinkan mu untuk pergi, tolong dengarkan aku, La. Ayah dan ibu juga pasti tidak menyetujui keputusan mu untuk pergi."
"Jika bukan aku yang pergi lalu siapa kak, aku tidak segampang itu mempercayai seseorang meskipun itu sekretaris ku sendiri. Ini menyangkut nama perusahaan kita jadi aku yang harus turun tangan sendiri."
Briel menganggukkan kepalanya setuju karena apa yang dibilang oleh Gabriela itu ada benarnya, "Kau sudah dewasa ya sekarang." lelaki itu mengelus surai sang adik.