Ujian pun berlalu begitu saja.
Kesampingan soal kehebohan yang terjadi selama ujian di gimnasium, perjuangan yang kulakukan ketika berada di rumah besar ini dengan bantuan Anna di samping serasa seperti kisah panjang yang telah berlalu saja sekarang.
Di hari libur ini, aku merasa tidak akan pernah pergi dari kasur meskipun itu akan mengancam hidupku.
Yang kulakukan saat ini hanyalah menenggelamkan wajah ke dalam bantal sambil merenungi kehidupan dan segala hal yang telah terjadi.
Semua kewajiban di pagi hari ini—seperti bersih-bersih dan sarapan—maupun hari-hari sebelumnya sudah kulakulakan, jadi seharusnya tidak ada yang bisa membuat diriku beranjak dari kasur.
"Percaya diri … sekali."
Hmm? Apa itu suara Serena—satu dari empat bersaudara yang merupakan Roh Kontrak-ku? Aku tidak ingin memastikannya karena malas menjawab.
Tetapi, biasanya suara gadis kecil itu maupun ketiga saudaranya menggema langsung di dalam kepalaku. Kenapa yang ini tidak, ya? Aku merasa dibisikinya melewati telinga, bukan langsung di kepala.
Oh, ya. Mengenai Roh Kontrak, mereka dapat tinggal di dalam tubuh Kontraktor-nya dan mengetahui suara hati, kondisi tubuh, dan hal-hal lainnya yang bersifat hanya dapat diketahui diri sendiri.
"Mau sejak kapan … kamu tidur?"
"Aduh, aduh, aduh!"
Telingaku dijewer! Apa Serena benar-benar ada di kamar ini? Bukan di dalam tubuhku seperti biasa?
Karena ingin memastikan hal itu, aku melepaskan tangan yang lebih kecil dariku yang sejak tadi menjepit telingaku bahkan sampai menarik-nariknya lalu duduk di atas ranjang.
Berdiri di samping ranjang, seorang gadis berkulit putih pucat serta wajah datar dengan penampilan kisaran 10 tahunan menatapku dalam diam untuk sementara.
Rambutnya yang lurus panjang memiliki warna hitam. Pakaian gadis itu merupakan jubah hitam bergaris emas. Di balik jubah itu … aku tidak tahu apa. Hanya Kontraktor bodoh yang mau memeriksanya.
"Apa? Ingin … ditebas?"
Jangan meniru Revalia mentang-mentang ekspresi kalian sama datarnya! Tetapi jujur saja, itu akan mirip jika saja ucapannya tidak terpotong.
Baik, sekarang pertanyaan. Kenapa gadis ini sampai repot-repot keluar dari dalam tubuhku? Jangan bilang kalau ia hanya muncul karena ingin menganggu hari liburku.
"Es … krim."
"Hah?"
Apa yang ia katakan? Es krim? Kenapa di saat-saat seperti ini? Sekarang masih jam sembilan pagi. Kalau itu tengah hari aku bisa menormalkannya.
"Tujuh tahun yang … lalu, pada malam hari ketika … Alkah ingin menjemput … si Uban itu, kamu … berjanji untuk es krim."
Tujuh tahun yang lalu? Ada, ya? Ah, ingatanku sedikit buram soalnya karena sudah lama sekali.
Tetapi, cukup gila rasanya ketika tahu mereka menunggu selama itu untuk es krim. Meskipun umur mereka lebih dari ratusan bahkan ribuan tahun, menunggu adalah hal yang paling …. Yah, begitulah.
"Kami sudah … menunggu lama. Kami juga sudah membiarkanmu … menikmati waktu setelah kembali … ke akademi. Karena kamu juga sudah memakai … kemampuan Francesca, maka … kami meminta kembali janji itu."
"Begitu? Baiklah, tunggu sebentar."
Aku beranjak dari ranjang dan membuka lemari yang ada di sudut ruangan. Kulihat semua pakaianku yang ada di sana sambil merenung mana yang cocok, lalu memilih satu di antaranya.
Setelah itu, dengan pakaian di kedua tangan, aku memicingkan mata kepada Serena yang kini terlihat bertanya-tanya apakah ia memiliki suatu kesalahan hingga kuperlakukan seperti itu.
"Kau ingin melihatku berganti baju, ya?"
Setelah kukatakan itu, Serena pergi keluar kamar tanpa meninggalkan satu patah kata pun dengan pipi yang agak merah.
Dan beberapa saat ia pergi ….
"Kau siapa!?"
Aku mendengar suara terkejut Anna dari balik kamar.
***
Langit cukup cerah sekarang. Daun coklat yang berjatuhan dari pohonnya sudah cukup sebagai bukti bahwa sekarang ialah musim gugur.
Orang berlalu-lalang di bawah langir cerah ini, dengan berbagai barang belian masing-masing ada di kedua tangan.
Kulihat beberapa dari mereka tertawa bahagia, sementara yang lain terlihat seperti ingin menangis dengan wajah penyesalan terpampang jelas. Salah beli mungkin?
Pembeli datang ke tempat penjual dan menyampaikan hajat, lalu penjual memberi apa yang pembeli mau. Sungguh suasana yang cocok untuk kota dengan berbagai toko padanya.
Dan di sinilah aku berada, Distrik Perbelanjaan. Aku berdiri tepat di tengah jalan untuk pejalan kaki, dengan lima orang anak di sekitarku.
Dua dari anak di sekitarku adalah Serena dan Anna. Sementara yang sisa, dapat ditebak kalau mereka adalah Roh Kontrak-ku yang lain.
"—Woah! Lihat, Elk! Orang-orang di sini ternyata bisa berjalan!"
"Ya, dari dulu semua orang bisa berjalan!"
Sambil menjawab ucapan bersemangat salah satu Roh Kontrak-ku itu, aku menyentil kepalanya sebab kegirangan yang berlebihan itu.
Anak ini adalah Clayton. Ia yang termuda dari empat bersaudara. Penampilannya adalah seorang anak laki-laki sembilan tahun dengan rambut hijau cerah sedikit bergelombang dan pakaian berupa jas para bangsawan.
"Daripada itu~ Apa ada yang sedang kita tunggu hingga terus berdiri di sini~?"
"Ah, benar. Mari pergi."
Karena sudah sadar kalau dari tadi kami hanya berdiam di tempat, aku pun lanjut membawa keempat anak yang merupakan Roh Kontrak-ku ke tempat tujuan mereka.
Yang menyadarkanku akan hal tersebut dengan ucapan bernada ialah Francesca. Kakak dari Clayton dan adik dua yang lain.
Francesca adalah gadis berkulit putih pucat seperti Serena dan penampilan menyerupai anak sembilan tahunan. Rambut merah panjangnya diikat di kedua sisi dengan pita biru.
Ia mengenakan baju dengan kancing bersilang dan celana pendek berwarna hitam bergaris perak.
Di bahunya tergantung jas kebesaran berwarna kurang lebih sama, sementara di atas kepalanya terdapat sebuah topi militer.
Berbeda dari yang lain, cuma Francesca saja yang dari tadi menggandeng tanganku saat berjalan-jalan seperti ini.
"Apa ada yang salah~?"
"Bukan apa-apa."
Mungkin karena menyadari pandanganku tadi terarah pada tangan kanannya yang kini memegang tangan kiriku, Francesca memiringkan kepala.
Tujuan kami berada di Distrik Perbelanjaan ini berbeda-beda. Tujuan keempat bersaudara Roh Kontrak-ku adalah es krim, tujuan Anna adalah berbelanja beberapa hal, sementara aku cuma menemani mereka.
… Ah, sekalian saja, ya? Kulihat di lemari, bajuku hanya ada beberapa lembar saja. Jadi, selain menemani mereka, aku akan membeli baju.
"Master, apa kita terlihat mencolok?"
Sebab pertanyaan Ashley yang berjalan di belakang, aku pun memperhatikan sekitar. Sepertinya kami memang cukup mencolok hingga diperhatikan orang-orang. Mungkin karena pakaian yang dikenakan Ashley dan saudaranya.
Oh, ya. Ashley adalah yang tertua dari mereka. Penampilannya mirip dengan anak lelaki berumur sepuluh tahunan pada umumnya.
Rambut pendeknya pirang, sementara pakaian yang ia kenakan adalah jubah seperti milik Serena—berwarna hitam dan bercorak garis emas.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi ke toko pakaian terlebih dahulu? Mungkin yang membuat kita mencolok adalah pakaian kalian."
"Tidak masalah."
Mendengar usulan dariku, Ashley menggeleng pelan. Baiklah, sudah diputuskan kalau tujuan pertama kami adalah toko pakaian.