"Uh ah, uh ah! Kau bisa mengurus pasien dengan benar tidak!? Aku ini tidak luka, jadi tidak perlu diperban! Hei, jangan memumikan diriku! Aku mawih hwihdwup!"
"Tenang dikit napa!? Kau itu ada di tangan profesional!"
Meski gurunya sudah tidak ada, UKS tentu masih berjalan. Namun, karena tidak ada penggantinya, si Ceb– GB yang menganggur pun mengurus tempat ini untuk sementara waktu.
Seperti yang dapat ditebak, aku kembali terbaring ke sana karena terlalu berlebihan beberapa jam sebelumnya.
Dan seperti yang dapat ditebak lagi, entah karena apa Cebol yang satu ini malah memerban tubuh serta wajahku padahal tidak ada luka sedikit pun di sana.
"Hwaw, hwaw, hwaw! Kwhenapwha ikwhatannya mwhlah semwhkwhin dikhwencangkhwan!?"
*Aw, aw, aw! Kenapa ikatannya malah semakin dikencangkan!?
"Salahmu sendiri mengejakku dalam hati."
Tidak lama kemudian, aku kehilangan kesadaran karena perban yang ada di wajahku membuat diriku tidak mampu menghirup udara.
***
Beberapa saat setelah kuterbangun di malam harinya, aku diperbolehkan untuk pulang. Karena kemarin tidak sempat menemui Reva, aku pun berniat menjenguk dirinya di jam istirahat kedua ini.
Omong-omong, kejadian di badai itu serta badainya berakhir pada tengah hari. Pihak akademi tiba setelahnya, dan kami berdua pun dibawa ke UKS.
Jadi, kejadian itu baru terjadi kemarin. Dan sekarang, tentu Reva masih terbaring di ranjang karena luka yang dialami olehnya lumayan parah.
Meski aku sempat diberi pertanyaan ini itu, semuanya berakhir dengan baik. Kedua gadis yang ternyata adalah Guru UKS dan Kepala Asrama Kelas Dua Lion dibawa pergi untuk diinterogasi—
Tidak kusadari, ada seseorang di depan.
"… Ah, maaf, Tuan."
Tanpa sengaja, di lorong ini aku menabrak seorang pria. Dilihat dari pakaiannya yang berupa jas berwarna dasar perak bergaris emas, ia adalah orang kiriman organisasi.
"Haha, tidak mengapa."
Pria 20 tahunan dengan rambut hitam panjang serta … topeng dansa ungu di wajahnya tertawa sebelum menjawab.
"… Oh ya, Elkanah, kebetulan sekali, sepertinya ini keberuntunganku. Aku ada barang yang dititipkan oleh pria itu untukmu. Terimalah."
Ia kemudian mengambil amplop dari balik jasnya dan meletakkannya ke telapak tanganku tanpa menunggu aku berbicara.
"Kalau begitu, sampai jumpa. Maaf ya, bicaranya di lain kesempatan saja. Aku sedang terburu-buru untuk menemui orang lain. Sampai nanti."
"Tung– Ah …."
Belum sempat mengucapkan sepatah kata pun tentang bagaimana ia tahu bisa namaku, siapa yang ia maksud, dan siapa dirinya, pria itu pergi.
Yah, mau bagaimana lagi? }a kelihatan sibuk. Mungkin kami akan bertemu kembali di waktu yang berbeda. Saat itu tiba, aku akan menanyai itu.
"Oh, hehe, lumayan."
Ketika aku membuka amplop tersebut, aku mendapati puluhan lembar mata uang dari benua ini dengan nominal yang paling tinggi.
Baiklah, lupakan apa yang barusan terjadi karena ia memberiku ua– maksudku, Reva sedang menungguku di UKS.
***
"Yo!"
Mendekat ke ranjang Reva, aku menyapa dirinya yang sedang menatap dunia luar melalui jendela.
Tatapannya yang mengarah ke sana, diarahkan kepadaku setelahnya. Raut wajahnya … entah kenapa terlihat seperti baru saja kehilangan semangat.
Aku duduk di kursi dekat sana dan meletakkan keranjang buah di meja. Di sana juga terdapat buah-buah yang lain.
"Oh, apa ada orang lain yang barusan berkunjung?"
Reva menggangguk pada pertanyaanku yang muncul karena melihat keranjang buah selain dariku itu. Setelahnya, Reva mendesah panjang.
"… Tadi, Kakakku datang berkunjung. Aku agak kesal kenapa ia tidak memberi tahuku kabar kedatangannya, dan ia juga membela diri dengan sudah memberi tahu Clara."
"Kakakmu? Dia datang kemari?"
Rio coul Dafesilo. Pangeran pertama Kerajaan Dafesilo yang dengan kata lain adalah Kakak Reva meski beda ibu. Ia adalah Kontraktor Roh Laki-laki, sama sepertiku.
"Ya. Jika kau melihat pria aneh berambut hitam panjang sepertiku dengan topeng dansa di wajahnya serta mengenakan seragam organisasi, maka itulah orangnya."
Ups, sepertinya aku baru saja mengetahui siapa pria yang barusan kutabrak. Namun …, yah, aku masih tidak tahu bagaimana ia bisa mengetahui namaku.
"Lupakan saja dia …."
Reva menggeleng kemudian memegang lembut tanganku. Senyum simpul disunggingkan olehnya yang jarang seperti itu.
"… Untuk segala yang kamu lakukan kemarin … terima kasih, Elkanah."
Refleks, aku ikut tersenyum.
"Tidak masalah. Semua kulakukan demi menepati janji, serta … kita berdua, adalah teman, 'kan? Jadi wajar aku menolongmu."
Senyum di wajah Reva luntur seketika, ia mentapku dengan dingin sementara aku sedikit bertanya-tanya di dalam kepala tentang alasan laju perubahan ekspresinya.
"Syuh, syuh. Keluar. Jangan kembali sampai kau sadar mengenai kesalahan yang barusan kaubuat."
"Eh? Aku diusir, nih?"
"Iya, cepat sana!"
Tiba-tiba saja, Reva jadi seperti itu. Ia mendorong tubuhku untuk segera pergi sampai sedikit meninggikan suaranya ketika berkata.
Mau tidak mau, aku pun keluar dari UKS. Sambil berjalan di lorong, aku bertanya-tanya pada diri sendiri.
"Sebenarnya … hamba salah apa?"
***
Sesampainya di Kelas Rat, aku duduk ke kursiku, meski masih perlu setidaknya dua puluh menit untuk pelajaran dimulai.
Tatapan mataku tanpa sengaja terarah pada sesuatu yang ada di kolong meja. Dari sana, aku menarik keluar secarcik kertas putih.
Isi tulisannya adalah ….
"Begitulah yang seharusnya kamu lakukan. Daripada mencari diriku yang tidak mau pulang, lebih baik kamu mencari gadis lain dan melupakanku. Kalau itu kamu, mencari gadis lain yang lebih setia tidaklah sulit.
Kamu tahu, Elkanah? Aku sebenarnya selalu berada di dekatmu, hingga kamu tidak sadar bahwa itu aku. Senyum selalu kutunjukkan padamu, meski kamu biasa saja bahkan tidak menanggapi senyumku itu—karena kamu tidak melihatku.
Jika bukan hal terdesak, aku tidak akan menghubungimu. Meski begitu, kulakukan itu semua demi dirimu.
Sekian, sampai jumpa."
Usai membaca itu yang merupakan tulisan tunanganku, tatapanku terarah ke samping. Di sana, Hana tersenyum seperti biasanya kepadaku.
"Kurasa bukan …."
*****
Turun dari kapal, seorang gadis berumur sekitar 16 tahunan menghirit kopernya dengan senandungan bahagia.
Rambut putihnya berkibar saat ditiup oleh angin. Telinga kelinci yang mencuat ke atas sedikit berkedut saat merasakan terpaan angin musim gugur itu.
Ia lalu mengalihkan pandangan mata yang irisnya berwarna oranye ke langit. Senyum seketika terukir di wajahnya sebelum berteriak sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi :
"Akademi Roh Emerald, aku kembali …!"
Sesaat setelahnya, kepalanya mendapat hantaman dari seseorang yang baru turun juga dari kapal.
Orang tersebut adalah laki-laki yang cukup tinggi, 182 cm. Rambut rapinya berwarnakan ungu, dengan poni menutupi mata kanannya yang irisnya merah muda.
"Duh …. Apa maksud dari perbuatan yang kamu lakukan barusan pada kelinci manis ini, Iwao Katsuhito!? Uh~"
Memusut kepalanya, gadis beastman kelinci itu membalikkan badannya dan membentak. Jika bukan karena bentakan dan wajahnya yang memang manis, maka itu pasti akan membuat seseorang agak takut.
Memang, ekspresi tersebut memberi rasa iba pada seseorang. Namun, lelaki yang ada di hadapannya adalah Iwao Katsuhito, salah satu Kontraktor Roh Laki-laki, dan juga laki-laki yang agak kejam.
Tanggapannya pada hal itu adalah ….
"Najis, mati sana. Membuat mahluk hidup di sekitar malu saja."
"Eh? Jahat sekali! Jika itu rekanku yang dulu, ia pasti akan bersikap ribuan kali lebih baik pada Elina sang Kelinci Manis ini."
"Aku bukan dirinya, jadi jangan mengharap perlakuan yang sama. Ayo cepat jalan. Thrarfatalin bilang ada tugas baru. Ia juga bilang ingin mengenalkan seseorang."
Katsuhito melangkah lebih dulu dengan tas di punggungnya. Ketika angin berkibar, ia langsung menghentikan poninya yang mau menunjukkan sesuatu yang ada di balik itu.
"Tidak usah terburu-buru seperti itu …."
Gadis kelinci bernama Elina menyusul dan meraih tangan kanan Katsuhito. Laki-laki itu lalu berbalik pada Elina dan mendapatkan sebuah senyuman darinya.
"Ambil waktu sebentar, dan mari nikmati suasana akademi yang sudah lama tidak kita berdua rasakan karena misi pemberian Direktur Akademi tadi."
Memalingkan wajahnya, Katsuhito kembali berjalan. Samar-samar, Elina dapat mendengar suara bisikan yang keluar dari mulutnya :
"Terserah kau saja."