Gabriela menghela napas dan membuka kaca jendela di mobil Gabriel untuk menghirup udara luar yang nampak segar.
Aroma jalanan basah karena baru saja diguyur hujan itu masuk ke dalam rongga hidung Gabriela, menimbulkan rasa nyaman tersendiri bagi wanita cantik itu.
Gabriela memejamkan kedua matanya dan merasakan hembusan angin yang membelai wajahnya dengan lembut.
"Kau sebaiknya pulang ke rumah kita saja, La. Bila perlu rumah kalian dikosongkan saja, jujur aku khawatir melihat mu tinggal disana sendirian."
Yang dimaksud Gabriel 'rumah kalian' adalah rumah yang ditinggali oleh Gabriela dan Aris.
"Kalau kau lupa, aku tinggal bersama Bi Elis jadi kau tidak perlu mengkhawatirkan aku yang akan tinggal sendirian disana, karena ada Bi Elis yang selalu menemani aku disana."
Briel melirik sekilas ke arah adik perempuannya, "Iya aku tahu ada Bi Elis yang menemani mu disana, tapi tetap saja aku mengkhawatirkan mu. Sebaiknya kau tinggal lagi bersama aku, ayah dan ibu lalu rumah kalian di kosongkan."
"Seandainya Bi Elis tidak lagi menemani aku tinggal disana, aku akan akan menempati rumah itu sendirian kak, aku tidak akan pernah mengosongkan rumah itu." Jawab Gabriela yang masih membuang pandangannya ke arah luar jendela mobil milik kakaknya, bahkan dia tidak tahu jika Briel sering melirik kearahnya.
"Tapi aku tidak mau kau sendirian di rumah sebesar itu La dan kau akan selalu teringat dengan Aris jika masih tinggal disana."
Gabriela menoleh ketika kakak laki-lakinya itu menyinggung tentang mendiang suaminya, "Apa maksud mu aku harus melupakan Aris, Kak?" tanyanya dengan nada sedikit ketus.
"Tidak." Briel langsung menggelengkan kepalanya, "Maksud ku tidak seperti itu La, aku hanya tidak ingin kau selalu ingat dengan Aris jika tetap nekat tinggal disana. Aku tidak mau kau terus bersedih karena Aris sekarang sudah tidak ada. Bukankah kau merasa kesepian semenjak Aris tidak ada? Biasanya Aris selalu menemani mu di rumah itu, namun sekarang dia sudah tiada jadi aku mohon kau mau tinggal bersama kami lagi, La." Briel dengan cepat menjelaskan maksud dari perkataannya tadi, ia takut Gabriela salah mengartikannya.
Wanita itu tersenyum tipis, "Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi bersedih kak, meskipun hal itu tidak mudah untuk aku lakukan tapi aku akan mencoba menerima kepergian Aris. Kau tenang saja. Lagipula aku tidak ingin membuat Aris bersedih disana jika disini aku masih menangisi kepergiannya."
Percakapan kakak-beradik itu sampai disana, Briel sengaja tidak menanggapi perkataan adiknya.
Keduanya bahkan hanya diam selama perjalanan sampai saat dimana Gabriela tiba-tiba menoleh pada sang kakak yang fokus menyetir, "Bisakah kita mampir ke makam Aris dulu, aku sudah berjanji padanya jika aku sudah pulang dari luar kota maka aku akan langsung mengunjunginya. Kau mau mengantar aku kesana kan, Kak?"
Briel tidak menjawab pertanyaan adik perempuannya dengan suaranya tetapi menggantinya dengan anggukkan kepala.
Tak butuh waktu lama untuk kedua kakak-beradik itu tiba di makam Aris, keduanya duduk dan memanjatkan doa sejenak untuk Aris.
"Aku datang, Ris. Kau ingat aku sudah berjanji padamu kan jika sudah pulang dari luar kota aku akan langsung mengunjungi mu. Sekarang aku sudah menepati janji ku Ris, kau senang?" Gabriela tersenyum sejenak lalu ia mengulurkan tangannya untuk menaburkan bunga yang dibelinya tadi diatas makam Aris.
Bahkan bunga yang ia tabur ketika datang mengunjungi suaminya beberapa hari yang lalu masih tersisa meskipun ada yang sudah layu dan sebagian ada yang kering.
"Ris, karena sekarang kau sudah tiada maka Gabriela akan menjadi tanggung jawab ku dan keluarga ku lagi. Kau tidak perlu khawatir jika Gabriela akan kesepian, aku akan selalu ada untuknya sebagai seorang kakak yang selalu ada untuk adiknya." Ucap Briel lalu lelaki itu mengelus surai Gabriela, Briel ikut menabur bunga diatas makam Aris, seperti yang dilakukan oleh adik perempuannya.
Gabriela memilih untuk mengelus nisan Aris sambil berkata di dalam hati, "Kau senang kan aku datang, mulai sekarang aku berjanji akan sering datang kesini untuk mengunjungi mu. Aku harap kau baik-baik saja disana, maafkan kesalahan ku selama ini. Aku sangat menyesalinya. Andai waktu bisa diputar maka aku akan memilih untuk mencintai lelaki setulus diri mu, Ris." begitulah perkataan yang Gabriela lontarkan di dalam hatinya.
Wanita seakan tidak bisa berkata apapun selain meminta maaf dan menyesali perbuatannya dulu pada mendiang suaminya, karena Gabriela merasa dirinyalah satu-satunya orang yang pantas disalahkan atas kepergian Aris.
Mengapa demikian? Karena Gabriela merasa dirinyalah yang selalu menyakiti Aris, itulah sebabnya Aris pergi dan tidak mau kembali lagi.
"Kalau begitu aku dan Gabriela pamit dulu ya karena istri mu ini harus istirahat mengingat dia baru saja pulang dari luar kota. Aku yakin kau senang melihatnya nekat mengunjungi mu disaat dirinya sendiri sedang lelah." Briel mengelus nisan Aris sebentar lalu merangkul pundak adiknya untuk diajaknya berdiri.
Gabriela berdiri namun sebelumnya ia juga berpamitan pada Aris, "Ingat untuk tetap mencintai aku ya, Ris." setelah itu ia melangkah pergi bersama sang kakak.
"Kita pulang ke rumah dulu ya bertemu dengan ibu dan ayah lalu setelah itu aku akan mengantar mu pulang ke rumah kalian. Kau bisa tidur di sana sebelum pulang ke rumah kalian." saran Briel.
Bukan tanpa alasan Briel menyarankan hal itu pada Gabriela, karena letak rumahnya yang lumayan dekat dengan makam Aris membuat Briel harus memaksa adik perempuannya untuk pulang ke rumahnya sebelum pulang ke rumah Gabriela dan Aris.
Gabriela yang sudah merasa lelah memutuskan untuk menuruti saran sang kakak untuk pulang ke rumahnya lebih dulu.
Karena matanya sedikit berat dan badannya yang mulai terasa lelah, setelah duduk di dalam mobil Gabriela memutuskan untuk tidur sebentar sampai dirinya tiba di rumah.
"Terimakasih kau sudah menepati janji mu untuk mengunjungi ku sepulang dari luar kota. Kau tidak perlu khawatir karena aku akan selalu mencintai mu meskipun ragaku sudah tidak ada di sisi mu namun cinta ini masih tersimpan dengan indah dihatiku dan hanya untuk mu, La."
Gabriela sontak membuka matanya ketika mendengar suara yang mirip sekali dengan suara Aris.
"Ada apa?" tanya Briel sedikit penasaran.
Tadi adik perempuannya itu tidur sangat pulas tapi kenapa tiba-tiba terbangun? Pikir Briel.
Setelah melamun cukup lama akhirnya Gabriela sadar ternyata ia masih berada di dalam mobil kakaknya, namun darimana suara tadi berasal?
Apa dirinya berhalusinasi sehingga mendengar suara yang mirip dengan suara mendiang suaminya.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Briel lagi.
Gabriela mengangguk lalu memejamkan matanya lagi, ia berharap suara tadi memang benar suara Aris karena sekarang Gabriela sangat merindukan lelaki itu.
Meskipun Aris sudah tiada namun Gabriela percaya jika lelaki itu akan selalu bersamanya meskipun raganya sudah tidak bisa ia lihat lagi.