"Pagi Kay!" sapaku saat bertemu Kayla tepat setalah kami keluar dari halaman rumah kami masing - masing.
"Selamat pagi Dean!" sapanya ceria seperti biasanya. Ekspresinya langsung berubah saat mendapati makhluk asing di belakangku.
"Pagi Kay!" sapa Kris dari dalam mobil yang dikendarainya, tangannya terangkat menyapa dengan ceria. Namun yang disapa hanya mengangguk ragu dan tersenyum samar.
"Aku berangkat Gin, jangan lupa pesanku yang tadi." pamit Kris seraya mengingatkan tentang sesuatu yang dimintanya sebelum berangkat tadi. Aku mengangguk singkat sebagai jabawan.
Sepeninggalan Kris dengan mobilnya, Kayla menghampiriku seraya memandangi mobil yang sudah melaju jauh meninggalkan area perumahan.
"Siapa dia?" tanyanya begitu polos.
"Kau tidak mengenalnya?" tanyaku tak percaya dan Kayla menggeleng.
"He's my brother, Kris. Bukankah kau sering mengantarkan makanan ke rumah kami? Siapa yang menerima makananya kalau bukan dia?"
"Aku hanya pernah mengantar makanan sekali, saat itu kau yang menerimanya. Biasanya mama yang mengantar makanan ke rumahmu."
Aku langsung menoleh ke arahnya terkejut dengan jawabannya. Selama ia tinggal disini, tak pernah sekalipun dia bertemu atau sekedar melihat Kris walaupun sedikit saja. apa yang dilakukannya selama ini, sampai – sampai dia tidak tahu Kris yang mana. Dan apa yang Kris lakukan selama ini sampai tetangganya tak pernah melihatnya. Seingatku Kris sangat bertolak belanag denganku, dia sangat mudah dekat dengan orang lain, dan dia banyak dikenal oleh banyak orang.
"Kemana saja kau selama ini sampai – sampai tidak mengenalnya?" tanyaku heran padanya. Dia hanya tersenyum dan mengendikan bahunya kemuidan berjalan mendahuluiku.
***
"Hahh...kenapa cepat sekali, aku baru saja merasakan duduk di bangku kelas dua bulan lalu," keluh Abbie setelah pelajaran tambahan kami usai beberapa saat lalu, dia menjatuhkan kepalanya lemas ke atas meja dan menghembuskan nafas lelah yang panjang beberapa kali.
"Sialan, bulan lalu hidungmu. Itu sudah hampir satu tahun yang lalu. Kau betah duduk di bangku kelas dua?" protes Radit kesal.
Ya, waktu begitu cepat berlalu, sekarang kami mulai disibukan dengan segudang tugas, pemantapan, dan hal – hal lainnya untuk persiapan ujian akhir dan UN. Aku masuk tepat di semester 2 tahun ketiga SMA. Maka tak heran jika aku merasa waktu berjalan begitu cepat, 6 bulan bukan waktu yang lama terlebih aku melaluinya dengan orang – orang yang menyenangkan.
Awalnya, aku tidak menyangka jika aku akan lulus sebagai murid SMA Bandung, dan akan mengenal mereka. Hidupku di Swiss mamang sangat monoton, aku tak pernah merasakan teman yang seperti sekarang, mungkin jika daddy tidak memindahkanku ke sini, aku akan tetap hidup menjadi Dean si flat, aku terlalu datar dalam menjalani hidup. Bersyukur karena Kris memaksa daddy untuk mengirimku kesini dan melanjutkan sekolah disini, walau hanya 6 bulan aku bisa menginjak bangku SMA di Bandung.
"Yang ku maksud adalah ujian. Bagian ini yang paling tidak aku senangi. Waktu berjalan begitu cepat bro." sahut Abbie memberi alasan dengan suara malasnya itu.
"Memang sejak kapan kau suka ujian Bie? Yang kau suka kan Alice." celetuk Radit langsung mengenai sasaran. Sontak Abbie mendudukan dirinya dengan tegak, menghadap Radit dengan tatapan sengit. Dan plak... satu pukulan yang cukup keras berhasil mendarat di kepala Radit, membuatnya mengaduh dan terkekeh pelan secara bersamaan.
"Woy! jangan samain dong, Alice itu sosok perempuan yang cantik. Sedangkan ujian, mereka tak berupa sama sekali, abstrak dan menyebalkan." protes Abbie masih dengan wajah malasnya, walaupun sebelumnya tangannya berhasil menjitak kepala Radit cukup keras.
"Berhentilah mengeluh, kau seperti perempuan lagi PMS Bie."
"Berisik!"
"Sudah, ayo kita pergi, Alice dan Kay sudah menunggu." kataku menengahi, menghentikan perang adu mulut dua sahabat yang penuh dengan candaan dan jauh dari kata serius. Mereka si tukang bercanda.
***
"Hey! Aku tidak mengerti bagian ini. Beb, yang ini cara mengerjakannya bagaimana?" tanya Abbie pada Alice manja sambil menunjuk kertas soal di tangannya.
"Alice, Abbie, bukan beb. Ibuku tidak memberiku nama beb!" protes Alice tak terima seraya memukul kepala Abbie dengan kertas di tangannya.
"Itu panggilan sayang dariku buatmu," goda Abbie seraya menaik turunkan alisnya dengan cengiran lebar di bibirnya. Alice mendengus mendengarnya, dan mulai menjelaskan pertanyaan Abbie terhadap soal matematiaknya itu, menghiraukan Abbie yang terlalu sering menggodanya dengan panggila itu.
"Dasar bodoh, yang di lihat soalnya bukan wajahku, pesek!" hardik Alice kembali memukul Abbie kini sasarannya adalah wajah Abbie yang terus memandangi Alice dengan cengiran lebar nan konyolnya itu.
"Wajahmu membuatku tidak bisa berkonsentrasi. Kau terlalu cantik untuk di abaikan," godanya kembali dan membuat Alice benar – benar jengah di buatnya. Radit yang melihatnya hanya menggelengkan kepala heran dengan sikap kedua sejoli yang sudah hampir tiga tahun ini menjadi sahabatnya.
"Kay, aku sudah menyelesaikannya." kata Radit sambil memberikan kertas soalnya pada Kay. Kay langsung memeriksanya, memperhatikannya secara teliti dan mengangguk untuk beberapa kali. Tiba – tiba bibirnya menyungging mengukir senyum simpul dan kembali mengangguk. Kayla mengalihkan pandangannya dari kertas mencari pensil yang sebelumnya ia pegang tadi, dengan segera aku memberikannya.
"Hehe terimakasih," kekehnya sambil mengambil pensilnya dan mulai melingkari beberapa soal disana.
"Kembali," jawabku pelan sambil tersenyum dan mengangguk ke arahnya.
"Dit, ini ada yang ketinggalan soalnya gak diisi. Ini juga belum di jumlahin." kata Kay seraya memberikan kertas soalnya kembali pada Radit.
"Oh! Sure?" tanyanya sambil mengambil kembali kertasnya dan memeriksa soalnya, dia langsung terkekeh dan mengangguk menyadari ada yang ia lupakan.
Selepas pulang sekolah, kami memutuskan untuk mengerjakan latihan soal di rumah Alice atas usulan Abbie tentunya. Dan kami sudah menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk membahas soal – soal latihan UN dengan Alice dan Kayla yang menjadi guru kami sekarang.
"Ini punyaku," ucapku sambil menyerahkan kertas soalku padanya. dia duduk di sampingku omong – omong, aku mendapat pelajaran ekstra dari guru dan Kayla dalam pelajaran bahasa Indonesia. Bahkan sekarang soal yang baru selesai ku kerjakan dan semua soal yang menumpuk di hadapanku kebanyakan bahasa Indonesia dan IPA, ketimbang matematika dan Inggris.
"Mana, coba ku lihat,"
Kayla mengambil kertasku dan memeriksanya, tak butuh waktu lama dia langsung menyimpan kertas soalku di hadapanku, memegang pensilnya terbalik dan menjelaskan kesalahan apa saja yang ku buat dalam soal yang ku kerjakan.
"Dean coba baca ini," titahnya seraya menunjuk serentetan paragrap yang cukup panjang di kertas soalku. Kayla langsung tertawa saat aku menyebutkan beberapa nama daerah di bandung tak hanya Kayla, sontak Alice, Abbie dan Radit juga tertawa keras. Abbie yang paling keras, tawanya benar – benar meledek sekarang.
"Ciumbuleuit Dean, bukan Cimbulet" katanya dalam tawa menggelegar.
"Dia bilang Cipendey!" Radit ikut – kutan menertawakanku. Mereka saling bertepuk tangan dan memukul satu sama lain saking bahagianya mentertawakanku.
"Woy! Kamu juga gak bisa mengatakan peuyeum. Berhenti mengejek." Abbie yang sadar jika Radit datang dari Jogja dan tidak bisa mengatakan peuyeum dengan benar, berhenti tertawa dan menoleh ke arah Radit kemudian menempeleng kepalanya pelan.
"Tunggu aku angkat telepon dulu." pamit Kayla sambil bangkit dari duduknya dan pergi agak menjauh dari kami yang cukup berisik disini.
"Aku lupa kalo hari ini aku janji dengan mama akan mengantarnya ke butik, dia sudah menungguku satu jam di rumah. Aku pulang duluan ya. Dean sisanya bisa kau tanyakan pada Alice." tiba – tiba Kayla datang dengan terburu – buru setelah selesai mengangkat teleponnya beberapa menit lalu, Kayla langsung mengambil jaketnya tanpa membawa serta tasnya. Dia pergi begitu saja.
"Kay, tas dan bukumu!" teriak Alice seraya merapikan semua perlengkapan belajar kayla kedalam tasnya.
"Aku akan menyusulnya. Aku duluan." kataku cepat setelah selesai merapikan buku – bukuku juga. Aku langsung menarik serta tas Kayla dengan tasku dan berlari mengejar Kayla yang kurasa belum terlalu jauh.
"Kay!" teriakku cepat saat mendapati Kay kembali berlari ke arah rumah Alice.
"Kenapa kau ada di luar?" tanyanya terkejut.
"Ayo pulang bersama. Ada yang harus aku persiapkan sebelum Kris menjemputku di rumah nanti. Aku akan mengunjungi Granny di Lembang." ajakku pada Kayla yang terengah setelah berlari tadi.
"Baiklah, tunggu sebentar. Aku meninggalkan tasku di rumah Alice."
"Aku sudah membawanya. Ayo!" ajakku sambil menarik tangannya dan segera menyerahkan tasnya.
"Terimakasih."
"Bagaimana bisa kau melupakan tasmu," kekehku sambil mulai melangkah di sampingnya dengan santai. Kayla terkekeh dia bahkan menepuk kepalanya sendiri sadar akan kebiasaanya yang selalu melupakan banyak hal. Aku tersenyum saat melihat ekspresinya yang seperti itu. Guruku yang pelupa, kau sangat manis.