Di hari-hari yang seperti sebelumnya, aku datang ke UKS untuk menjenguk Reva yang masih harus berada di sana.
"Buka mulutmu, aaah~"
"Tidak perlu."
Melihatnya yang memalingkan wajah ketika kuarahkan kupasan apel ke mulutnya, aku tersenyum kecut. Kemanisan Tuan Putri ini memang di atas rata-rata.
Oh, ia berbalik dan menatapku kembali. Tidak, ia menatap kupasan apel—bukan wajahku. Lalu membuka mulut dan langsung memakannya dengan wajah yang agak merona merah.
"Manisnya …."
"Apanya yang manis? Apelnya? Bukankah kau tidak memakannya?"
Tidak, tetapi kaunya. Ingin kukatakan itu, tetapi aku memperediksi kalau ia nanti akan melemparku ke luar gedung.
Lain kali, akan kujaga suara hatiku ini agar tidak bocor lagi seperi tadi.
"Lupakan saja. Omong-omong, kapan kau akan dibolehkan Guru UKS yang baru untuk meninggalkan tempat ini?"
"Entahlah. Seharusnya besok aku sudah diperbolehkan untuk keluar dari sini. Sekarang, aku cuma disuruh istirahat saja."
"Begitu, ya."
Yah, sudah tiga hari berlalu sejak badai itu berlangsung. Dengan tangan yang ahli pada tempatnya, luka tembakan bisa diatasi oleh pihak akademi dalam waktu singkat.
Oh, ya. Soal Kakaknya Reva—Rio coul Dafesilo, ia menetap di pulau ini untuk sementara karena menyelidiki tentang orang-orang berjubah itu.
'Pengkhianatnya ada di antara kita,' begitulah kata-kata yang ia katakan saat menyampaikan alasan ia berada di sini. Seperti detektif saja.
Kasusnya mungkin akan segera berakhir. Paling juga besok atau lusa untuk menangkap pengkhianat organisasi yang ada di pulau ini. Yah, bisa juga jadi lebih lama.
Dari yang kudengar, ketiga akademi yang lain mengalami hal serupa, tetapi berbeda waktu aksinya saja.
Selama memikirkan semua hal yang telah terjadi pada akhir-akhir ini, aku mengarahkan pandangan ke jendela yang menunjukkan cuaca cerah.
"Apa? Mengkhayal jadi pahlawan akademi?"
Menyadari tatapanku yang mengarah pada jendela itu, Reva berkata sambil tertawa kecil. Tawa yang dulu hampir tidak pernah dibuat olehnya.
"Ada-ada saja. Aku ini memikirkan tentang apa yang terjadi waktu itu. Apa yang telah Guru UKS sebelumnya dan Kepala Asrama Kelas Dua Lion lakukan? Atau berbagi hal lainnya yang berhubungan …."
Tiba-tiba, Reva menempelkan kedua telapak tangannya ke pipiku dan membuat wajahku menatap lurus kepadanya.
"Itu adalah urusan akademi. Kita yang seorang murid belum berpengalaman dan memiliki kewajiban ini tidak usah ikut campur."
Mata emas yang dimilikinya menatap lurus kepadaku. Dari yang kupikirkan … ia mengatakan hal itu atas dasar khawatir terlibatnya aku dalam kasus yang besar ini.
Kupegang kedua tangannya yang lembut dan kini menempel di pipiku itu. Kemudian, kupandang wajahnya kembali yang kini agak merah karena tidak menduga hal yang memalukan ini akan terjadi.
"—Ya, kau benar. Terima kasih karena sudah memberi tahuku, Reva. Akan kuusahakan agar tidak terlibat dengan masalah itu lagi."
Setelah kukatakan itu, Reva tersenyum.
"Sama-sama."
***
Pulang dari seusainya pelajaran di akademi, seperti biasa lagi, aku berjalan pada jalan yang sama, dan dibuntuti oleh orang yang sama.
Merasa agak resah, aku pun melakukan pergerakan dengan mengeluarkan gadis itu dari persembunyiannya.
Namun sebelum aku berbicara, ia malah mendahuluiku untuk mengatakan—
"Kau tidak bosan, ya, mengikutiku terus-menerus?"
"Harusnya itu kata-kataku …."
Aku menekan pelipis sambil mendesah panjang. Anak ini …. Meski wajahnya manis, ia tetaplah gadis dari Kelas Rat yang merupakan kelas orang-orang bermasalah.
Dan entah bagaiamana, kami pulang bersama, berjalan bersebelahan sampai tiba di Asrama Kelas Rat.
Lalu sesampainya di sana ….
"Hei, kalian. Jangan membawa kucing kemari."
Ketika kaki kami menyentuh anak tangga, hendak naik ke lantai selanjutnya, Kepala Asrama menegur kami berdua.
Kucing? Di mana? Apa yang ia maksud adalah Freya? Yah, sikap pemalasnya itu memang cocok dengan kucing, sih.
"Begitulah katanya. Keluar sana."
"Itu kata-kataku! Kau saja yang keluar."
Hadeh, seperti ini lagi. Ia memutar balikkan fakta tentang menguntit dan sifat pemalas kucingnya kepadaku.
"Kalian ini pura-pura bodoh atau memang benar-benar bodoh? Kucing yang kumaksud itu ada di balik bajumu, Freya Matternich."
Setelah Kepala Asrama mengatakan itu, sebutir kucing mengeong kemudian keluar dari seragam Freya.
"Wah … namaku diingat Kepala Asrama. Dan juga, Emperor Knigtht of Tree World Future, jangan seenaknya keluar. Sudah kukatakan untuk tunggu saja, 'kan?"
Usai menanggapi namanya yang disebut Kepala Asrama dengan datar, Freya mengatakan sesuatu yang tidak kumengerti sambil menatap kucing berwarna putih tanpa corak.
"—Kepala Asrama, tolong izinkan saya untuk melindungi Emperor Knight of Tree World Future dari segala mara bahaya dunia kegelapan."
Berdiam sebentar, Freya kemudian menatap lurus pada Kepala Asrama, meminta persetujuan yang kurasa untuk membuat kucing itu tinggal di sini.
Ternyata kata-katanya yang digunakan dengan bahasa universal kuno acak-acakan itu nama kucing ….
"Tidak, tidak boleh. Tapi …."
Kepala Asrama menyodorkan telapak tangan kanannya yang dibuka kepada kami berdua.
"Dengan sedikit bayaran mungkin bisa."
… Yang seperti ini seharusnya bisa kulaporkan ke pihak akademi—yah, selagi aku dekat dengan direkturnya.
Kasus penyuapan murid kelas satu Rat kepada Kepala Asrama-nya untuk membiarkan sebuah kucing tinggal di asrama. Apa kata hakim pada kasus ini nanti?
***
Waktu pun berlalu.
Setelah membayar Kepala Asrama untuk menghilangkan larangan untuk membawa masuk kucing dan tadi sempat membicarakan beberapa hal, kami pun pergi ke kamar kecil kami di asrama ini.
Ketika aku hendak mengatakan sesuatu, lagi-lagi Freya mendahuluiku dan berkata :
"Urus kucingnya itu baik-baik, ya. Aku tidak ingin berurusan pada sesuatu yang berhubungan dengan kotorannya atau hal lain."
"Sudah kubilang itu kata-kataku …."
Sekali lagi, aku menekan pelipis dan mendesah panjang. Padahal ia sendiri yang membawa kucing itu untuk masuk kemari dan dirawat. Kalau mau bercanda tolong jangan pakai nada setengah serius.
"Tapi yah …, aku agak tidak menyangka kalau tunangannya Kepala Asrama yang pernah disinggungnya waktu itu adalah Rio."
Ketika berada di lantai satu tadi, aku bertanya ke mana Rio tidur sampai sekarang hingga ia jadi sering terlihat di sekitar sini. Dan jawaban yang kudapat, adalah kenyataan bahwa mereka berdua tidur sekamar.
Memang, ada banyak kamar kosong di sini. Namun, kebijakan tentang itu adalah kamar murid sepertinya tidak bisa diganggu gugat sama sekali—
Yah, meski kebijakan tersebut bisa diatur dengan 'itu'. Paling, kebijakan asrama itu hanya digunakan sebagai pengalihan untuk bisa bersama.
"Seingatku, yang boleh tidur seatap bahkan seranjang untuk dua orang beda gender hanyalah pasangan suami istri. Tunangan apalagi pacaran tidak."
"Kata siapa? Buktinya, kita tidur sekamar dan pernah seranjang selama dua malam."
… Yang dikatakan Freya benar, sih. Tetapi, ini ya ini, itu ya itu. Permasalahannya beda untuk kami yang sekamar karena aturan di asrama ini—sekamar berdua.
Kalau diingat-ingat, dalam seminggu saat datang ke akademi ini, aku tidur seranjang dengan dua gadis berbeda di kamar yang beda pula.
Dan lebih jauh lagi, setidaknya aku pernah sekamar dengan tunanganku sendiri, Elina, Misa, dan …. Uh, kepalaku malah pusing ketika mencari tahu lebih lanjut.
Ah, cuma sebentar. Sudah agak reda sekarang. Kembali ke topik. Sepertinya ada lebih dari itu—orang yang pernah tidur seatap denganku, tetapi untuk saat ini aku tidak bisa mengingatnya lebih lanjut lagi.
Apakah ini cukup untuk memberiku sebuah gelar karena sudah pernah sekamar dengan banyak gadis di waktu yang berbeda?
Omong-omong, Misa itu … siapa, ya?
Aduh, kepalaku sakit lagi.
"Kenapa kau? Pusieng-pusieng?"
"Jangan ngelawak! Ambilkan obatku!"
Di saat kepalaku kembali pusing yang mana itu lebih kuat dari sebelumnya, Freya malah membuat pelesetan kata.
"Ini, 'kan?"
Tak lama, ia kembali dan memberiku obat ….
"Obat … apa ini? Ini bukan … punyaku."
"Obat perangsang."
"… Ugh, bukan yang ini! Lagian … mengapa kaubisa punya obat beginian!? Aduh … kalau tidak salah … letaknya ada di paling atas rak lemari."
Kemudian, Freya pergi ke lemari sementara aku duduk di atas ranjang sambil meremas kepala dengan kedua tangan.
"Ini, 'kan?"
"… Iya, terima kasih."
Aku menerimanya dan membuka toples kecil berisi butiran pil itu. Setelah menelan satu, kepalaku pun mulai kembali seperti semula.
"Gimana? Mendingan?"
"Mendingan."
Rasanya … kami sedang memparodikan iklan televisi tentang pemuda-pemuda yang kelaparan di tengah perjalanan …. Lupakan.
"Kalau begitu, silakan minum kedua pil ini."
Freya meletakkan dua botol obat di atas ranjang.
Jangan memberi orang yang baru sehat untuk meminum obat perangsang …. Lagian, dapat dari mana itu? Dan obat yang satunya …. Obat kuat? Astaga ….