"Dean, let's go home" ajak Kayla saat dia sudah selesai mengemasi barangnya.
"Eum" balasku seraya bangkit dari duduk setelah menarik serta tasku yang tersimpan di sampingku.
"Dimana Abbie dan Alice?" tanya Kayla saat sadar jika aku hanya sendiri disini.
"Dia pulang duluan bersama Abbie. Probably about half an hour ago" jawabku setelah melihat sebentar jam tanganku.
"Kalau begitu, ayo kita pulang juga"
"Eum..."
Sore ini sekolah masih terlihat ramai, anak – anak dari beberapa ekskul masih berkutat dengan kegiatan mereka di sekolah, beberapa di antarnaya adalah para murid dari ekstrakulikuler olahraga dan Cheerleader. Mereka sibuk berlatih di lapangan luas sekolah ini.
"Ah! Kamu ikut club apa?" tanya Kayla
"Nope!" ekspresinya langsung berubah saat aku mengatakannya, matanya langsung membulat terkejut.
"Benarkah?" dan aku mengagguk ringan sebagai jawaban untuk meyakinkannya.
"Kenapa? Apa tidak ada club yang menarik?"
"Tidak, I just not interested to have a activity outside hours "
"Aku hanya tidak tertarik dengan hal itu. Mereka juga bisa menyita akhir pekanku bukan?" jawabku sekenanya. Dan Kayla kembali tertawa mendengarnya, dia mengangguk mengerti dengan sebuah lengkung di bibirnya, sangat manis.
"Awas!"
Tiba – tiba sebuah teriakan seseorang melengking dari arah samping kami, sebuah bola sepak memantul dengan keras dan berputar di udara menuju ke arah kami, tepatnya ke arah Kayla yang berjalan di sisi kiri. Dengan cepat aku menariknya menjauh dari bola yang beberapa senti lagi akan membentur kepalanya.
Duk...duk...duk...
Semua murid yang memperhatikan kami langsung bernafas lega kala bola itu berhasil melintas tanpa menyakiti seseorang. Beberapa di antara mereka menghampiri kami dan bertanya apakah kami atau lebih tepatnya Kayla baik – baik saja. Kayla melepaskan pelukanku dan kembali berdiri dengan tegap menghadap ke arah mereka. Seperti biasanya dia memamerkan senyum ramahnya dan mengatakan bahwa dia baik – baik saja.
"Syukurlah, maafkan kami." sesal mereka.
"Tidak apa – apa, aku baik – baik saja." jawab Kayla merasa tidak enak pada mereka.
"Are you sure?" tanyaku padanya saat para murid itu sudah kembali kelapangan seraya memukul sang penendang yang tadi berlari mengambil bolanya yang menggelinding. Bahkan mereka menegur dan memarahinya.
Kayla tersenyum seraya mengangguk yakin dan kembali berjalan dengan perlahan. Ku langkahkan kakiku lebih lebar untuk mengejarnya, ku tarik tasnya yang tersampir di bahu kirinya, kemudian menariknya untuk segera naik ke punggunggu.
"Dean apa yang..." protesnya tertahan saat tubuhnya sudah berada di gendonganku. Aku tahu dia berbohong saat mengatakan bahwa dia baik – baik saja, kakinya terkilir saat aku menariknya secara tiba – tiba tadi, samar – samar aku mendengar suara retakan dari kakinya dan melihatnya menahan sakit saat akan berjalan. Dia juga sedikit tertatih.
"Don't lie to me!" sentakku tajam tanpa menoleh ke arahnya.
"Dean..." panggilnya pelan penuh keterkejutan.
"I know, I know if you feel ancomfortable with your feet. I saw it and I heared it" lanjutku menahan gejolak amarah. Aku tidak tahu kenapa aku bisa sekesal dan semarah ini. Aku hanya tidak suka jika Kayla berbohong tentang keadaannya padaku, aku marah dan kesal saat dia berusaha menyembunyikan kesakitannya dariku.
"I'm just worried" batinku berbisik pada angin.
Aku langsung membawanya ke UGD, menurunkannya di brankar dengan seorang perawat yang menemani kami. Tak lama kemudian seorang dokter datang menghampiri kami, dia bertanya pada perawat tentang apa yang terjadi pada pasiennya. Mengangguk sebentar kemudian menghampiri Kayla.
"Selamat sore!" sapa si dokter dengan ramah.
"Perawat bilang kau mengeluh sakit pada pergelangan kakimu, apa kau jatuh sebelumnya?" tanya si dokter seraya memeriksa kedua kaki Kayla.
"Tidak, aku hanya hampir terjatuh. Pergelangan kakiku menimbulkan bunyi yang cukup keras, dan saat aku berjalan cukup linu dan sakit." jelas Kayla menjawab pertanyaan dokter muda itu.
"Baiklah, kalau begitu kita periksa dulu sebentar, berteriaklah jika aku menekannya terlalu keras." katanya dengan diselipi sedikit candaan dan kekehan ringan di bibirnya. Dokter pun langsung memeriksa kaki Kayla, dia menekan di beberapa titik pada kedua pergelangan kaki Kayla. Dan saat menekan di pergelangan kaki kiri, Kayla sedikit meringis dan hampir berteriak jika saja dia tidak menahannya dan si dokter berhenti menekannya.
"Ku bilang kau boleh berteriak, itu wajar. Bahkan aku pernah mendapatkan pasien yang meneriakiku karena kesakitan saat luka robek di kakinya ku jahit." kekehnya kembali bercanda, membuat Kayla tersenyum di buatnya.
"Kau tahu, sebenarnya dia berteriak karena istrinya mencubit kakinya cukup keras, dia salah faham padaku." kekehnya kembali membuat Kayla tertawa pelan
Setelah selesai dengan kaki Kayla, dokter itupun beralih pada perawat yang berdiri disampingnya. Dia memerintahkan sesuatu pada perawatnya, kemudian kembali pada kami.
"Sepertinya kakimu terkilir. Tapi, untuk lebih jelasnya kita akan melakukan foto rontgen untuk kakimu, agar kita tahu kondisi pergelangan kakimu sekarang. Semoga hanya terkilir ringan saja. Dari kondisi kakimu sekarang, kurasa tidak akan terlalu parah." jelas sang dokter seraya kembali memperhatikan kaki kiri Kayla sekilas.
"Perawat akan mengantarmu untuk pemeriksaannya." lanjutnya kemuidan pergi setelah perawat yang tadi bersamanya kembali dengan satu kursi roda.
***
Jam makan malam sudah datang, tapi tak ada tanda jika Kris akan pulang sekarang. halaman rumah masih sepi. Dengan berat hati aku harus menyiapkan makan malam sendirian. Kurasa memasak mie instan tidak teralalu buruk. Aku sedang malas memasak sekarang. Satu – satunya makanan cepat saji yang Kris sediakan di rumah ini hanya mie instan, yang sebenarnya ia sembunyikan dariku agar aku tidak memakannya saat sendirian seperti sekarang ini.
Saat aku baru menyiapkan panci untuk memanaskan air, tiba – tiba bell rumah berbunyi. Aku segera pergi ke depan, meninggalkan panci berisi air di atas kompor yang mati tentunya, aku tidak akan gila meninggalkannya dengan kompor menyala.
"Hi!"
Kayla berdiri dihadapanku dengan segaris senyum malu di bibirnya, pipinya bersemu merah bak tomat cerry. Tangannya terangkat sejajar kepalanya kemudian turun dengan raut canggung yang kentara di wajahnya.
"Hi" balasku singkat seraya mengangguk dan menatapnya dalam diam. Memandang ke arah kakinya yang di perban, menopang tubuhnya yang berdiri di hadapanku.
"Ah! Mama memasakan ini untukmu. Opor ayam dan tempe goreng. Mama sering mengirim makanan pada kakakmu." kata Kayla menyampaikan tujuannya datang ke rumahku di jam sekarang. Rumah Kayla tepat di seberang rumahku.
"Oh, terimakasih!" kataku seraya menerima kotak makan darinya. bersyukurlah, aku terhidar dari omelan panjang Kris malam ini. Aku mendapatkan kiriman makanan di saat yang tepat.
Ini pertama kalinya aku melihat Kayla dengan setelan piyama pink yang lucu dengan corak Strowberry memenuhi kain piyamanya. Sebelum – sebelumnya aku hanya melihat dia dengan seragam sekolah. Yeah...walaupun kami bertetangga, tapi aku tidak pernah mengunjungi rumahnya. Ini pertama kalinya Kayla mengunjungi rumahku selama kami kenal.
"Mau masuk?" tawarku sambil menunjuk ke dalam rumah yang sangat sepi. Kayla menggeleng pelan setelah menengok sedikit ke dalam rumah. Raut wajahnya sekarang lebih tenang, tidak secanggung sebelumnya.
"Ini sudah malam, mama bilang tidak baik mengunjungi rumah pria di malam hari. Aku akan langsung pulang saja. Selamat menikmati makananya" tolaknya,
Aku mengangguk paham dan kembali mengucapkan terimakasih atas kirimanan makanannya. Saat Kayla akan berbalik untuk kembali ke rumahnya, aku langsung mengintrupsinya, membuat Kayla berhenti dan kembali berbalik ke arahku.
"Kakimu. Sudah baikan?" tanyaku sambil menunjuk kaki kirinya yang di perban. Lantas Kayla mengikuti arah pandangku, dia menggerak – gerakkan pelan kakinya dan kembali menoleh ke arahku.
"Kurasa efek obatnya sudah bekerja. Sekarang lebih baik."
"Kau lupa jika dokter mengatakan untuk tidak banyak bergarak selama tiga hari ini?" tahyaku, Kayla terdiam, wajahnya berekspresi seolah sedang mengingat – ingat pesan dari dokternya saat di rumah sakit tadi.
"Bahkan dokter berpesan agar kau kembali ke rumah sakit tiga hari kemudian"
"Benarkah?" tanyanya dengan raut terkejut.
"How old are you Kay? That was not long ago. Just this afternoon the doctor gave you a message, and now you've forgotten? " kekehku pelan sedikit meledeknya tentang ingatannya yang cukup buruk kata Alice dan aku setuju sekarang. Kayla mencebikan bibirnya kesal, memutar bola matanya dan menoleh ke arah lain. Sangat manis.
"Manusia lupa itu wajar. Katakan padaku kapan terakhir kali kau main ayunan bersama temanmu saat kecil?"
"Aku tidak pernah main ayunan. Sedikit informasi, aku tidak pernah pergi ketaman bermain."
"Benarkah?" tanya Kayla terkejut dengan jawabanku. "Hey! Pasti kau sedang berbohong sekarang, kau sengaja berkata seperti itu karena kau juga lupakan?"
"I'm not lie. Masa kecilku ku habiskan bermain dengan sepeda dan membaca buku." jawabku jujur tentang betapa aku mencintai buku semenjak aku kecil dan aku tidak pernah mengunjungi taman bermain untuk sekedar main ayunan dan perosotan, ataupun membuat istana pasir disana.
"Kalau begitu aku pulang. Selamat malam."
***
Bruk...Blam....
Suara bising tiba – tiba terdengar cukup keras dari arah ruang tengah. Kurasa Kris sudah pulang sekarang. Aku lekas bangkit dari posisiku, pergi ke ruang tengah untuk sekedar memeriksa. Dan yeah! Itu Kris, dia menjatuhkan tubuhnya di sofa setelah melepas dua kacing teratas kemeja yang dikenakannya. Nampak begitu lelah.
Hampir lupa, namanya Kris Finnigan, dia kakakku. Seorang dokter di rumah sakit besar di Bandung, dia sudah lebih lama tinggal disini. Sebelumnya dia tinggal di sebuah kamar kost selama masa kuliahnya, hingga akhirnya dia membeli sebuah rumah setelah mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah rumah sakit. Dan inilah rumahnya sekarang, terlalu luas untuk dirinya sendiri. Rumah dua lantai dengan empat kamar, ruang tengah, dapur, kamar mandi di masing – masing kamar, dan ruang kerja pribadinya. Bukankah ini terlalu besar untuk ditinggalinya seorang diri selama bertahun – tahun?
"Kau belum tidur?" tanyanya saat sadar aku berada di sekitarnya, memperhatikan kegiatannya yang sedang membuka kaleng minuman dengan malas sambil menonton tanyangan televisi malam.
"I can't sleep." jawabku jujur sambil berjalan menghampirinya kemudian duduk di dekatnya.
"Apa terjadi sesuatu di sekolah?"
Aku menggeleng pelan seraya menyandarkan tubuhku ke sofa, mengalihkan pandanganku ke arah televisi yang sedang menanyangkan film action disana.
"Ah! Ku dengar kau sudah mulai fasih berbahasa Indonesia, coba kita tes sekarang."
Dia mengalihkan pembicaraan, tubuhnya langsung meposisikan diri dengan baik mengarah kehadapanku. Matanya mengerling seolah merencakan sesuatu di kepalanya. Mungkin untuk sekedar membuat sebuah candaan garing untuk melepas penat setelah seharian penuh berkutat di depan meja operasi.
"Tempat apa saja yang sudah kau kunjungi selama sebulan ini?" tanyanya tak terduga.
"Tes macam apa itu? Aku belajar bahasa Indonesia bukan belajar menjadi agen traveling di Indonesia." protesku pada pertayaannya yang begitu konyol. Dia terkekeh pelan disana, kembali merebahkan tubuhnya setelah menyimpan kaleng minumannya.