"Hi Dean, kau baik – baik saja?" Lulu datang dan langsung menyapa saat dia tiba dan mendudukan dirinya di sampingku. Disusul Ryan dari belakang yang ikut menyapaku dengan memukul pelan bahuku seraya berlalu dan duduk di meja belakang. Dia melepas tas selempangnya dan mengeluarkan buku serta kertas dari dalam tasnya.
"Kau baik? Kau terlihat buruk sekarang," ucap Ryan seraya memandang ke arahku.
"Apa yang terjadi semalam?" tanya Lulu kembali dan ditimpali dengan anggukan oleh Ryan setelah dirinya menoleh ke arah Lulu sekilas dan kembali ke arahku.
"Ku rasa semalam kau baik – baik saja," kata Ryan mengingat – ingat pertemuan terakhir kami kemarin malam.
"Hanya sedikit mual, bukan masalah," jawabku enteng seraya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan mereka.
"Kau yakin kau siap sekarang? Kau sangat pucat Dean," tanya Lulu meyakinkanku. Aku mengangguk pelan sebagai jawaban yakin atas pertanyaannya.
"Kita bisa mendapatkan izin jika kau mau," tawar Ryan memberi usul. Lulu mengangguk setuju dengan tawaran Ryan.
"Tidak apa, aku bisa!" jawabku meyakinkan mereka. Ryan dan Lulu mengangguk menyerah untuk membujukku lagi. Mereka langsung beralih pada handout presentasi yang sudah kami bahas kemarin malam.
Setelah cukup lama menunggu giliran sembari memperhatikan presentasi kelompok lain, akhirnya giliran kami untuk maju datang juga. Sesuai dengan hasil diskusi kami beberapa hari lalu dan hasil diskusi terakhir kami kemarin malam. Aku, Ryan, dan Lulu sepakat untuk membagi presentasi kami menjadi tiga bagian besar. Lulu dengan Teori, Ryan dengan contoh – contoh penerapan di berbagai bidang bisnis yang sudah berhasil termasuk perusahaan yang saat ini menggunakan metode yang kami bahas. Dan aku memiliki giliran untuk menjelaskan metode yang kami dapatkan dari hasil diskusi.
Presentasi kami berjalan dengan lancar sesuai rencana yang sudah kami diskusikan beberapa hari lalu. Profesor yang memperhatikan memberikan penilaian yang baik tentang presentassi kami. Kami juga berhasil menjawab setiap pertanyaan dengan baik. Terimakasih penyakit karena kau mau bekerja sama denganku saat ini.
"Kau terlihat semakin buruk Dean, mau ku temani ke rumah sakit? Kurasa kau membutuhkan pemeriksaan sekarang." Ryan kembali menawarkan diri seraya merapikan tasnya setelah melihat ke arahku sekilas.
"Ryan benar, kau terlihat semakin buruk, wajahmu memucat seperti mayat. Pergilah dan periksakan dirimu." Sahut Lulu menimpali dan memandang khawatir ke arahku.
"Aku akan pulang saja, aku hanya butuh istirahat sekarang," tolakku seraya mengangkat tangan memberikan tanda penolakan untuk pergi kesana.
"Dasar keras kepala!" gumam Ryan dan tepatnya masih terdengar ditelingaku. Aku tersenyum tipis ke arahnya dan pergi setelah menepuk pelan bahunya. Baru saja beberapa langkah, kepalaku semakin terasa berat dan berputar, semua objek benda bahkan orang yang kulihat seolah berputar dan bergoyang. Kakiku pun terasa mengambang dan ringan, aku tidak bisa merasakan lantai yang sedang ku pijak. Tubuhku seolah limbung kedepan sekarang.
"Dean!" suara teriakan Ryan adalah suara yang terakhir kali kudengar, aku juga melihat dia dan Lulu berlari kencang dengan raut panik diwajahnya ke arahku sebelum semuanya menggelap dan menghilang.
***
"Dean! Kau medengarku?"
"Dean!"
Suara perempuan dengan nada halus terdengar dari sisi kanan tubuhku, bergetar dan sarat akan kekhawatiran. Suara yang sangat familiar. Aku tahu suara itu, perempuan mungil yang selalu berada disiku, aku tidak akan pernah melupakan suara perempuan pelupa itu.
Saat mataku terbuka, dengan samar aku melihat wajah Kayla di depanku, dia tersenyum dan mengucapkan syukur dengan helaan nafas lega.
"Syukurlah. Ku fikir kau tidak akan bangun," ungkap Kayla senang. Aku tersenyum ke arahnya dan menatap lekat seluruh ruangan saat aku bisa melihat dengan seutuhnya. Aku baru ingat jika aku pingsan saat jam kuliahku usai tadi. Bahkan teriakan Ryan masih berdenging di telingaku, aku tidak menyangka jika dia bisa berteriak sekencang dan semelengking itu.
"I think you ok brother?" dari arah pintu Kris datang dengan jas dokternya. Dia melangkah dan berdiri di sisi ranjangku, mengeluarkan alat yang selalu berada di saku jas kebesarannya.
"Apa masih terasa sakit?" tanyanya setelah menekan perutku cukup dalam.
"Sedikit, rasa mualku langsung muncul saat kau menekannya," jawabku dan Kris hanya mengangguk sebagai balasan.
"Sudah kubilang untuk istirahat dirumah. Inilah hasil dari kebodohanmu karena memaksakan diri untuk pergi. Jika Ryan tidak segera mengantarmu. Kau akan membusuk disana!" tegurnya dengan nada dingin dan ekspresi yang yeahh... aku akui dia menyeramkan saat marah seperti ini.
"Bagaimana sekarang?" tanya Kayla seraya menoleh ke arah Kris.
"Dia hanya perlu berbaring disini untuk beberapa hari hingga keadaannya benar – benar pulih total. Ini hanya reaksi alergi dari makanan yang dimakannya. Jangan khawatir granny. Dia tidak akan mati." jelas Kris mengenai keadaanku pada Kayla.
"Untukmu Kayla kuucapkan terimakasih dan bunuh dia jika dia melakukan hal bodoh selama aku tidak ada!" pesan Kris seraya tersenyum manis pada Kayla. Kayla yang mendengarnya hanya terkekeh terbiasa dengan pesan – pesan yang dititipkan Kris padanya untukku.
***
Sekarang jam makan malamku, seorang perawat mengantarkan menu makananku tadi dan lekas pergi setelah Kayla menerimanya untukku. Kayla membantuku menyiapkan makan malamnya di hadapanku, bahkan mungkin dia akan menyuapiku jika aku tidak segera bangun dan segera memakannya sendiri.
"Kau tidak lapar?" tanyaku saat melihat Kayla masih setia duduk di sampingku dan menemaniku hampir seharian ini, dia tetap duduk disana tanpa berpindah tempat bahkan saat aku tertidur. Aku bisa merasakan keberadaannya.
"Selamat malam, pesanan sudah datang," Kris tiba – tiba masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. dia menjinjing sebuah paper bag di tangan kirinya, melangkah menghampiri kami dan berhenti tepat di sampingku.
"Kau memakannya?" tanya Kris dengan tatapan ngeri saat aku menyantap makan malam dari rumah sakit.
"Apa aku terlihat sedang menyemburkannya ke wajahmu Kris?" tanyaku ketus saat mendengarnya bertanya seperti itu.
Dia mengendikan bahunya tak perduli dengan ucapanku. Tatapannya beralih pada Kayla yang duduk tepat di seberangnya, memperhatikan percakapan kami dengan senyuman di bibirnya. Kris menarik nafasnya panjang kemudan mengangkat tangannya untuk menyerahkan paper bag yang sedari tadi dijinjingnya.
"Yang menjaga juga harus makan. Aku sering menangani pasien dengan gangguan pada lambungnya. Kau tahu apa penyebabnya Kayla?" tanya Kris seraya memasukan tangannya kedalam saku jas kebesarannya setelah tangannya terbebas dari paper bag yang dijinjingnya, dia menatap Kayla menunggu jawaban dari pertanyaannya.
"Tidak, memangnya kenapa?" tanya Kayla balik seraya menggeleng dan tersenyum ke arahnya.
"Mereka melewatkan jadwal makan mereka karena menunggu orang sakit seperti ini. Mereka akan di rawat untuk satu atau dua hari atau mungkin hanya berobat biasa saja untuk mendapatkan obat dan vitamin. Sangat konyol. Mereka menasehati orang sakit, namun pada akhirnya mereka juga yang sakit setelah keluarganya dinyatakan sembuh dan boleh pulang," kekeh Kris yang berakhir dengan menggerutu sendiri seraya menggelengkan kepalanya tak mengerti dengan pola pikir para keluarga pasien yang menunggu.
Aku dan Kayla ikut terkekeh mendengarnya. Tanpa pamit atau embel – embel apapun, Kris langsung pergi dari ruangan. Meninggalkan kami kembali dalam keheningan.
"Makanlah, kau juga tidak boleh sakit setelah ini. Sangat konyol jika kita bergantian berjaga nanti," Kayla terkekeh mendengar penuturanku yang jelas – jelas menyindir ucapan Kris tadi tentang pasien dengan gangguan lambungnya. Kayla menurut dan segera membuka makan malamnya yang tadi dibawakan Kris.
Setelah selesai makan malam. Aku dan Kayla berakhir berkutat dengan tugas – tugas kami. Sebenarnya aku memaksa untuk mengerjakan tugasku sekarang karena deadlinenya sudah dekat. Kayla sangat menentang keras permintaanku, Dia terus menolak permintaanku untuk mengambil semua tugasku dari dalam tas yang tersimpan di sofa, saat aku akan mengambilnya sendiri dia berteriak kencang dan marah padaku, menyuruhku untuk tetap di tempat. Setelah membujuknya cukup lama, akhirnya dia bersedia mengambilkannya untukku dengan catatan aku hanya di beri waktu sampai jam sembilan malam bertepatan dengan jadwalku meminum obat setelahnya ia menyuruhku untuk tidur.
"Sudah jam sembilan, sekarang waktunya kau meminum obatmu," Kayla bangkit dari duduknya, dia segera menyingkirkan buku, kertas – kertas, dan laptop yang berserakan di atas tempat tidurku. Menjauhkannya dari jangkauanku. Dia segera mengambil obat yang terletak di dalam kotak yang menempel di dinding dekat tempat tidurku, membuka bungkusnya dan menyimpannya di dalam gelas kecil setelahnya ia kembali duduk di sampingku dan menyerahkan segelas air dan obat yang sudah disiapkannya.
"Terimakasih," ucapku senang saat Kayla kembali menyiapkan semua kebutuhanku dengan tepat. Dia benar – benar meringkankan aktivitasku sekarang. Waktuku tersisa banyak untuk beristirahat berkat pengaturan jadwal yang tepat olehnya.
"Aku harus pulang, besok pagi aku ada kelas, aku harus mempersiapkan presentasiku"
"Kenapa kau baru bilang sekarang? Ini sudah begitu larut. Siapa yang akan mengantarmu Kay?" tanyaku terkejut saat Kayla mulai membenahi buku – buknya ke dalam tas.
"Tidak apa. Aku bisa naik taksi. Jangan khawatir. Istirahatlah, besok siang aku akan kembali. Kurasa Alice dan Abbie akan ikut juga." jawabnya tenang dengan senyuman seperti biasanya.
"Tidak, kau tidak boleh pulang sendirian. Kris akan mengantarmu. Kalau tidak kau menginap disini. Besok pagi aku akan mengantarmu ke kampus," ekspresi Kayla langsung berubah saat mendengar penuturanku. Tatapannya menajam dengan bibir terkatup rapat penuh kekesalan.
"Tidak!" marahnya penuh penekanan seraya menggeleng kuat tanpa mengubah ekspresi di wajahnya.
"Kak Kris bilang kau tidak boleh beranjak dari kasurmu sebelum kau benar – benar pulih," tolaknya keras.
"Tapi, aku tidak mungkin membiarkanmu pulang sendiri sekarang. Ini sudah malam aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu di jalan."
"Tenanglah. Aku akan baik – baik saja."
"Tetap duduk disini sampai Abbie datang menjemputmu"
"Dean," panggilnya seolah membujuk agar aku tidak menghubungi Abbie sekarang. Aku menggeleng dan menahannya untuk tetap tinggal sampai seseorang menjemputnya. Aku tidak bisa menyuruh Kris untuk mengantar sekarang. Dia pergi mengunjungi pasiennya yang di rawat di rumah setelah mengantarkan makan malam Kayla tadi.
"Tetap disini, Abbie akan menjemputmu. Alice menginap, kau tidak tahu?" tanyaku seraya menariknya untuk kembali duduk disampingku
"Sudah ku bilang, aku akan baik – baik saja Dean," jelas Kayla memberikan pengertian padaku untuk yang kesekian kalinya, namun aku menggeleng bersikeras menahannya hingga Abbie datang menjemput. Aku tidak akan tenang jika dia pulang malam sendirian terlebih setelah menjagaku seharian disini.