Dengan pelan, kuketuk pintu yang terdapat nomor 21 di depannya. Tak lama kemudian, seseorang pun membukakannya.
"Ternyata kau. Kupikir siapa."
Gadis pirang serta salah satu mata yang memakai penutup mata putih bergumam saat melihatku. Aku pun tertawa masam saat menanggapinya.
"Boleh aku masuk?"
"… Ya. Tentu."
Freya terdiam beberapa saat sebelum mengangguk dan menyingkirkan tubuh dari depan pintu.
Begitu masuk ke kamar asrama, aku langsung membaringkan tubuh di atas tilam setelah membersihkannya sebentar.
Ah~ melakukan ini membuatku merasa seperti terlahir kembali. Setelah melakukan hal yang melelahkan, memang sebaiknya kita membaringkan tubuh.
Yah, membersihkan semua ruangan serta lorongnya yang ada di lantai satu dan dua sudah pasti melelahkan. Jadi …
"Apa terjadi sesuatu?"
Mendengar perkataan Freya yang kini duduk di atas ranjangnya, aku memalingkan pandangan dan tersenyum tipis.
"Tidak ada. Semuanya baik-baik saja."
"Begitu?"
Freya lalu bangkit dan merapikan rok panjang yang ia kenakan. Kemudian, ia mengulurkan tangannya kepadaku.
Aku bertanya-tanya dengan apa yang sedang ia lakukan, dan tiba-tiba ia meraih tanganku dan membuatku terbangun sebelum ia menjatuhkan diri kembali ke atas ranjang.
Ia memaksaku untuk duduk di sebelahnya.
"Coba cari di ingatanmu yang terdalam. Apa kau pernah tersenyum kepadaku seperti itu dulu? Tidak, 'kan?"
"…."
Jadi, aku sekarang sedang tidak baik-baik saja, ya? Yah, kupikir juga begitu. Rasanya, semua hal terasa berat. Aku ingin tidur—
Dan pura-pura tidak tahu selamanya.
"Kalau kau sedang kelaparan bilang saja. Membersihkan akademi pasti sangat berat. Mau sesibuk apa pun, aku akan membantu. Sebentar, akan kusiapkan sesuatu."
Freya beranjak pergi ke tempat peralatan masak berada. Sementara ia memasak, aku membaringkan tubuh di atas ranjang.
Kemudian, ingatan beberapa saat tadi terlintas di kepalaku. Alasan yang mungkin membuatku tidak baik-baik saja seperti sekarang.
****
Tina memandang lama botol pil yang berada di tangannya. GB yang entah kenapa terlihat kesal tiba-tiba berbicara :
"Obat itu tidak akan memberikan kembali manamu jika tidak kau makan. Cepatlah. Di sini ini aku sibuk dengan berbagai hal."
Sibuk? Maksudmu, membaca komik shoujo yang tergeletak di atas meja itu?
Meski sudah menyindirnya begitu, GB tak melirik ke arahku sedikit pun.
"Langsung setengah botolan ini, 'kan?"
"Ya, ya. Cepatlah."
Akibat desakan GB, Tina pun meletakkan salah satu tangan yang tidak memegang botol untuk memutar tutupnya.
Menutup hidung dan sepasang mata, Selestina pun menelan seluruh pil yang merupakan setengah dari isi botolnya.
Beberapa saat, ia hanya mengedip-ngedipkan mata seperti orang yang mencoba menyadari sesuatu.
"Bagaimana?"
"Emm, entahlah. Saya merasa melupakan sesuatu, tapi semuanya terasa lengkap-lengkap saja. Yang saya ingat adalah semua hal sebelum saya pergi ke sini karena panggilan Anda setelah seminggu Anda memerintah saya membawa laki-laki ini lalu …."
Tina menggeleng setelahnya.
"… Saya tidak ingat lagi. Lalu hal lainnya, saya memakan pil tadi untuk mengembalikan mana saya yang sudah sepenuhnya habis. Eh? Habisnya gara-gara apa, ya?"
"Begitu? Jadi, setelah memakan pil penambah mana sebanyak itu kau cuma kehilangan ingatan sekitar tiga harian, ya? Kupikir akan lebih buruk."
… Tidak. Itu tidak sesederhana yang dilihat.
"Tina, apa kauingat soal—?"
"Tina? Hmm, aku penasaran dengan apa saja yang terjadi selama tuga hari yang kulupakan hingga seakrab itu denganmu."
Aku termundur beberapa langkah mendengarnya. Ia …. Tina … melupakannya. Melupakan waktu-waktu yang kita berdua habiskan bersama.
Bukan satu atau dua, tetapi … semuanya.
***
"Nah, makanlah."
Freya menaruh beberapa piring berisi berbagai macam lauk di hadapanku yang kini sedang duduk di depan meja makan.
Aku berterima kasih padanya, tetapi :
"Maaf, sebenarnya, aku tidak selera makan."
Gadis itu kini kembali ke tempat peralatan masak berada, hanya diam tanpa membalas apa pun perkataanku barusan.
Rasa bersalah sedikit timbul di hatiku. Ia sudah susah-susah menyiapkan ini. Mungkin setidaknya satu suapan cukup untuk menghargai usahanya.
Kuambil sesuap dari nasi goreng yang dimasak Freya dengan mie serta beberapa toping lainnya. Untuk lauk, itu hanya telur dadar yang dimasukkan beberapa sayur.
Pandanganku yang terarah ke depan sedikit mengabur entah bagaimana. Pipiku juga terasa dialiri oleh air yang entah datang dari mana.
Meski pandanganku agak kabur sekarang, aku tahu kalau Freya mengambil tempat duduk di depan lalu menyandarkan pipi ke atas telapak tangan.
"Kaubisa cerita sekarang? Kau tidak mungkin menangis tanpa sebab, 'kan?"
Menangis? Apa yang ia katakan ….
Ah …, benar. Aku menangis. Pandanganku mengabur karena terhalang air mata. Pipiku juga basah karena air mata.
Aku mentertawakan diri sendiri ketika menyapu kedua mata. Tawa sedih …. Haha. Kenapa aku menangis coba?
"… Maaf …, Freya. Aku …."
"Tidak apa-apa."
Ketika kusadari, Freya sudah berada di sebelahku, dan memeluk diriku dari samping sambil menyisiri lembut rambutku.
Sebisa mungkin, kuceritakan semua yang kubisa pada Freya. Aku sudah tidak peduli lagi dengan janjiku dan Tina untuk tidak memberitahukan siapa pun atau janji yang satunya.
Kuanggap, semua janji yang pernah kami buat tidak pernah ada. Semua itu hilang bersama ingatan yang sudah tidak ada lagi di kepalanya.
Tanpa memotong ceritaku ataupun menyuruh untuk mengulangi apa yang tidak jelas, Freya mendengar ceritaku yang seharusnya sangat sulit dipahami ini.
"Freya …, kupikir, aku tidak ingin menyukai … seseorang lagi. Akan kutolak seseorang mau setulus … apa pun perasaanya."
Sambil dipotong oleh isakan sesekali, aku mengatakan itu. Sesuatu yang menjadi sumpahku untuk tidak menerima siapa pun lagi kecuali hanya hubungan pertemanan.
"Dia …. Tunanganku, pergi begitu saja. Tina, dia melupakan segalanya. Semua orang … yang pernah membuatku memiliki perasaan itu, selalu … memberi rasa sakit. Sekarang aku tidak akan …."
Pelukan yang diberikan Freya semakin erat, membuatku gagal mengucapkan apa yang ingin kuucapkan.
"Kau boleh untuk tidak menghabiskan makananmu. Istirahatlah, oke? Tidak akan ada yang menyakitimu lagi setelah ini. Aku janji untuk itu."
Freya berbisik, tepat di telingaku.
Aku terdiam untuk waktu yang sangat lama. Kehangatan yang ia berikan saat ini, terasa begitu nyaman bagiku. Kepedulian Freya, telah tersampaikan dengan baik ke hatiku.
Pada keadaan di mana cukup selangkah bagiku untuk tidak mendengar apa-apa lagi dan jatuh ke alam mimpi, samar-samar kudengar Freya berbicara seperti :
"… Aku harus memberitahukan ini padanya."
*****
Sinar dari matahari yang kini sudah mulai tenggelam ke sisi lain menerangi ruangan yang hanya diisi oleh seorang dwarf di atas kursi meja kerja.
Seperti biasa, ia yang seorang Direktur Akademi dalam keadaan setengah bosan saat membolak-balikkan halaman komik shoujo-nya.
"Tidak sepenuhnya sia-sia kuberikan Katsuhito beberapa hari untuk pulang ke kampungnya setelah menjalani misi. Pulang-pulang ke sini, dia memberikanku banyak komik baru. Meski ada beberapa yang ceritanya biasa-biasa saja."
Usai bergumam begitu ….
Thararfatalin mendongak ke arah pintu, ia mendengar pikiran seseorang sedang berdiri di sana. Kemudian, ia memberikan izin pada orang tersebut untuk masuk.
Yang membuka pintu adalah Selestina. Untuk beberapa alasan, gadis tinggi itu tampak seperti ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Kupikir kau sudah pulang. Ada masalah apa hingga datang kemari lagi?"
Selestina masih terlihat ragu. Tetapi setelahnya, ia menguatkan tekad di hati dan menyatakan apa alasannya datang kemari :
"Direktur, sebenarnya … apa yang terjadi selama tiga hari sebelumnya?"
"Kauingin tahu?"
"Ya."
Thrarfatalin menyandarkan pipi pada tangan yang dikepalkan, memikirkan apa saja yang dapat ia katakan.
"… Intinya, kau menolak perintahku dan melarikan diri. Lalu keesokannya, laki-laki itu menyusulmu. Esoknya lagi, kalian kembali ke akademi ini. Yah, sisanya bisa kauketahui sendiri jika ingatanmu kembali."
"Begitu, ya. Tapi … saya? Menolak perintah Anda dan melarikan diri?"
"Ya, kau menolak itu mentah-mentah. Sekarang aku sudah tidak terlalu tertarik merekrutmu, tapi … apa kau mau membuat tim dengan orang-orang yang kupanggil sebelumnya?"
Untuk beberapa saat, Selestina menurunkan pandangan ke lantai. Ia diam dalam waktu yang lama sebelum kembali mengangkat kepala.
"… Maaf, tapi, saya sangat menolak itu. Anda sendiri tahu, kalau saya sudah bersumpah tidak akan pernah membuat tim atau menerima misi yang berhubungan dengan organisasi lain."
"Seperti itulah."
Thrarfatalin mengangguk-anggukan kepala.
"Jadi, itu saja?"
"Saya rasa cuma itu. Maaf mengganggu waktu Anda, Direktur. Saya akan pergi dari sini. Permisi."
Selestina berbalik dan membuka pintu, keluar dari ruangan direktur akademi yang hanya menyisakan Thrarfatalin di tempat.
Bersamaan dengan kembalinya ruangan dalam keadaan sunyi, ponsel yang berada di atas meja kerja direktur akademi sedikit bergetar. Itu adalah telepon seseorang.