Chereads / Never Lost You / Chapter 6 - 6. Kris Yang Menyebalkan

Chapter 6 - 6. Kris Yang Menyebalkan

"Hahh...ini sangat melelahkan. Aku ingin segera mengakhirinya." keluh Abbie seraya menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Melupakan makan siangnya yang baru saja di bawanya. Di antara kami semua, hanya Abbie yang selalu mengeluh tentang semua jadwal padat kelas tiga. Dia benar – benar bosan dengan semua soal latihan dan pelajaran tambahan.

"Berhenti mengeluh, kau hanya perlu bersabar." kata Radit menyemangati sambil memukul pelan bahu Abbie seraya duduk di sampingnya dan menyimpan mangkuk Baksonya dimeja.

"Sudah, sekarang segeralah makan sebelum bell kembali berbunyi dan kau belum sempat mengisi perutmu itu." sebagai teman terdekat, Alice menyemangati lewat sentuhan tangannya di bahu Abbie, dia memijatnya sedikit kemudian membantu Abbie untuk duduk tegak dan mendekatkan makanan kehadapan Abbie. Bahkan Alice membukakan sebotol air mineral untuk Abbie minum sebelum makan.

Mereka tampak serasi jika seperti ini. Alice memang tidak senang jika disebut – sebut sebagai pasangan Abbie, tapi Alice memiliki rasa peduli yang begitu besar pada Abbie, dia benar – benar memperdulikan pangeran hitam itu. Mungkin hanya membutuhkan sedikit waktu lagi agar Alice benar – benar sadar dengan cinta tulus dari seorang Abbie yang konyol.

"Ku dengar kelasmu sudah melwati jadwal konseling." tanya Kayla beralih padaku.

"Perguruan tinggi mana yang kau pilih?" tanya Kayla kembali dengan raut penasaran di wajahnya.

"Aku tidak yakin, tapi Kris menyarankanku pergi ke UNPAD, aku mengambil jurusan managemen bisnis. Kay?"

"Aku mengambil jurusan Psikologi di Universitas yang sama denganmu."

"Kurasa itu cocok denganmu." Kayla mengangguk dan tersenyum, dia terlihat senang dengan jurusan yang akan di masukinya nanti. Kayla memang senang berkutat dengan hal – hal yang berurusan dengan perilaku manusia walaupun ia lebih banyak berkutat dengan musik. Aku pernah sekali mengantarnya ke toko buku, dan buku – buku yang dia beli kebanyak tentang psikologi manusia dan hewan.

"Aku tidak sabar untuk segera memulai kuliah."

Alice juga mengambil jurusan yang sama dengan Kayla. Abbie dan Radit memilih Universitas yang berbeda, Radit akan kembali ke Jogja setelah acara kelulusanya, sedangkan Abbie memilih program studi Arsitek di ITB, dia memang sedikit kurang pintar dalam beberapa bidang pelajaran, tapi untuk urusan hitungan bangun ruang dan segala tektek bengek yang berurusan dengan bangunan dia adalah ahlinya. Untuk belajar matematika waktu itu, dia hanya bercanda, sekedar untuk mengganggu dan mencari perhatian Alice saja. Dia sudah lebih pintar dalam pelajaran itu.

***

"Bagaimana dengan pelajaranmu? Apa kau menemukan kesulitan?" tanya Kris saat kami akan memulai makan malam. Dia menyimpan semua masakan yang baru dibuatnya di meja dan segera duduk disana, di hadapanku.

"Sejauh ini tidak, Kayla dan yang lain sangat membantu."

"Baguslah, bagaimana dengan konselingmu? Bukankah hari ini jadwalmu?" tanya Kris kembali saat ia mulai duduk di kursnya. Bersiap untuk memulai makan malam setelah menuang air minum ke dalam gelas.

"Ya, aku sudah membicarakannya. Dan guru konselingku setuju. Aku sudah mendapatkan formulir pendaptarannya."

"Baguslah. Raihlah nilai terbaik. Mommy dan daddy akan datang di upacara kelulusanmu."

"Sejauh ini aku mendapat nilai terbaik." Sahutku percaya diri.

Kris tersenyum mendengar penuturanku. Aku tahu, dia hanya bercanda dengan ucapannya tadi. Kris sudah sangat tahu bagaimana jenuisnya otakku bekerja. Semua itu berkat gen yang mommy dan daddy turunkan pada kami. Kris dan aku memiliki kualitas otak terbaik berkat mereka. Sedikit pamer tidak apa – apakan?...

"Kapan ujianmu?"

"Dua bulan lagi."

"Cukup lama. Ku fikir besok."

"Kau gila? Kurasa kau benar – benar sudah menghapus masa SMAmu itu." dia hanya terkekeh mendengar sindirku tentangnya. Dia benar – benar tidak memperdulikan bagaimana mulut seseorang mencibir tentang pribadinya yang aneh. Dia hanya akan menikmatinya sebagai hiburan saja.

Setelah selesai makan, Kris langsung membereskan meja makan dan mencuci piring bekas makan kami. Dia hanya akan menyuruhku untuk segera pergi kekamar dan tidur setelah menyelesaikan tugas dari sekolah. Bahkan dia menyiapkan cemilan malamku dan mengantarkannya ke kamar untuk menemani tugas dari sekolahku. Dia sudah seperti ayah sekaligus ibu bagiku. Dia menyiapkan semuanya dengan sangat baik.

"Pergilah istirahat, aku tidak menerima alasan apapun jika aku datang layar laptopmu masih menyala!" titahnya tanpa menoleh ke arahku. Tapi itu cukup menjadi peringatan bagiku, karena aku tahu jika Kris berkata "akan", maka tak butuh waktu lama dia benar – benar akan melakukannya, dan jika kau melanggarnya, selamat menikmati harimu bersama Kris hingga dia benar – benar pergi dan berhenti mengomel seperti mommy. Dan kurasa aku memang sudah mengantuk sekarang. Aku ingin segera pergi tidur dan kembali bangun esok hari sebelum Kris kembali meneriakiku untuk bangun agar tidak terlambat.

***

"Dean!"

Kembali teriakan melengking terdengar di telingaku, dia benar – benar berisik hari ini. Teriakannya tidak berhenti hingga jam menunjukan pukul setengah tujuh. Jika aku tidak segera menampakan diri di depannya aku yakin teriakannya tidak akan berakhir sampai saat ini. Suaraku yang menjawabnya kalah kencang dari teriakan super kerasnya.

"Kenapa hari ini kau begitu berisik?" protesku kesal sambil menyimpulkan dasi di leherku, menghampirinya yang masih setia dengan celemek yang menggantung di leher dan terikat rapi di pinggangnya.

"Karena kau tidak menjawabku."

"Sudah, tentu saja sudah. Maka berhentilah berteriak dan dengar jawabanku." protesku lagi seraya mendudukkan diri tanpa mengalihkan kegitan tanganku yang masih menyampul dasi di leher.

"Aku harus berangkat lebih pagi, mommy dan daddy akan tiba di bandara setengah jam lagi. Segeralah sarapan dan berangkat." titahnya seraya memberi pesan saat dirinya menyodorkan segelas susu ke arahku.

"Apa kau bilang? Mereka tiba di bandara?!" tanyaku terkejut saat mendengar penuturannya. Dia tidak memberi tahuku kapan mereka akan datang, dan tiba – tiba saja dia bilang mommy dan daddy akan tiba setengah jam lagi di bandara.

"Bukankah aku sudah bilang dua bulan lalu bahwa mereka akan menghadiri upacara kelulusanmu?" tanyanya berhenti dari aktivitasnya yang sedang melepas celemek yang menggantung di lehernya.

"Kau hanya bilang mereka akan datang tanpa memberi tahuku kapan mereka akan datang."

"Oh benarkah? Maafkan aku kalau begitu. Sekarang cepatlah sarapan kau bisa terlambat jika masih berkutat di meja makan."

"Ini masih setengah tujuh Kris, aku masih memiliki dua jam lagi untuk masuk kelas!" kataku megingatkan seraya menunjuk jam yang masih menunjuk ke arah jam.

"Ah! terserahlah, yang jelas segeralah sarapan sebelum makananmu dingin."

"Kau hanya membuatkanku sepotong roti isi daging Kris. Oh, I will be crazy. Please enough Kris. Can you just go now before they come precede you?" kesalku karena dia terus mengatakn sesuatu yang tidak penting sekarang. Terkadang dia menyebalkan sekali seperti hari ini.

"Baiklah aku pergi sekarang. Maaf aku tidak bisa mengantarmu ke sekolah. Dan saat pulang hubungi aku, aku akan menjemputmu. Kita langsung ke rumah granny!" pesannya seraya pergi dengan jaket tebalnya yang sebelumnya tersapir di kepala kursi.

"Stop it Kris, you're never picked me up!" teriakku kesal padanya yang sudah menghilang di balik pintu. Dia akan menjadi sangat menyebalkan dan menjengkelkan di pagi hari dan itu sagat menganggu ketenanganku. Dengan terpaksa, aku segera sarapan dan pergi ke sekolah.

Waktu dua bulan terasa benar – benar cepat, akhirnya hari dimana kami bertarung dengan soal – soal dari pemerintah akan dimulai setelah menempuh persiapan dalam waktu yang cukup lama. Dua bulan lalu kami selalu pulang terlambat karena jadwal pelajaran tambahan dari sekolah. Hari ini adalah hari pertarungan kami.

"Tumben kau datang pagi?" ujar Abbie yang baru saja memasuki ruang kelas. Ini memang masih sepi, tapi beberapa murid sudah menempati bangku mereka dengan buku yang mereka baca sebelum ujian di mulai.

"Kris membangunkanku pagi sekali, dia berisik hari ini." jawabku malas dan mendapat kekehan ringan darinya. Abbie mengenal Kris setelah dia dan yang lain mengunjungi rumahku. Ingat setelah hari dimana kami semua mengunjungi Kayla yang sedang mengalami cidera pada kakinya? Tepat di hari minggu, sesuai perkiraanku. Mereka datang berkunjung ke rumah secara tiba – tiba tepat jam 10 pagi dan Kris sedang libur saat itu. Semenjak saat itu, Abbie jadi lebih sering main ke rumahku di hari minggu, bertarung game dengan Kris dan menghabskan waktu untuk membuliku. Mereka semakin dekat karena memiliki kesukaan yang sama.

"Dia menyayangimu Gin." godanya dengan kekehan mengejek miliknya.

"Stop it!" kesalku seraya memukulnya dengan buku di tanganku. Dia hanya menghindarinya dan segera pergi ke mejanya sebelum aku kembali menghantamnya dengan keras.

"Selamat pagi semuanya!" Radit datang dengan riang, tasnya yang terlihat kosong begitu enteng di jinjingnya. Dia hanya segera duduk di sampingku dan mengacungkan tangannya sebagai salam selamat pagi padaku.

"Wajahmu terlihat buruk pagi ini. Terjadi sesuatu?" tanya Radit seraya tersenyum ke arahku dan menggantungkan tasnya tanpa meliriknya terlebih dahulu.

"Kak Kris membangunkannya begitu pagi. Dia amat menyayanginya bukan?" Sahut Abbie kembali menggoda.

"Oh benarkah? Itu berita bagus. Aneh memang melihatmu datang begitu pagi, tapi itu bagus Dean. Kau bisa melanjutkan tidurmu sebelum bell pertama berbunyi?"

"Come on Radit, don't follow Abbie to bulying me!" protesku, Radit hanya mengendikkan bahunya tak perduli dan terkekeh renyah bersama Abbie.

Bell pertama sudah berbunyi, semua murid sudah mengisi bangkunya masing – masing, kami sudah siap dengan alat tulis kami di atas meja tanpa sehelai kertas ataupun papan sebagai alas untuk kertas ujian kami.

"Baiklah, kita akan segera mulai ujiannya. Ku harap kalian bisa bekerja sama untuk tidak menimbulkan desisan – desisan ala ular di kelasku hingga ujian selesai. Percaya diri adalah yang terpenting!" kata pak Ilham yang masuk sebagai pengawas di pelajaran pertama. Dia membuka amplop soal kami yang masih tersegel dan segera membagikannya pada para murid. Setelah dia mengatakan mulai, semua murid mulai berkutat dengan lembar soal dan jawaban masing – masing tanpa seorang pun yang berani mengeluarkan suara mereka hingga bell pertanda selesai berdentang.