Chereads / Laki-laki Di Akademi Roh Perempuan / Chapter 32 - Kembali Ke Dunia Asal

Chapter 32 - Kembali Ke Dunia Asal

Ashley, Serena, Francesca, dan Clayton. Keempat Roh Kontrak-ku tidak pernah bersuara lagi. Penghubung antara kami seakan-akan terputus pada suatu saat tanpa kusadari.

Sesekali, terlintas di pikiranku. Tinggal di sini tidaklah buruk. Selama berdua, kami tak akan merasa kesepian.

Selama berdua, kami bisa menghadapi ini. Menghadapi kenyataan bahwa tidak ada kesempatan untuk kembali ke dunia nyata.

Kami berdua, aku dan Selestina.

Hari menjadi bulan, bulan menjadi tahun. Aku sudah tidak memikirkan tentang cara keluar dari sini lagi.

Apa yang ada di pikiranku hanyalah hidup dengan aman dan damai saja di tempat ini. Meskipun, terkadang masalah kecil terjadi di antara kami berdua.

Aku ingat, kalau Roh Kontrak tunanganku memiliki kemampuan meramal masa depan. Mungkin karena inilah, ia meninggalkanku. Alasan kenapa ia pergi ke akademi. Kami mungkin memang tidak ditakdirkan bersama.

Takdir yang menungguku sepertinya memang begini. Berakhir dengan bersama orang lain. Terjebak di dimensi lain.

Meski aku tidak menghitung hari-hari di dunia ini bersama Selestina, aku tahu kalau sudah sekitar tujuh tahun kami terjebak.

Siapa pun akan menyukai seseorang yang selalu berada di sisinya dalam waktu lama. Pandangan yang sudah tertuju terlalu lama pada seseorang, pasti akan menimbulkan sebuah perasaan.

Begitulah kira-kira. Perasaan cinta telah tumbuh di hatiku, dan hal yang sama juga berlaku untuk Selestina.

Kupikir, itu tiga tahun semenjak kami terjebak di sini. Selestina menyatakan jelas perasaannya padaku. Ia juga berkata sudah tidak memiliki harapan untuk pergi dari sini.

Aku juga berpikiran sepertinya. Entah tentang perasaan, maupun menyerah dan memutuskan untuk tidak berjuang lagi.

Terkadang, ketika malam tiba, aku menangis karena tidak bisa bertemu yang lain lagi. Meski singkat, meski disakiti, meski dijahili; itu sangat berharga bagiku. Untukku, itu adalah masa-masa yang sangat ingin kuulangi.

Tangisanku disadari oleh Tina suatu malam. Ia memelukku, dan ikut menangis di sisiku. Dan anehnya, hal tersebut malah membuat kesedihanku sedikit berkurang.

Kami saling bercerita mengenai diri masing-masing. Selestina menceritakan soal teman satu timnya yang mengorbankan diri, dan aku soal alasan kedatanganku ke akademi.

Waktu-waktu setelahnya tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Aku memasak sesuatu sedangkan Selestina berlatih pedang di luar untuk menghabiskan waktu.

Beberapa kali, kami mencoba apa yang terlintas di pikiran. Seperti … memainkan alat musik, berdansa, membuat sesuatu, dan berbagai hal lainnya.

Yah, tidak ada anu. Aku tidak berani melakukan sesuatu pada seseorang yang belum sepenuhnya hakku.

Hari terus berjalan, hingga sekarang ….

Selestina menyandarkan kepala ke bahuku, sementara punggung kami sandarkan ke dinding kayu. Hanya menghabiskan waktu yang tidak tahu digunakan untuk apa pada saat-saat seperti ini.

"Hei, Elkan …."

"Ya?"

Usai kubalas, Selestina mengangkat kepala sembari memalingkan pandangan. Dari sisi ini … kulihat, wajahnya agak merah.

"Kita sudah lama di sini. Bahkan …. Umm …. Kau tahu? Bertahun-tahun. Tidak ada orang lain di sini. Dan juga … perasaan kita itu … sama. U-Umur kita juga jauh lebih dari kata cukup."

"Begitu …."

Aku paham apa maksudnya. Memang, bagi dua orang memiliki perasaan saling menyukai, sulit untuk menahan diri. Apalagi ketika tidak ada orang lain di sekitar.

Sebuah kode, ya?

Selestina menarik nafas panjang. Ia melirik ke arahku dengan wajah yang memerah lalu menutup mata.

… Aku memang ragu melakukan ini karena merasa tidak memiliki hak serta bisa saja harapan kecilku untuk kembali ke tempat asal akan sepenuhnya hilang. Tetapi, Tina sudah memutuskannya. Jadi, aku juga mau tak mau.

Perlahan, kudekati wajahnya lalu menutup mata ….

***

Kukedipkan sepasang mata berulang kali. Sebuah langit-langit yang memberiku perasaan rindu sekaligus buruk karena apa yang terjadi sebelum sampai ke sini biasanya adalah hal-hal mengerikan seperti terlempar keluar gedung akademi.

Aku bangkit lalu meremas dahi dengan tangan kanan. Pusing, tetapi tidak terlalu. Mungkin karena tergesa-gesa bangun.

"Tidak usah buru-buru. Tidak ada hal penting hari ini. Akademi hari ini juga libur sampai senin nanti."

Mendengar suara, aku memalingkan pandangan ke kanan. Di sana, duduk di atas kursi, seorang wanita memakai kacamata menyandarkan pipi ke telapak tangan seperti orang yang sedang bosan.

Ia adalah seorang wanita yang memakai seragam akademi di balik jas dokter. Rambut merahnya dikuncir seperti ekor kuda, sementara sepasang mata birunya tersimpan di balik kacamata.

"Apa yang terjadi? Apa ini akademi?"

"Akan kujelaskan yang kutahu. Tidak apa?"

"Ya, tidak masalah."

Wanita itu menyilangkan kaki sebelum mengambil sebatang rokok dari kantong dan membakarnya.

… Apakah tidak masalah untuk merokok di UKS? Aku ingin menegur, tetapi rasanya tak ada larangan mengenai itu. Jadi … diam saja yang bisa kulakukan.

"Pertama-tama, namaku adalah Amy Gill. Orang yang mengurus UKS di akademi ini. Kemarin, kau dibawa oleh seorang gadis tinggi yang sepertinya siswi di akademi ini. Entahlah, aku tidak ingat apakah ada siswi sepertinya."

Gill …. Kalau tidak salah ingat, itu adalah marga dari gadis yang kukenal bernama Carla. Hmm, aku lupa apa hubungannya denganku. Namanya juga aku lupa-lupa ingat.

Tetapi … bukankah waktu hanya berjalan tujuh tahun lebih sedikit? Tidak mungkin seseorang yang seumuran denganku sudah memiliki anak sekarang.

Emmm, kalau dipikir-pikir lagi, itu bisa saja terjadi. Kami merasa tujuh tahun tetapi dunia nyata ternyata berjalan lebih cepat dari itu.

Oh. Bisa juga orang ini adalah Adiknya—meski aku tidak tahu Carla punya adik atau tidak—dan waktu memang berjalan tujuh tahun semenjak kami pergi.

Yang pasti, aku yakin kalau ini waktu sesudah tujuh tahun aku menghilang ke dimensi lain.

"Apa Anda tahu soal gadis itu?— Maksudku … gadis tinggi yang membawaku kemari?"

"Dia? Yah, sama sepertimu, ia sempat dirawat di sini setelah membawamu. Beberapa saat sebelum kaubangun, ia pergi dari sini karena perawatannya sudah sepenuhnya selesai. Kalau dikejar sekarang, mungkin tak akan sem– Hei! Mau ke mana kamu!?"

Aku tidak mempedulikan panggilan dari Bu Amy. Yang kupikirkan sekarang hanyalah mengejar Selestina. Tidak tahu kenapa, aku berpikir kalau itu harus.

Kulihat di antara jendela-jendela di sepanjang lorong yang kupakai berlari, mencari keberadaan gadis Vampire itu untuk bagian luarnya.

Pada salah satu jendela, kulihat di sana, Selestina yang sedang berjalan menuju ke luar Distrik Akademi.

Nafas kutarik sedalam-dalamnya. Beberapa saat tertahan di dada, kuteriakkan namanya yang hampir melangkahkan kaki keluar :

"Tina!"

Langkah kakinya terhenti seketika. Ia memalingkan wajah, mencari-cari asal suara. Kemudian, ia menemukanku yang melambai-lambaikan tangan dari balik jendela.

Aku melangkah mundur, mengambil ancang-ancang, lalu melompat keluar gedung akademi lewat jendela sana.

Untung saja suasana akademi sangat sepi. Jika tidak, aku pasti akan dihukum untuk melakukan sesuatu setelah ketahuan nanti. Entah apa itu.

Pendaratanku ke tanah terjadi tanpa masalah berarti. Yah, ini cuma lantai dua. Bukan lantai tujuh seperti biasanya.

Dengan berlarian kecil, aku pun sampai ke tempat Selestina yang memalingkan wajah sambil memainkan ujung rambut. Ia malu-malu? Mungkin.

"… Ada apa? Memanggilku tiba-tiba. Kamu baru bangun?"

Selestina …. Atau yang sekarang biasa kupanggil dengan Tina, memalingkan wajah kembali kepadaku. Pipinya agak merah.

"Ya …, begitulah."

Kupaksakan tersenyum meski sedang mengatur nafas. Lalu, aku membetulkan posisi yang tadinya sedikit menunduk karena kelelahan dan mengatur nafas.

"… Umm, aku ingin membicarakan … soal kalau kita dapat kembali ke sini. Apa kauingat itu? Apa kaupunya waktu saat ini?"

"Y-Ya. Aku ingat. Aku juga … punya waktu."

Ia tampak gugup. Terasa susah untuk berbicara sekarang. Baik bagiku, apalagi Selestina yang sampai saat ini merasa malu.

Setelah apa yang kami berdua lakukan di waktu terakhir yang kuingat sebelum bangun, kami malah kembali ke sini. Seseorang pasti sedang mengerjai kami berdua sekarang.

"Apa sebaiknya kita bicarakan nanti saja?"

"Tidak, … katakan saja sekarang. Di sini."

Kalau maunya begitu, ya sudah. Aku menarik nafas dalam-dalam sambil menyusun kata-kata di dalam pikiran sebelum dikeluarkan.

"… Seperti yang telah kita janjikan sebelum ini di dimensi lain, ketika kembali nanti, kita akan menjalankan kehidupan seperti biasa di akademi, dan saat kelulusan—"

Bibirku tiba-tiba ditahannya dengan jari telunjuk. Kedua matanya berpaling ke kiri sementara wajahnya memerah padam.

"Ketika perasaanmu tidak berubah hingga saat itu …. Ya, mari."

Selestina lalu memalingkan badan dan mulai berjalan meninggalkanku. Tetapi baru beberapa langkah, ia berhenti.

"… Lalu, semua yang pernah terjadi di dimensi lain, aku ingin kau tidak memberi tahu itu pada siapa pun. Bersikaplah seperti biasa setelah ini. Seperti tidak terlalu akrab, tapi masih berteman. Seperti sikapmu pada yang lain."

Kemudian, Tina kembali berjalan pergi. Tanpa berharap ia mendengar, kujawab itu dengan suara sedang :

"Ya. Akan kuusahakan."