Pagi-pagi sekali—saking paginya sampai ayam saja belum berkokok—di jumat yang ber– yang indah ini.
Dengan sapu di kedua tangan aku mengusir ayam yang ingin berkok– Maksudku, membuat debu-debu di rumah dua cebol yang kini sedang mandi pergi dari lantai di sini.
"Damai sekali, ya~"
Itulah kata-kata yang kugumamkan selagi membersihkan lantai dua dari rumah besar ini.
Tidak tahu kenapa, perasaanku jadi lebih cerah dari biasanya. Pasti berikutnya akan terjadi hal-hal ….
… Aku tahu, bahwa setelah ini ada masalah besar yang menanti. Tetapi apa boleh buat. Aku juga sudah memunculkan 'pertanda'-nya.
"—Oh, tumben kau jadi semangat."
Seketika, aku berbalik saat mendengar suara itu. Beberapa langkah dari tempatku berdiri, GB berjalan dengan handuk yang melingkar di lehernya.
Tiba-tiba menyapa, dan sapaannya terdengar ramah. Hmm …, ia pasti datang dengan membawa kabar buruk.
"Sembarangan. Aku cuma mau kembali ke ruanganku untuk menyelesaikan pekerjaanku yang belum selesai di sana."
Oh, baguslah kalau begitu. Kuharap ia segera pergi tanpa menambah pekerjaanku atau semacamnya.
"Tanpa kauharapkan pun aku akan pergi."
Mengatakan itu dengan nada yang terdengar sedikit kesal, GB berjalan dan berpapasan denganku lalu memasuki ruangan di ujung lorong.
***
"Sial, aku benar-benar lengah."
Ketika jam pelajaran pertama berakhir, aku menggumamkan itu sambil meletakkan wajah ke atas meja dengan helaan nafas panjang.
Tidak kusangka kalau hari ini akan menjadi hari diadakannya ujian. Untung saja aku berhasil menjawab semua soal. Meski aku tidak tahu apakah itu benar ataukah salah.
Rasanya kepalaku masih sakit akibat melihat beberapa baris soal yang kupikir itu cukup gila.
Tadi adalah ujian tulis Sejarah, Pengetahuan Sihir Roh, dan Matematika. Mungkin setelah istirahat ini, ujian kembali dilanjutkan. Baguslah besok merupakan hari libur. Aku jadi bisa sedikit bersantai.
Beralasan khawatir kalau setelah istirahat ini akan menjadi ujian, aku pun mengeluarkan buku dan mengulangi pelajaran.
Yah, aku tidak tahu pelajaran mana yang akan keluar nanti, jadi kupilih secara acak saja.
Waktu berlalu tanpa kusadari. Ujian kembali diadakan. Dan kali ini, ujian langsung melibas seluruh pelajaran yang nilainya bisa didapat melalui tulisan.
Untunglah, masing-masing kertas ujian soalnya lebih sedikit dari yang sebelumnya. Ketika selesai satu, aku segera mengganti soal pelajaran tersebut dengan yang lain.
Dan pada sejam setelah ujian ini dimulai, aku terbantai di atas meja. Benar-benar lelah …. Sudah tidak ada lagi tenaga untuk diriku ini.
***
Suara lonceng tanda selesainya istirahat jam kedua terdengar. Segera, aku yang dari tadinya hanya diam di atas meja bangkit kembali.
Kulihat Guru Grace berjalan memasuki kelas saat aku bangkit dari meja. Gadis berkacamata biru dengan rambut hitam bergelombang itu menyuruh kami semua untuk datang ke gimnasium.
Sebelum datang ke tempat tersebut, kami diperintahkan untuk berganti baju dengan seragam akademi khusus tempur.
Dengan keadaan setengah sadar karena tidak memiliki banyak energi, aku mengikuti teman sekelas ke ruangan yang berbeda. Itu adalah ruangan ganti.
Saat permulaan biasa-biasa saja, tetapi tiba-tiba, seorang gadis berteriak hingga seketika kesadaranku langsung kembali.
Aku baru sadar kalau aku hampir ikut berganti baju di ruang ganti perempuan!
Tanpa meninggalkan satu patah kata pun, aku melarikan diri dari ruang ganti tersebut. Dan setelahnya, aku berganti di ruangan lain bersama Katsuhito yang kini sudah melepaskan bajunya.
Perlahan, kesentuh punggung laki-laki berambut ungu yang poninya menutupi mata sebelah kanan itu, lalu berkata dengan senyum menggoda :
"Mas …~"
"Kubunuh kau!"
Cuma bercanda, oi! Mengerikan sekali ia. Aku tertawa menanggapi reaksi yang ditunjukkan oleh Katsudon ini– Maksudku Katsuhito.
Lagian, aku masih normal. Aku masih menyukai perempuan. Dan juga, rasanya tidak mungkin menyukai seorang lelaki sementara lebih dari 900 orang di sini merupakan perempuan.
Tanpa menambah candaan lagi karena waktu kami terbatas, aku mengganti seragam akademiku menjadi yang versi tempurnya.
Menurutku, tidak banyak perbedaan antara seragam versi normal dengan khusus tempur. Mungkin cuma bahan yang berbeda serta tambahan terdapat zirah di bahu, siku, dada, perut, dan lutut.
Oh, ya. Sepertinya aku lupa bilang. Saat Guru Grace datang ke kelas beberapa waktu yang lalu, ia menyuruh kami semua berganti baju lalu datang ke gimnasium untuk mengetes kemampuan kami.
Aku tidak tahu bagaimana bentuk ujiannya nanti. Melawan satu sama lain? Atau mungkin menyerang sebuah target? Itu hanya bisa diketahui pasti dengan datang ke tempat tersebut.
Tanpa banyak membuang waktu, aku memasang semua perlengkapan kemudian berjalan di belakang Katsuhito menuju gimnasium.
Ini memang bukan pertama kalinya aku datang ke gimnasium. Tetapi, ini pertama kalinya aku melihat banyak orang berkumpul di tempat ini.
Mungkinkah semua orang ada di sini? Oh, sepertinya tidak. Dari wajah semua orang, aku bisa menebak kalau mereka kelas dua sama sepertiku.
Ketika keberadaanku disadari teman sekelasku yang lain, mereka saling berbisik sambil melirik tajam diriku.
Ah, padahal tadi itu aku benar-benar tidak sengaja mengikuti mereka hingga ke ruang ganti.
"Kau di sini juga rupanya."
Ketika mendengar panggilan dari suara seseorang yang kurasa aku mengenali siapa ia, aku berbalik dan menemukan ….
Gadis berambut biru muda panjang serta bando hijau di atasnya. Sepasang matanya yang memiliki warna emas terarah padaku sementara kedua tangannya terlipat di depan dada.
Seragam yang dipakai gadis itu sedikit berbeda dari kebiasaan. Blazer berlengan pendek dengan zirah, dan di baliknya terdapat blus tanpa lengan yang dipasangi zirah pula.
"Kalau tidak salah … Reva, 'kan? Revalia."
"Ada apa? Memang, aku Revalia. Padahal cuma tidak bertemu beberapa hari, tapi kau seperti sudah hampir melupakanku saja."
Reva menghembuskan nafas.
Yah, bagi Tuan Putri yang satu ini memang terasa waktu berlalu hanya beberapa hari saja. Tetapi bagiku, sudah tujuh tahun lamanya aku tidak bertemu dengan dirinya.
Setelah itu, kami membicarakan beberapa hal. Cuma basa-basi sambil menunggu nama sendiri dipanggil oleh panitia ujian.
Bentuk ujian di tempat ini adalah melawan beberapa boneka berbentuk Shadow yang dikendalikan oleh salah satu guru dengan batasan waktu beberapa menit.
Ada dua puluh boneka, yang jika setiap satu boneka dihancurkan, akan diberikan nilai lima.
Terdapat juga pertimbangan pada waktu yang dipakai untuk menghancurkan satu per satunya jika gagal menghancurkan semuanya agar nilai tidak sepenuhnya jadi rendah.
Jika nilainya sempurna—semua boneka dihancurkan—dan waktu masih banyak tersisa, maka akan jadi nilai tambahan untuk ujian tulis yang kurang.
Waktu berlalu begitu saja. Nama Reva dipanggil panitia beberapa saat setelah kami kehabisan topik untuk dibicarakan.
Karena kali ini merupakan giliran Revalia, aku pun berjalan lebih dekat dengan tempat ujian berlangsung untuk melihatnya.
Tempat pasti berjalannya ujian adalah di tengah-tengah gimnasium. Di sana, telah dipasangi sebuah penghalang agar tidak membahayakan siapa pun.
Segalanya berjalan terlalu cepat kurasa.
Reva memanggil Roh Kontrak-nya, lalu membuat seluruh boneka tersebut berlutut hingga hancur karena berat dari gravitasi.
Keluar dari penghalang berisikan boneka rusak, Reva datang ke tempatku. Cara berjalannya itu …. Bagaimana bilangnya, ya? Seperti orang yang baru menuntaskan misi besar. Jika ditambahi kacamata hitam, mungkin akan jadi lebih berasa.
"—Karena ujianku sudah selesai, aku akan pulang. Sampai jumpa."
"Ah, ya. Sampai jumpa. Hati-hati di jalan."
… Sekarang aku ditinggalkan Reva dalam artian sebenarnya, bukan dalam hal cinta atau yang lain.
Kini, aku mencari tempat untuk dapat bersantai. Oh, mungkin kantin bisa? Aku belum makan apa-apa dari tadi pagi.
Ketika kutanyakan panitia untuk bisakah aku menjalani ujian di paling akhir, ia pun menjawab :
"Bagaimana kalau selanjutnya kau saja?"
"Eh, apa tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa, kok. Panggilan ini juga sebenarnya ditentukan secara undian per kelas."
Dengan begitu, giliran setelah seorang gadis bernama Clara yang merupakan teman Reva adalah diriku.
Beberapa saat, namaku dipanggil oleh panitia. Aku berjalan memasuki penghalang transparan berwarna putih dengan niat serius di awal.
Kali ini, aku akan menggunakan kekuatan Francesca. Gadis yang paling tua ketiga di antara empat saudara Roh Kontrak-ku.
"~Empat anak mencari cerita, empat anak terbimbing menuju kenyataan tentang Kota Suram. Ceritamu yang tidak tertulis, kini akan kubuat dengan gayaku! Datanglah kepadaku sebagai tongkat sihir yang dapat membuat segala keajaiban terjadi!"
Sesaat ketika perapalan, Segel Roh yang ada di dadaku bersinar. Di lantai, selangkah di depanku, terdapat lingkaran sihir yang mengeluarkan sebuah tongkat.
Rupanya berwarna hitam, memiliki ujung berupa empat kristal bundar berbeda warna—merah, kuning, biru, hijau—pada setiap sudut dengan segitiga melayang di tengah-tengah.
Dengan tongkat ini di tangan, aku tidak akan tanggung-tanggung. Setelah ini selesai, aku akan datang ke kantin dan memesan seluruh makanan yang belum pernah kucoba sebelumnya.
"Lubang Hitam!"
Sebuah bola kecil berwarna hitam tercipta di udara kosong. Ia berjalan kecil kemudian berhenti di tengah-tengah seluruh boneka tersebut.
Seketika, tarikan yang kuat dapat dirasakan pada udara. Penghalang putih transparan bergoyang seperti akan hancur sementara bola hitam kecil itu semakin membesar saat boneka-boneka tadi tersedot ke dalamnya.
"Aku memang bilang tidak tanggung-tanggung. Tapi …."
Yah, sepertinya aku agak berlebihan.