TING TONG
Bel rumah Gabriela berbunyi.
Gabriela segera merapikan barang-barangnya sebelum melihat siapa tamu yang berkunjung ke rumahnya.
Karena Bi Elis tidak ada, mau tidak mau Gabriela yang harus membuka pintu rumahnya itu sendiri.
Memangnya Bi Elis kemana, bukankah Gabriela sudah menyuruhnya untuk menemani Gabriela?
Karena Gabriela akan pergi ke luar kota maka wanita itu menyuruh Bi Elis untuk pulang ke rumah, dan rumah Gabriela sendiri dibiarkan kosong.
Biarkan saja dari pada Bi Elis harus di rumah sebesar ini sendirian.
Ceklek
"Mama." Didepan sana sudah berdiri seorang wanita yang tenyata ibu mertua Gabriela.
Dia sendiri tidak menyangka jika ibu mertuanya itu yang datang berkunjung ke rumahnya.
Gabriela mengajak ibu mertuanya untuk masuk ke dalam rumahnya, wanita itu menaruh beberapa kantong plastik berisi makanan dan mendudukkan dirinya di sofa.
Dia sengaja membawa beberapa bingkisan untuk anak menantunya itu.
"Maaf Mama baru bisa datang, Sayang"
Gabriela dengan cepat duduk disamping ibu mertuanya ketika mendengar suara wanita itu yang terdengar serak dan sepertinya sangat berat untuk sekedar mengeluarkan kata-kata.
Dielus pundak ibu mertuanya itu dengan lembut, "Kita sama-sama masih berduka Ma atas kepergian Aris jadi Gabriela memaklumi hal itu, seharusnya Gabriela yang datang ke rumah Mama."
"Tidak apa-apa, Sayang. Lagipula mama juga butuh menghirup udara segar."
"Mama diantar supir?"
"Iya. Maaf papa mu tidak bisa datang karena hari ini papa mu harus pergi ke kantor, mengambil alih pekerjaan yang sebelumnya di kerjakan oleh suami mu."
Gabriela mengangguk.
Jana menoleh ke arah Gabriela lalu memeluk tubuh anak menantunya saat merasa air matanya akan menetes, ia tidak mau Gabriela mengetahui jika dirinya masih bersedih dengan kepergian Aris beberapa hari lalu dan jika Gabriela melihatnya menangis pasti itu juga akan membuat Gabriela sedih.
"Ini sangat berat buat mama La hiks... Aris anak mama satu-satunya tapi kenapa dia tega meninggalkan mama secepat ini."
Air mata yang sudah ditahan sedari tadi akhirnya keluar secara berlomba-lomba, bahkan Gabriela merasa jika air mata ibu mertuanya itu menetes membasahi bajunya dibagian pundak.
Gabriela tersenyum tipis dan tangannya bergerak untuk mengusap pundak sempit yang sekarang bergetar itu.
Mendengar ibu mertuanya yang menangis rasanya Gabriela juga ingin menangis sekarang.
Tidak hanya berat untuk ibu mertuanya tapi ini juga sangat berat untuk Gabriela, sekarang ia baru menyadari bahwa Arislah yang membawa separuh hatinya pergi.
Setelah kepergian lelaki itu Gabriela merasa kesepian dan terkadang Gabriela juga merindukan perhatian kecil yang selalu diberikan oleh Aris, meskipun dulu ia menganggap jika perhatian kecil itu adalah hal yang sama sekali tidak ia inginkan dan selalu membuatnya risih.
Namun sekarang Gabriela merindukan semua hal tentang Aris.
Apa Gabriela sudah terlambat untuk mengakui bahwa dirinya sudah mulai membuka hatinya untuk sang suami?
Gabriela membalas pelukan ibu mertuanya karena ia juga merasa kehilangan atas kepergian suaminya sama seperti wanita yang dipeluknya sekarang itu.
"Maafin Mama, Mama membuat mu kembali bersedih."
"Tidak apa-apa, Ma. Dari pada kita menyimpannya sendirian lebih baik kita mengeluarkannya." Setelah berkata seperti itu Gabriela melepas pelukannya dengan sang ibu, di usapnya air mata yang membasahi wajah ibu mertuanya, "Sudah ya mama jangan menangis lagi, Gabriela tebak pasti sejak hari itu mama menangis sampai mata mama membengkak seperti ini."
Ibunda Aris itu mengusap wajahnya sendiri sembari tersenyum tipis, "Mama menangis karna mama belum percaya kalau Aris sudah tiada, La."
"Iya Gabriela tau, tapi Aris tidak akan senang jika melihat mama menangis terus seperti ini. Aris bisa sedih jika melihat kita yang terus-menerus menangisi kepergian dia, Ma. Mulai sekarang kita harus sama-sama belajar untuk mengikhlaskan kepergian Aris karna setiap manusia pada akhirnya akan pergi."
"Iya La, mama akan mencoba untuk mengikhlaskan kepergian Aris."
Gabriela mengusap punggung sempit mertuanya sekali lagi, "Mama membawa apa sampai sebanyak ini?" Dia berusaha mengalihkan pembicaraan bermaksud agar kesedihan ini tidak berlarut-larut.
Jujur Gabriela sendiri sudah lelah menangisi Aris, dia ingin menjalankan kehidupannya meskipun Aris sudah tidak ada disisinya lagi.
"Ini mama membawa banyak bahan makanan yang bisa kamu untuk beberapa hari ke depan, ini Mama juga memasak sup kesukaan mu." Selain membawa bahan makanan untuk sang menantu, Jana juga membawa rantang dan sekalian beliau sedang mengeluarkan rantang yang dibawanya dari rumah dan di taruh di atas meja.
"Mama tidak perlu repot-repot seperti ini." Gabriela membantu ibu mertuanya itu mengeluarkan barang-barang bawaannya.
"Mama hanya khawatir kau tidak makan dengan baik setelah kepergian Aris, La. Mama tahu kau tidak bisa masak jadi selama beberapa hari ini siapa yang membuatkan makanan untuk mu?"
"Bi Elis yang membuatkan makanan untuk ku jadi mama tidak perlu mengkhawatirkan aku tentang hal itu."
"La, apa tidak sebaiknya kau tinggal bersama kedua orang tua mu saja? Atau kau mau tinggal bersama mama dan papa. Kami tidak bermaksud untuk melarang mu tinggal disini tapi kami mengkhawatirkan diri mu."
"Apa yang harus di khawatirkan, Ma."
"Bagaimana kami tidak khawatir ketika melihat mu tinggal sendirian di rumah sebesar ini, La."
"Aku tinggal bersama Bi Elis jadi aku tidak sendirian, Ma."
"Kau tinggal bersama Bi Elis?"
"Lebih tepatnya aku yang meminta Bi Elis untuk tinggal disini menemani aku, sampai akhirnya aku mau pindah ke rumah ayah dan ibu."
"Jadi kau berniat untuk meninggalkan rumah ini suatu hari nanti?"
Gabriela menolehkan kepalanya pada sang ibu mertua, "Entahlah, aku sendiri juga tidak mengetahuinya. Namun yang pasti sekarang aku masih ingin tinggal di sini. Karna di rumah ini banyak meninggalkan kenangan ku bersama Aris, Ma."
Jana tersenyum maklum dengan jawaban yang baru saja keluar dari mulut menantunya, "Baiklah Mama mengerti." Jana mengusap puncak kepala Gabriela, "Oh iya Mama mendengar dari ibu mu jika kamu ada perkerjaann di luar kota, apakah itu benar?"
Gabriela mengangguk, "Iya Ma, Gabriela ada pekerjaan di luar kota."
"Kapan? Apa kamu akan lama disana?"
"Besok aku berangkat dan mungkin hanya beberapa hari saja disana, setelah semuanya selesai aku akan langsung pulang."
Jana mengelus surai Gabriela, "Apa tidak sebaiknya kamu menyuruh orang kepercayaan mu saja untuk pergi ke sana, entah kenapa Mama tidak ingin kau pergi ke luar kota. Kau tau sendiri kan Aris meninggal karna dia ingin pergi ke luar kota."
"Ma, jika aku bisa menyuruh orang kepercayaan ku maka aku akan menyuruhnya tapi sayangnya hal itu tidak bisa aku lakukan. Memang aku yang harus turun tangan sendiri, Ma."
Jana menghela napasnya, "Kalau begitu jaga diri baik-baik ya, sekarang hanya kamu yang Mama punya."
Gabriela sangat tersentuh mendengar ucapan ibu mertuanya baru saja, ia sangat beruntung mendapat mertua yang menyayanginya seperti anaknya sendiri dan juga memiliki suami yang sangat mencintainya dengan tulus.
Namun lagi-lagi Gabriela terlambat menyadari itu semua.