Bukan hanya gadis berpakaian kuning yang terkejut, para pendekar lain pun demikian. Sang pelukis menyeruak ke tengah-tengah mereka. Meskipun terlihat gugup, ia memberanikan diri untuk melerai keempat pendekar.
"Tuan, kumohon hentikan pertikaian ini, kalau tidak, aku tak dapat menyelesaikan lukisan dan tidak mendapat upah," pinta sang pelukis kumal, menghampiri Huang Tie.
Reaksi Huang Tie sudah dapat diduga. Pendekar golongan hitam yang berhati dingin tersebut, tentu tak bisa diyakinkan. Matanya merah menatap pelukis kumal.
"Jangan ikut campur!" Tinjunya yang sekeras besi menghunjam perut sang pelukis, hingga menghempaskannya dan menabrak barang-barang dagangan pedagang lain. "Itulah akibatnya kalau mengusik Si Tie! Hahahaha!"
Pelukis kumal bangkit sambil meringis kesakitan. "Aduuuuh ... Tuan, ampuni sayaa ...."
"Enyahlah dari sini! Aku tidak ingin waktuku terbuang gara-gara pelukis bodoh sepertimu!" hardik Huang Tie.
Alih-alih surut, sang pelukis kembali mendekat. "Tuan, kumohon hentikan pertarungan. Saya sudah tidak makan sejak tiba di Lijiang."
Kemarahan Huang Tie pun membuncah. "Sudah bosan hidup!" Tangannya perlahan-lahan berubah kuning, dan langsung menghajar sang pelukis bertubi-tubi.
Pelukis kumal terjengkang sejauh lima tombak. Namun, sedetik kemudian ia bangkit dan tergopoh-gopoh menghampiri Huang Tie. Semua pendekar terhenyak melihat pelukis kumal tidak terluka sedikit pun. Kecuali gadis murid Yueliang Xueyuan, yang telah mengamatinya sejak tadi.
'Aku sudah menduga ia memiliki kanuragan, tapi tak kusangka kanuragannya di atas pendekar sekelas Hong Tie. Siapa dia sebenarnya? Pasti dia bukan sekadar pendekar,' batin gadis berpakaian putih.
Lu dan Huang Tie bertukar pandang. Diam-diam mereka bergidik membayangkan kehebatan sang pelukis. Sesungguhnya Huang Tie bukan pendekar picisan. Kemampuannya diakui di Jianghu, bahkan sudah banyak pendekar yang menjadi korban jurusnya. Namun, di hadapan pelukis kumal kehebatannya seakan-akan tidak berarti.
Tatkala keterkejutan mereka belum usai, mendadak terdengar suara keras yang dialiri tenaga dalam.
"Adik Kedua, Adik Ketiga, hentikan!" Tak lama kemudian orang tersebut mendarat di samping Lu Tie.
Pria tersebut bertubuh jangkung dan sangat kurus, sampai-sampai tulang dadanya terlihat; kulitnya pucat, seperti tidak dialiri darah; rambutnya sehitam pakaian gombroh yang ia kenakan; matanya cekung dan tak dihiasi alis; hidungnya mancung dan bengkok ke bawah; bibirnya pucat, nyaris seputih tulang.
"Kakak Hei Tie!" seru Lu dan Huang Tie bersamaan.
Hei Tie melirik pelukis kumal sembari mencerna pikiran, kemudian mengalihkan pandangan pada kedua adiknya. "Kakak pertama menunggu kita. Kalian masih punya waktu bersenang-senang di hari lain." Hei Tie melesat ke arah timur.
Lu Tie mengedarkan pandangan pada kedua gadis dan sang pelukis. "Kalian beruntung. Jika kami tidak terburu-buru, sudah pasti malam ini kita bisa bersenang-senang." Ia pun melesat bersama dengan Huang Tie.
"Cih! Jangan harap bisa kabur!"
"Tunggu! Bagaimana dengan lukisan No—" Pelukis kumal menghela napas melihat gadis berbaju kuning telah melesat. Sang pelukis menoleh pada gadis baju putih. "Bagaimana jika aku melu—" Belum selesai berkata, gadis itu pun telah pergi.
Sementara itu ketiga Si Tie menerobos pepohonan dengan kecepatan mumpuni. Kecerobohan adik-adiknya, memancing amarah Hei Tie.
"Bodoh!! Kalian benar-benar dungu!! Tak tahu tingginya gunung dalamnya laut!! Kalau pertarungan diteruskan, kepala kalian sudah hilang!!" bentaknya. Wajahnya yang semula putih sedikit memerah.
Lu dan Huang Tie paham dengan maksud Hei Tie, tetapi mereka tidak tahu jati diri sang pelukis.
"Kakak, maaf kami memang ceroboh. Kami tidak menyangka pelukis kumal itu memiliki kanuragan tinggi," tukas Lu Tie.
"Sebenarnya siapa pelukis itu, Kak?" tanya Huang Tie.
Hei Tie menggeram seraya mengerutkan kening. "Dia Liulang Huajia (Pelukis Kelana) yang belakangan menggegerkan para pendekar golongan hitam. Jurusnya sulit diduga, pikirannya pun sulit diterka. Kakak pertama juga tahu mengenai kabar ini dan mengingatkanku agar menghindar jika bertemu dengan pelukis tersebut. Aku menduga kalau kakak pertama pun khawatir tidak mampu menandinginya."
Lu dan Huang Tie terkejut dan bertukar pandang. Pantas jika pelukis tersebut berilmu tinggi. Membayangkan kehebatannya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri, apalagi merasakan jurusnya.
Setelah menempuh jarak ratusan tombak di dalam hutan, ketiganya menurunkan kecepatan. Tak lama kemudian mereka mendarat di dekat rumah batu.
Rumah tersebut berukuran cukup luas. Pada dinding-dindingnya ditumbuhi lumut dan juga jamur. Sementara itu, hanya ada dua jendela pada sisi kanan dan kirinya. Keadaan rumah tersebut suram dan menciutkan nyali.
"Hahahaha!"
Tiba-tiba terdengar suara mengerikan dari dalam rumah. Namun, itu masih belum seberapa dibandingkan keadaan di dalam rumah. Pada salah satu sudut ruangan bertumpuk kepala-kepala tengkorak yang remuk dan berlubang. Bau anyir darah pun menguar di setiap ruangan. Aura kejam menyelimuti suasana di sana. Bagi Hei, Lu, dan Huang Tie, hal tersebut sudah biasa. Mereka pun melintasi ruangan depan sampai tiba di ruangan besar yang terdapat ranjang batu. Di atasnya tampak laki-laki berperawakan kekar dan berambut merah yang sedang menindih perempuan tanpa busana.
"Hahaha! Aku tahu sekarang kamu sedang menangis bahagia!"
Sungguh nahas nasib perempuan tersebut karena diperlakukan layaknya binatang. Kebiadaban Hong Tie bagaikan iblis. Seumpama tidak tertotok, berbagai sumpah serapah pasti dilontarkannya; seandainya dapat memilih, lebih baik mati ketimbang hidup menanggung derita. Namun, ia tahu itu hanyalah angan yang tak akan terjadi. Sebaliknya takdir perempuan tersebut telah ditentukan akan berakhir seperti tumpukan tengkorak tadi.
Tatkala ketiga Si Tie tiba di belakangnya, Hong Tie pun murka, "Kenapa pulang tanpa membawa gadis baru untukku?!"
Hei, Lu dan Huang hanya bertukar pandang, tak berani bersuara. Peluh mereka membanjiri sekujur tubuh. Ketakutan mendapat murka Hong Tie adalah sebabnya.
"Kenapa diam?"
Alih-alih membuka mulut, mereka justru makin gemetar.
"KENAPAA KALIAN DIAAAAAAM?"
"Ma-maaf, Kakak. Semua ada penyebabnya," terang Hei Tie, gugup.
"JANGAN BERBELIT! LEKAS CERITAKAN!!"
Lu Tie pun angkat suara, "Ketika berada di Lijiang kami bertemu dengan dua gadis can—"
"Sangat cantik, Kakak," sergah Huang Tie.
"DIAAAM!! AKU MAU ADIK KETIGA YANG MENJELASKAN!!"
"I-iya ...." Huang Tie menunduk, tak berani melihat Hong Tie.
"Teruskan!"
Lu Tie mengangguk. "Kami ingin meringkus kedua gadis tersebut, tetapi pendekar berilmu tinggi menghalangi. Beruntung kakak kedua datang dan mencegah pertarungan kami. Kalau tidak, mungkin ...."
Hong Tie diam sejenak seraya berpikir. Beberapa saat kemudian ia kembali bertanya, "Adik Kedua, siapa pendekar itu?"
Hei Tie menghela napas. "Liulang Huajia."
Mendengar julukan tersebut, Hong Tie pun bungkam. Diam-diam ia merasa beruntung ketiga adiknya lolos dari Liulang Huajia. Jika tidak, terpaksa ia harus turut menanggung kebodohan adik-adiknya. Kala sedang tenggelam dalam pikirannya, Hong Tie merasakan aura membunuh yang hadir di sana.
"Apakah kedua gadis itu berasal dari Yueliang Xueyuan dan Sheng Mi?" tanya Hong Tie.
"Bagaimana Kakak tahu?"
Hong Tie menyeringai. "Karena mereka datang untuk menyerahkan mahkota."
Belum hilang keterkejutan mereka, dua gadis cantik menerjang dengan senjata andalan.
"Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak! Hari ini aku bersumpah Si Tie hanya tinggal nama!" Murid Yueliang Xueyuan merangsek dengan pedang di tangannya.
Pertarungan sengit pun sebentar lagi tersaji; pertempuran para pendekar tangguh tak lama lagi akan tergelar. Kendati berhadapan dengan empat orang Si Tie, kedua gadis cantik sama sekali tidak surut.
***