Pada akhirnya, jawaban soal kenapa Elina ada di akademi ini tidak bisa kuketahui kecuali bertanya pada orangnya langsung nanti. Yah, memikirkannya hingga berlama-lama di dunia luar seperti ini juga tidak ada gunanya.
"Tapi, kenapa aku penasaran dengan hal itu, ya? Pertanyaan yang bagus, diriku."
Berjalan di jalanan Distrik Asrama, aku menggumamkan hal tersebut sambil mengangguk-ngangguk untuk mengisi kesunyian dalam perjalanan ini.
"Oh, ya. Kalau tidak salah …."
Tanganku masuk ke balik jas seragam akademi, dan mengeluarkan sesuatu yang berupa amplop tebal dari sana.
Amplop ini kudapat dari seseorang yang sepertinya—tidak, mungkin itulah kenyataannya—adalah Kakak Reva, Rio coul Dafesilo.
Ia adalah satu dari sedikit Kontraktor Roh Laki-laki. Seorang pria 20 tahunan bertopeng dansa ungu dengan rambut hitam lurus panjang ….
"Bagaimana dia bisa ada di sini …."
Tiba-tiba saja, ketika aku memasukkan kembali amplop tersebut, mataku menuju ke Asrama Kelas Rat dan menemukan pria tersebut sedang berdiri di depan sana.
Baiklah, mari menjadi ninja. Tingkah lakunya mencurigakan, sih. Jadi mari kita ikuti sampai ke dalam asrama.
Omong-omong soal mencurigakan, orang yang sedang membuntutiku di belakang ini lebih mencurigakan lagi.
Karena ia—orang yang membuntutiku—tidak melakukan tindakan mencolok, aku membiarkannya. Yah, aku kenal dengan orangnya juga sih.
Sesampainya di menara—berkedok gedung—asrama, aku menemukan Kakak Reva sedang duduk bersimpuh di lantai, menghadap Kepala Asrama yang melipat tangannya.
"Anu, itu …."
"Apa!? Masih mau membela diri!?"
Astaga, ganas sekali Kepala Asrama. Aku memang berniat ingin tahu lebih lanjut tentang apa yang sedang, tetapi karena melibatkan wanita itu, kurasa lebih baik pergi dari sini.
… Dan sampai sekarang pun, orang yang membuntutiku tidak berhenti meski aku sudah sampai di depan pintu kamar dan menatap jelas wajahnya.
"Mau sampai kapan kau mengikutiku?"
"Jangan merasa seperti orang terkenal yang telah dibuntuti. Aku mengikutimu karena kebetulan kita searah."
Begitulah jawaban Freya, gadis yang lebih muda dariku setahun dengan rambut pirang memanjang hingga pinggang.
Penampilan yang cukup mencolok darinya adalah penutup mata berkain putih menutup mata sebelah kirinya yang berwarnakan merah sementara matanya yang kanan memiliki warna biru.
"Bagaimanapun tingkah lakumu itu seperti penguntit—kadang bersembunyi di semak-semak atau pohon dan tiang. Tapi ya sudah, lupakan saja …."
Aku berbalik menghadap pintu dan merogoh saku untuk mengeluarkan …. Oh, apa mungkin aku tadi memasukkannya ke tas? Atau … malah menjatuhkannya?
"Hoho~ tanpa kausadari, aku telah mencuri benda berharga milikmu– Tidak, maksudku, milik kita!"
Ketika memalingkan pandangan ke belakang, aku menemukan Freya yang mengangkat tinggi kunci kamar asrama nomor 21 serta ….
"Hei! Memang benar kalau kunci asrama itu milik kita, tapi amplop berisi puluhan lembar mata uang tertinggi Benua Termis itu hanya milikku seorang!"
Benar, benda itu sekarang berada di tangan Freya yang bisa dengan mudahnya menghindar saat aku berusaha mengambil kembali amplop itu darinya.
"Jangan menghindar, oi!"
"Tidak bisa. Jika aku tidak menghindar, maka kau akan begini, begitu, kemudian …. Uh~ Tidak ter-ba-yang-kan."
"Ke mana pikiranmu itu …."
Mendengar ucapan serta melihat dirinya yang memeluk tubuh sendiri membuatku ikut berpikir– Ah, lupakan itu.
Yang perlu kupikirkan sekarang adalah bagaimana caraku bisa menangkapnya yang bisa menghindariku dengan sangat mudah?
"Asal kautahu, aku tidak berbohong tentang ucapanku bahwa kedua barang ini milik kita berdua. Karena, di masa depan kita akan saling memiliki."
"Kita berdua menikah, begitu? Mana mungkin! Lagian, Siapa juga yang mau menikah denganmu!?!"
"Kau. Memang siapa lagi?"
Siapa lagi kaubilang. Seperti aku mau saja. Perbaiki sikapmu yang suka seenaknya dan malas bersih-bersih itu dulu.
Tetapi yah, kuakui kalau ia memang memiliki wajah manis yang di atas rata-rata untuk gadis seumuran …. Tidak, tetap saja jika ….
"Hei! Jangan melarikan diri!"
Astaga … sekarang ia malah turun kembali ke lantai bawah. Mau tidak mau aku harus mengikutinya. Yah~ akan lebih merepotkan lagi jika itu malah dicuri oleh orang lain.
Sesampainya aku tiba di lantai satu di mana yang tadinya ada Rio cuol Dafesilo sedang duduk bersimpuh di lantai sambil menunduk di hadapan Kepala Asrama, aku sekarang menemukan orang tersebut sedang berbicara dengan Freya.
"Oh, Elkanah! Kita bertemu lagi, ya?"
"Eh? Ah, ya. Begitulah."
Entah kenapa, aku agak risih pada sikapnya yang seperti sok dekat denganku itu. Bukankah ini pertama kalinya kita bertemu?
"Kulihat, saat ini kau memiliki segudang pertanyaan di dalam benakmu. Bagaimana kalau membicarakannya di tempat lain?"
Sepertinya pikiranku tadi sedikit terbaca olehnya dengan jelas melalui raut wajahku. Yah, itu memang benar, sih.
"Baiklah, apa kita bisa bicara?"
"Tentu, tidak masalah. Aku juga sedang tidak ada kerjaan. Mari pergi ke salah satu tempat yang sering kukunjungi untuk membicarakannya."
Karena kami berdua sudah memutuskan, Rio berjalan keluar asrama. Beberapa langkah di belakang, aku mengikutinya.
Tetapi …, apa aku melupakan suatu hal? Sesuatu yang entah bagaimana membuatku jadi memikirkan apakah hal yang kulakukan itu.
***
Beberapa saat setelahnya.
Di langit yang lumayan cerah ini, kami berdua duduk dengan naungan dari payung pada meja kursi putih kafe luar ini.
Aku mengambil pesanan es bermangkuk sedang dengan beraneka ragam rasa, sementara pria di hadapanku mengambil pesanan teh madu.
"… Nah, silakan beri aku pertanyaan."
Menyesap teh madunya sekali, ia berbicara tanpa mengarahkan tatapan matanya kepadaku, melainkan hanya terpaku pada cangkirnya.
Usai mensekop es yang ada di mangkuk dan merasakan manis serta dinginnya di dalam mulut, barulah aku memulai pertanyaan :
"Bagaimana kautahu namaku?"
Saat pertanyaan tersebut dilontar, barulah ia mengarahkan tatapan mata emasnya ke wajahku.
Senyum kecut disunggingkan olehnya, seakan-akan pertanyaan tersebut sedikit tidak diharapkan olehnya.
"Baiklah, sebelum itu, namaku adalah Rio coul Dafesilo dan sepertinya kautahu itu dari Adikku yang harus berdiam di ranjang UKS karena insiden kemarin."
"Ya, aku sudah tahu."
Tatapan matanya kembali diarahkan pada cangkir tehnya. Ia memutar cangkir tersebut melalui gagangnya menggunakan telunjuk dan terdiam cukup lama.
"Sebenarnya, aku sangat tidak berharap hal ini terjadi, tapi mau bagaimana lagi, ya, jika semuanya sudah dilakukan olehnya."
"Memangnya, dari tadi apa yang sedang kaubicarakan ini? 'Olehnya'? Siapa?"
Rio tidak menjawab pertanyaanku itu. Yang dilakukannya hanyalah menggeleng pelan lalu membuang nafas.
"Maaf, aku sudah dipaksa untuk diam."
Dipaksa untuk diam, ya? Itu berarti, sesuatu telah terjadi dan disembunyikan dariku. Gadis itu—tunanganku—juga mungkin ada hubungan dengan masalah ini.
"Ngomong-ngomong, boleh kuminta sedikit es krimmu?"
"Ah, ya. Ambil saja."
Asal jangan banyak-banyak saja. Sangat tidak menyenangkan jika ia mengambil es krimku dengan sendok pasir—sekop.
Tetapi yah, Lupakan dulu soal es krim atau soal 'olehnya'. Ganti ke pertanyaan lain saja.
"Apa kau memang Kontraktor Roh Laki-laki?"
"Ya, tentu saja."
Setelah mengatakan itu dengan percaya driri, Rio menyingkap lengan bajunya, menunjukkan pergelangan tangannya yang di sana terdapat semacam tato berupa naga melingkar.
Itu adalah Segel Roh. Bukti untuk seseorang yang telah melakukan kontrak dengan Roh.
Sesuatu seperti tato itu akan bercahaya saat Roh dipanggil atau saat memunculkan Senjata Elemental.
"Kalau tidak salah ingat, Segel Roh-mu ada di dada, 'kan?"
"… Yah, begwituhlah."
Aduh, gigiku yang ngilu setelah memakan es krim mempengaruhi ucapanku. Lupakan dulu itu. Bagaimana ia bisa tahu letaknya padahal tidak pernah kuberi tahu?
Yah, mungkin tercatat di suatu dokumen milik organisasi. Dan pria di depanku ini membacanya dan menanyakan itu untuk meyakinkan diri.
"Lalu …. Apa kau ada pertanyaan lain?"
Sial, ia mengambil es krimku lagi. Sekarang, sisa sesendok di dalamnya. Tetapi lupakan dulu itu. Pertanyaan yang lain ….
***
Aku berbaring di tilam, menatap langit-langit kamar asrama yang kini lampunya di sana sudah dimatikan.
"Pada akhirnya, aku hanya menanyakan hal-hal tidak penting …."
"Mengigau?"
"Aku masih bangun."
Seenaknya saja ia—Freya—ikut campur dengan gumamanku. Duh, sekarang aku jadi tidak ingat kata-kata selanjutnya.
Ganti persoalan saja.
"Kau tidak tidur, Freya?"
Aku bangkit dari tilam, menatap gadis pirang itu yang kini masih berada di depan komputernya.
"Aku tidak bisa tidur tenang jika itu di bawah jam satu malam. Berbeda denganmu yang manusia normal."
"… Terserahlah."
Aku pun membaringkan badan kembali ke tilam. Freya sepertinya sedang tidak ada niatan untuk berbicara denganku.
Agak aneh perkataannya itu. Padahal, ketika Reva masih ada di sini dua atau tiga hari yang lalu, ia tidur lebih cepat dari kami berdua.
Oh ya, omong-omong …, apa aku melupakan sesuatu yang berhubungan dengan Freya atau Rio?