Hari yang biasa-biasa saja di akademi bagiku, berubah karena pertemuan dengan gadis itu.
Berulang kali, ia datang ke tempatku, dan menggangguku dengan berbagai hal. Salah satunya, bergantung di leherku seperti kera saat aku sedang membaca.
"Pisang!"
"Jangan jadi kera beneran!"
… Bisa-bisanya ia tertawa karena dimarahi. Mungkin kami akan ditegur oleh guru yang mengelola perpustakaan lagi.
Dan meski sudah ditegur olehku dan penjaga perpustakaan, ia masih tidak mau lepas dariku.
Yah, setidaknya hari ini ia tidak melakukan hal yang biasa ia lakukan untuk menggangguku. Sesuatu yang membuatku benar-benar kesal.
"Ah, wangi, wangi!"
… Seharusnya aku tidak menyinggung hal itu meski dalam hati. Sekarang ia kumat lagi. Untuk menghentikkan kelakuannya ini, aku mengangkat dan melempar gadis Elf itu sejauh yang kubisa.
Tentu, aku akan dimarahi. Tetapi ini lebih baik daripada mendengar nafas beratnya yang ada tepat di samping telinga.
***
Kusadari kalau sifatku mulai berubah semenjak bertemu dengannya. Perlahan, sikap menjauh dari orang-orangku mulai menghilang berkat keberadaannya.
Lama-kelamaan, aku akhirnya menerima gadis Elf itu sebagai teman. Ia memberi tahu kalau namanya adalah Luna Sarnelis. Satu dari sedikit Elf berdarah murni.
Sama sepertiku, ia tidak memiliki hal lain untuk dikerjakan di akademi. Hanya latihan agar nanti tidak akan mudah dalam bahaya ketika diberikan pekerjaan oleh organisasi.
Khusus hari ini, kami bersantai, melupakan segala latihan itu. Bersama, kami menatap langit yang sama di atas atap akademi.
Entah bagaimana, Luna memiliki kunci untuk mencapai tempat ini. Aku tidak berniat menduga-duga dari mana ia dapat kuncinya. Palingan, ia mencuri itu dari ruang guru.
"Itu memang benar."
… Apa? Apa? Apakah ia benar-benar mencuri dari ruang guru? Apa isi pikiranku bocor?
"Kamu mengatakan sesuatu?"
"Tidak, tidak. Bukan apa-apa, kok. Aku cuma melamun saja, jadi jangan terlalu dipikirkan."
"Siapa juga yang memikirkanmu."
Aku memalingkan wajah sementara Luna tertawa kecil. Mungkin karena reaksiku yang ia pikir mirip dengan gadis yang malu-malu.
"—Hei, Selestina."
"Hmm?"
Aku mengalihkan kembali pandangan kepadanya. Ekspresi yang ditujukkan oleh gadis Elf murni itu seperti orang yang baru saja mengumpulkan keberanian.
"… Maukah kamu membuat tim denganku?"
Apa … ia barusan mengajakku? Aku yang cuma gadis biasa yang memiliki tinggi di atas rata-rata ini? Tetapi kalau ia serius ….
"Emm, bagaimana, ya …. Tapi, bukankah tim cuma bisa dibuat bertiga?"
"Itu bisa diatur! Yang penting …."
Luna mendekat, lalu menyentuh tanganku.
"… kamu … ada bersamaku."
Ia memalingkan pandangan. Kedua pipinya merona dengan warna merah. Telapak tangannya yang berada di atas tanganku terasa sedikit gemetar.
Aku memutuskan untuk berpura-pura tidak mengetahui hal itu. Kuberikan sebuah senyuman agar ia senang sebelum kuberi jawaban :
"Ya, tentu saja."
***
Suatu hari, Luna membawaku ke salon. Katanya, rambutku seperti orang yang baru keluar dari hutan setelah dua dekade.
Kesal rasanya ketika mendengar ia bicara seperti itu. Tetapi apa boleh buat. Memang begitulah kenyataannya—rambutku mirip orang yang baru keluar hutan, seperti tarzan.
"Mau dipotong seperti apa?"
"Botak!"
"Jangan, oi!"
Ketika pemilik salon—aku tidak tahu apakah ia paman atau tante—bertanya, Luna dengan seenaknya saja menjawab begitu. Jelas kalau aku tak terima.
Kemudian, aku ditunjukkan berbagai macam potongan rambut. Di antara semua, aku memilih memendekkan bagian belakang sementara yang depan kubiarkan panjang. Sampai-sampai, poniku beberapa kali hampir menutupi mata kanan.
Dan saat selesai ….
"… Kau siapa!?"
"Selestina, lah!"
Bukankah ia melihat semua proses dari awal sampai akhir? Entah Luna cuma ingin bercanda, atau ia memang benar tidak mengenaliku.
"Kupikir kamu akan jadi pendek setelah potong rambut."
"Logika dari mana itu!?"
Memotong rambutku jelas tidak akan membuatku jadi pendek. Entah gadis ini yang bodoh atau aku saja yang terlalu mengikuti kebodohannya.
***
Sehari setelahnya, Luna membawaku—lagi—ke salah satu dari beberapa kelas kosong yang ada di akademi.
Katanya, ia sudah menemukan satu orang yang mau bergabung ke tim kami. Dengan ini, kami bisa jadi tim resmi.
Luna membuka pintu. Di dalam kelas itu, seorang gadis berpenampilan seperti anak yang kisaran dua belasan tahun duduk di atas meja. Benar-benar meja.
Kulit putih yang tidak terlalu. Sepasang mata dengan iris yang warnanya perak, dan rambut hitam pendek dikuncir di sisi kiri.
"—Nama daku adalah Anna Hart. Salam kenal."
"P—"
""P?""
Semua mata di ruangan tertuju padaku yang kata-katanya terhenti di satu huruf. Beberapa detik kemudian, kelanjutan kata yang belum selesai :
"Pendek!"
Seketika, aku melepaskan tawa keras. Di sisiku, Luna terlihat menahan tawanya agar tidak sekerasku.
Gadis pendek itu nampak kesal. Dengan segala emosi, ia kumpulkan itu di kepalan tangan dan kemudian ….
… Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Tetapi yang pasti, aku bangun di UKS setelah tak sadarkan diri selama tiga hari.
***
Bersama, kami bertiga yang membuat tim dengan nama Sayap Perkasa pun memulai perjalanan. Berbagai misi telah kami jalani hingga peringkat timku dan kedua orang itu jadi B.
"… Kalau sudah Peringkat B begini, seharusnya kita mengambil misi mengurus orang-orang dari organisasi gelap 'kan, ya?"
Luna memusut-musuti dagunya sambil memandangi papan informasi yang berisi berbagai misi dengan dengusan sombong.
"Bukankah itu terlalu susah untuk kita?"
Anna memberikan pendapatnya. Aku juga sependapat dengan si pendek ini. Meski peringkat minimal untuk mengambil misi itu adalah B, kita masih terlalu dini.
Untuk menyatakan kesetujuanku tadi dengan si pendek ini, sebuah kata-kata yang terpintas sesaat di kepalaku kuucapkan :
"Benar. Apalagi sambil membawa anak-anak."
Segera, si pendek di sebelahku melirik dengan tatapan tajam. Karena itu, aku pun langsung bersembunyi di balik tubuh Luna.
"Hah! Wajahmu itu terlihat jelas meski sudah bersembunyi! Dasar menara!"
"Tubuhmu sendiri bisa dimasukkan ke dalam toples!"
"Apa katamu!?"
Uwah, ia benar-benar marah. Jika tidak berlindung di balik Luna, mungkin aku sudah mendapat gigitan dari si pendek itu.
Anna membuat giginya berderit, menatapku dengan hawa membunuh yang mengerikan. Pendek pendek galak. Bisa menggigit lagi.
"Kalian … sudahlah …."
Luna yang menjadi halat antaraku dan si Pendek membuang nafas panjang sambil menggelengkan kepala.
***
Pada akhirnya, kami mengambil misi yang dikehendaki Luna. Misi penangkapan seorang peneliti yang pernah diselidiki dan ditemukan melakukan percobaan terlarang.
Kami mengelilingi rumahnya yang berada di pegunungan wilayah Kerajaan Souna selama satu jam lebih dan tak menemukan apa-apa di sana.
Ketika hendak pulang, si pendek yang merasa kesal malah menendang televisi di sana hingga menyala.
Dan entah bagaimana, dinding bergeser. Sebuah jalan setapak yang gelap menuju ke ruang bawah tanah terbuka.
Semuanya saling pandang, tetapi pada akhirnya kami mengangkat kedua bahu dan berjalan memasuki tempat tersebut.
***
Dokter pemilik lab ini dinyatakan telah lama mati. Yang mengatakan itu adalah Roh Kontrak-nya sendiri yang masih berdiam di sini.
"Kenapa kamu memberitahukan ini kepada kami?"
Di akhir cerita mengenai alasan mengapa dokter tersebut melakukan penelitian terlarang, Luna menanyakan apa yang juga menjadi pertanyaanku dan Anna di dalam benak.
"Karena harus ada satu di antara kalian yang tinggal di sini. Melanjutkan apa yang telah Dokter gagal lakukan."
… Dan mulai sana, ingatanku benar-benar buram. Tetapi, aku ingat senyum terakhir yang ditunjukkan oleh Luna. Ia mengorbankan dirinya untuk kami berdua.
Mulai saat itu, tim Sayap Perkasa berakhir. Anna menjauhiku tanpa alasan. Aku yang sudah berbeda dari sebelum bertemu Luna melakukan yang terbaik untuk melupakan gadis Elf itu.
… Termasuk, tidak akan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan tim.