Kini tiba dimana hari Gabriela harus berangkat ke luar kota, ketika dirinya menggeret koper miliknya keluar dari dalam kamar, netranya tidak sengaja melihat ruangan kerja milik Aris yang bahkan belum ia kunjungi sama sekali.
Semasa hidup Aris, Gabriela tidak pernah memperhatikan sosok lelaki yang menjadi suaminya selama tiga tahun ini.
Gabriela menaruh koper miliknya di dekat pintu kamarnya lalu berjalan menuju ruangan kerja milik suaminya tersebut.
Ia membuka pintu ruangan itu dan tidak lupa menyalakan lampu karena ruangan tersebut sangat gelap.
"Uhuk!" Gabriela terbatuk ketika baru saja ia memasuki ruangan kerja milik suaminya, sangat berdebu dan sepertinya ruangan ini juga jarang digunakan oleh Aris mengingat lelaki itu sudah membuat ruangan baru di dekat kamar mereka.
Alasan mengapa Aris membuat ruangan kerja yang letaknya di dekat kamarnya dan Gabriela karena lelaki itu ingin bekerja sembari mengawasi istrinya.
Saat masuk ke dalam ruangan itu Gabriela disambut dengan beberapa foto pernikahan mereka berdua yang berlangsung 3 tahun silam.
Di elus salah satu foto pernikahan itu sebentar sebelum Gabriela melangkahkan kakinya menuju meja kerja yang terlihat kosong itu, ia duduk di kursi yang sudah sedikit lusuh dimakan usia.
Dia heran kenapa Aris tidak menjadikannya sebagai gudang saja daripada ruangan ini dibiarkan kosong seperti ini.
"Semenjak kau pergi untuk selama-lamanya, kenapa aku sering merindukan dirimu, apa aku sudah mulai jatuh pada mu, Ris."
Netra Gabriela beralih pada kotak kecil yang ada di bawah meja yang terletak tidak jauh dari tempat ia duduk.
Gabriela membungkukkan badannya untuk meraih kotak kecil itu namun belum sampai menyentuh kotak tersebut panggilan kakaknya membuat Gabriela mengurungkan niatnya untuk mengambil kotak kecil itu.
"Gabriela!"
Gabriela dengan cepat beranjak dari kursi dan keluar dari ruangan tersebut, tak lupa wanita itu menutup kembali ruangan kerja milik Aris lalu menggeret kopernya dan berjalan menuju lantai bawah, rupanya disana sudah ada Briel yang menunggunya diruang tamu.
"Ini sudah jam 8 kau harus segera berangkat, aku sudah menyuruh sekretaris mu untuk berangkat ke Bandara lebih dulu karena aku yang akan mengantar mu kesana."
Gabriela mengangguk lalu menggeret kembali kopernya sebelum ditarik oleh Briel.
"Aku yang akan membawakan koper mu, lebih baik kau ingat-ingat lagi apa yang sekiranya belum kau bawa. Aku akan menaruhnya di bagasi mobil ku, jangan lupa kunci pintunya."
Gabriela mengangguk lagi, dirasa tidak ada yang lupa untuk dia bawa Gabriela langsung mengunci pintu rumahnya sebelum masuk ke dalam mobil milik kakaknya.
Ketika hendak melangkahkan kakinya, entah kenapa Gabriela merasa seperti dibisiki sesuatu, "Berhati-hatilah sayang aku menunggu mu di rumah."
DEG
Suara bisikan itu mirip sekali dengan suara mendiang suaminya, kedua atensi Gabriela tidak sengaja menangkap bunga mawar merah yang pernah ditanam oleh Aris di pot kecil dekat pintu rumahnya.
Gabriela tersenyum lalu mendekat ke arah bunga mawar yang baru saja mekar itu, pantas saja tadi Gabriela mencium bau yang sangat harum ketika Gabriela baru saja keluar dari rumahnya.
Ternyata bau harum itu berasal dari bunga mawar tersebut. Baunya sangat menenangkan bagi siapa yang menciumnya termasuk Gabriela.
Dielusnya kelopak bunga itu, sekarang Gabriela tahu jika bunga ini adalah peninggalan Aris yang harus ia jaga mulai sekarang.
"Aku akan segera pulang, hiduplah dengan baik selama aku pergi. Aku akan memberi tahu Bi Elis agar dia bisa membantu aku untuk merawat mu. Tunggu aku kembali ya." ucapnya pada bunga itu, biarkanlah Gabriela dianggap gila karena berbicara dengan bunga.
Lagipula tidak ada yang melihatnya. Selesai berbicara dengan bunda mawar itu Gabriela segera masuk kedalam mobil milik kakaknya.
Diperjalanan menuju bandara, Briel sesekali melirik sang adik yang sedang mengelus cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya, lelaki itu sangat tahu jika adiknya itu masih berduka atas kepergian Aris.
Istri mana yang tidak sedih jika ditinggal suaminya untuk selama-lamanya.
"Ehm apa kau sudah berpamitan dengan..." Briel sontak menghentikan perkataannya, sungguh Briel tidak enak hati jika ingin membahas Aris di depan adiknya untuk sekarang ini..
Seakan tahu alasan kenapa kakaknya tiba-tiba berhenti bertanya, Gabriela segera menyambung, "Aku sudah berkunjung sekaligus berpamitan dengan Aris sepulang dari kantor kemarin, kakak tidak perlu khawatir." atensi Gabriela dibuang ke luar, memandangi apa saja yang ada di luar lewat jendela mobil.
Briel mengangguk paham, "Baguslah jika kau sudah berpamitan dengan Aris, aku pikir kau belum berpamitan dengan Aris."
Srettt
Ditatapnya sang adik sekilas lalu Briel mengulas senyum tampannya, "Aku percaya kau bisa menjalani kehidupan mu tanpa adanya Aris lagi di samping mu." Briel mengelus surai milik Gabriela menggunakan tangan kirinya yang menganggur.
"Hiks." Gabriela kembali terisak mengingat bagaimana perlakuannya terhadap Aris, ia sama sekali tidak pantas di sebut istri yang baik.
Wanita itu menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Menangislah hanya ketika kau bersama ku, jangan biarkan orang lain tau kau bersedih." Briel mengelus pundak adiknya yang bergetar itu.
Usapan itu semakin membuat Gabriela menangis tersedu karena merasa dirinya lemah setiap mengingat Aris, karena Gabriela sadar ia sudah kehilangan separuh hatinya untuk selama-lamanya.
"Aku yakin kau pasti bisa melewati ini semua, Aris akan selalu bersamamu tanpa kau sadari karena dia sangat mencintaimu, La." Ucap Briel lagi.
Lagi-lagi tangisan Gabriela pecah dan terdengar sangat pilu, mendengar adiknya yang menangis Briel memutuskan untuk menepikan mobilnya lalu merengkuh tubuh ringkih sang adik yang tidak berhenti bergetar.
Briel dapat merasakan betapa hancur perasaan adiknya saat ini mengetahui sosok suaminya sudah tidak ada lagi di sisinya, hati Briel seperti teriris ketika melihat adik kesayangannya menangis seperti ini.
Tapi mau bagaimana lagi meskipun Gabriela menangis sampai darah bercucuran darah di kedua matanya, Aris tidak akan bisa kembali ke dunia ini.
Mungkin Gabriela memang harus merasakan bagaimana rasanya ditinggal oleh orang yang mulai dicintainya untuk selama-lamanya.
Briel memutuskan untuk menunggu sampai adik perempuannya itu berhenti menangis, tidak peduli berapa lama pun Briel akan menunggu Gabriela.
Meskipun Gabriela harus ketinggalan pesawat dan tiket yang dibelinya hangus, itu sama sekali tidak menjadi permasalahan bagi lelaki tampan itu.
Adiknyalah yang dia pedulikan untuk saat ini.
Tangan kekarnya terulur untuk mengusap pundak adiknya, "Aku tahu bagaimana hancurnya hatimu La, tapi berjanjilah ini yang terakhir kau menangisi Aris. Bukan karena aku tidak mengijinkan mu untuk menangisi kepergian suami mu sendiri, tapi hatiku juga merasa hancur ketika melihat mu terus menerus menangisi kepergian Aris seperti ini." Ucap Briel.
"Kau adalah orang yang kuat, aku yakin kau pasti bisa menjalani kehidupan mu yang selanjutnya tanpa adanya Aris disamping mu lagi, aku yakin itu La."
Sebenarnya Gabriela sudah sedikit tenang meskipun gadis itu sesekali sesegukan, kepalanya mendongak dan kedua matanya langsung bertatapan dengan obsidan milik sang kakak, "Aku akan mencobanya, Kak. Aku yakin Aris juga tidak akan suka melihat aku seperti ini."
Briela tersenyum mendengar perkataan adiknya, lelaki itu mengusap puncak kepala sang adik dengan lembut, "Kakak yakin Aris sangat ingin melihat mu bahagia La, dengan begitu dia akan bahagia disana."
Gabriela menganggukkan kepalanya lalu mengusap wajahnya yang basah karna air matanya tadi.
"Bagaimana, apa kau sudah tenang. Kalau belum aku tidak akan menjalankan mobilnya."
Gabriela melirik kakaknya usai merogoh tisu di dalam tas miliknya, "Sebaiknya kita segera ke Bandara kak, aku tidak ingin membuat mereka menunggu. Aku memang atasan mereka tapi aku tidak bisa berbuat semau ku sendiri."
Briel menganggukkan kepalanya setuju, "Tapi kau sudah baik-baik saja kan?"
"Iya aku sudah baik-baik saja."
"Baiklah kalau begitu aku akan jalankan mobilnya dan kita pergi ke Bandara."