Melangkah di belakang dua cebol dari ruangan direktur akademi, aku dan mereka berjalan di Distrik Asrama, menuju ke rumah milik cebol yang paling cebol dari keduanya.
… Oh, ia berbalik dan menatapku dengan tajam. Tetapi, ia tidak melakukan apa pun padaku selain membuang nafas panjang lalu memfokuskan diri ke jalan.
Tidak seperti dirinya yang biasa, di mana sekali saja kukatakan 'cebol' meski dalam hati, ia akan langsung melayangkanku dengan salah satu dari kaki pendeknya itu.
"Nah, kita sampai."
Tanpa kusadari, kami telah tiba di depan rumah besar yang cukup megah dengan cat putih.
Aku tidak tahu kalau ada rumah seperti ini di Distrik Asrama. Yah, memang sih, aku kurang menjelajahi tempat ini. Jadi wajar kalau aku tidak tahu.
"Masuklah. Barang-barangmu akan diurus nanti. Kamarmu ada di lantai atas, bersebelahan dengan kamar Anna. Kalian mau langsung memulai pelajaran atau tidak terserah saja."
Berkata demikian, GB berjalan memasuki rumah besar tersebut setelah mendorong kedua pintunya.
Omong-omong apa rumah ini aman-aman saja? Yah, soalnya aku melihat ia langsung mendorong pintu tanpa mengurus kunci.
"Ini adalah rumah yang Bibi Thararfa dapatkan dari organisasi atas pengabdiannya. Jadi tentu saja ini bukan rumah besar biasa. Jika daku atau Bibi Thararfa tidak bersama dikau, dikau tidak akan menemukan rumah ini."
Begitu, ya. Aku mengangguk-angguk atas apa yang dikatakan oleh Anna atau sebut saja dengan cebol dua.
Kalau dipikir-pikir, GB tadi berkata kalau aku tidak akan tahu jalan meski sudah bertanya ke seluruh orang 'kan, ya.
****
Beberapa saat sebelumnya ….
"… Sebentar, cebol satu ini akan menjadi pembimbingku kaubilang?"
"Siapa yang kaupanggil 'cebol satu ini'!?"
Tangannya yang tadi terlipat di belakang punggung kini mencoba memukul wajahku kembali. Seperti sebelumnya, aku menghindari itu dengan langkah kecil.
… Dan tanpa sengaja, aku membuatnya terpeleset dengan cara membiarkan kakiku ia sandung.
Anna memegangi keningnya yang sedikit memerah karena menghantam lantai dengan kedua tangan sambil memberiku tatapan tajam dari sepasang mata peraknya yang berair.
"Astaga, apa yang kaulakukan? Membuat keponakanku menangis."
"Daku tidak menangis!"
Sementara cebol satu menggeleng setelah membuang nafas saat memandangku, cebol dua memberi pembenaran yang jelas salah.
… Tetapi, keponakan, ya? Pantas sama-sama pendek— Maksudku, jadi ia memang orang yang pernah satu tim dengan Tina? Yah, meski aku tidak pernah berpikir kalau mereka adalah orang yang berbeda.
Seakan-akan melupakan apa yang sedang terjadi dengan membuang nafas pelan, GB memandangku.
"Selesai seluruh pelajaran nanti, datanglah kembali ke sini. Karena meski kau bertanya kepada seluruh orang, kau tidak akan menemukan jalan ke rumahku."
"Baiklah. Kalau begitu, permisi."
***
Kira-kira, begitulah yang terjadi setelah aku mengetahui alasannya memanggilku ke ruangannya. Setelah itu, aku menjalani sisa pelajaran di akademi dan akhirnya berjalan bersama kedua cebol itu ke rumah mereka.
Sekarang ini aku …. Emm, apa yang kulakukan di sini, ya? Dan kenapa cebol yang ada di depanku terlihat kesal dengan melipat kedua tangan serta alis yang kini menukik ke bawah?
"… Sudah puas melamun?"
"Eh? Ah …. Hijau mungkin?"
Aku ini bicara apaan coba.
Tiba-tiba, telapak tangannya bergerak cepat lalu berakhir mendarat di pipiku. Sebuah tamparan.
Meski telapak tangannya tidak lebih besar dariku, ini benar-benar sakit. Kupikir rasa sakit di pipiku yang kini jadi merah ini tak akan berkurang walau kugosok beberapa kali.
"Ini sakit."
"Itu hukuman untukmu!"
Anna mendengus, membuang rasa kesal yang menupmuk di hati. Ia lalu mengambil buku catatan yang tergeletak di atas meja bundar dan melihat isinya.
Oh, ya. Kami sedang belajar. Yah, tujuanku datang ke sini memang untuk itu. Jika tidak, maka aku tak mungkin sembarangan masuk kamar seorang gadis seperti ini.
Kalau dipikir-pikir ….
Ah, mikir terus. Kapan belajarnya?
Dengan kata-kata itu sebagai motivasi—meski kedengarannya salah untuk dijadikan motivasi—aku pun mendengarkan apa yang diberitahukan Anna.
Dan tanpa kami sadari, waktu berlalu hingga langit di luar kini sudah berganti dengan warna oranye.
"—Sepertinya sampai sini saja. Tidak ada pertanyaan atau hal lainnya, 'kan?"
"Ya, tidak ada. Terima kasih. Permisi."
Aku pun beranjak pergi dari ruangan berukuran sedang dengan dekorasi merah muda ini, tetapi … ada yang menahanku.
Tangan. Tiba-tiba saja Anna meraih pergelangan tanganku yang tangan lainnya sedikit lagi akan meraih gagang pintu dan segera membukanya.
Aku memalingkan wajah ke belakang. Yang kulihat, gadis kecil tadi sedang menundukkan wajah. Itu membuatku tidak mengetahui ekspresi apa yang sedang ia pasang.
"Apa ada yang salah?"
Aku menyunggingkan senyum. Sedikit bermasalah.
"Tidak ada. Hanya saja …."
Ketika itu, tangannya yang lain merayap ke dadaku secara perlahan. Sampai saat ini, aku masih tidak tahu alasan maupun wajah seperti apa yang ia tunjukkan.
Tak lama, kedua tangannya menyentuh dadaku. Setelahnya, ia meletakkan pipi kiri ke sana.
Tidak kulihat sedikit pun bagaimana wajahnya sekarang. Tetapi cara perlakuannya ini …. Apakah telah terjadi sesuatu?
"… Apa dikau ingin menjadi temanku?"
Aku tidak paham apa, tetapi yang kubalas atas gumaman kecilnya itu adalah …. Yah, membalas pelukan yang ia berikan, dan ….
"Aku tidak mengerti. Tapi, tidak masalah."
*****
Sementara kedua orang yang ada di dalam kamar berdekorasi merah muda serta tanda nama di pintu yang bertulisan 'Anna' itu terdiam dalam waktu lama, penghuni rumah yang lain hanya mengangkat kedua bahu disertai senyum tipis.
"Dekati dia perlahan, lalu …. Hmm?"
Thrarfatalin beralih dari samping pintu—tempat ia mendengar aktivitas kedua murid di akademinya, ia pergi menuruni tangga.
Bersamaan saat kakinya menyentuh anak tangga terakhir, suara bel rumah yang telah ditekan seseorang berbunyi.
Ia mengetahui siapa yang repot-repot datang ke tempatnya membawakan barang-barang seseorang yang tadi diajarkan oleh cucunya—Meski dibilang keponakan, aslinya Anna adalah cucu dari adik Thrarfatalin.
"… Lho? Bukan dia?"
Itulah reaksi yang ditunjukkan Thararfatalin ketika mendengar suara hati orang yang ada di balik pintu. Untuk lebih yakin, ia pun meraih gagang pintu dan menariknya.
Di depan pintu berdiri seorang gadis yang menghalangi matahari senja. Rambut biru muda yang tergerai panjang dengan bando hijau berkibar ketika angin berhembus.
Sepasang mata emasnya menatap lama kepada Thrarfatalin. Kelihatannya, ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk digunakan.
"… Saya menggantikan Freya yang enggan untuk mengantarkan barang laki-laki itu."
Terdiam lama, barulah Revalia berbicara. Ia lalu berbalik dan memberi isyarat mendekat dengan salah satu tangan.
Tiga bola yang tengahnya paling besar melayang di udara. Di bawah Senjata Elemental Revalia itu, terdapat tas penuh dengan isi ikut melayang.
"Yah, dia tidak mau datang ke sini, ya? Oh, ya. Bagaimana kaubisa kemari? Meski diberi tahu jalan pun tidak akan membuatmu segera menemukan tempat ini dengan mudah."
"Saya tidak tahu. Insting seorang gadis, mungkin?"
Thararfatalin tertawa kecut saat mendengar jawaban itu. Sebagai Kontraktor dari Roh yang dapat membuatnya membaca pikiran seseorang, ia juga bisa mengetahui rasa seseorang terhadap orang lainnya. Entah itu benci atau suka.
"Baiklah, terima kasih sudah membawakan ini. Dan tolong, bisakah kaukatakan kepada Tunangan Elkanah bahwa …."
Kata-katanya tersandat, tatapannya terarah ke bawah. Beberapa saat terdiam, Thrarfatalin mendesah panjang lalu kembali menatap lurus Revalia.
"Lupakan saja. Hati-hati di jalan. Kalau bisa langsung pulang sana."
"Terima kasih atas rasa khawatir Anda, Direktur. Kalau begitu, saya permisi."
Dengan mengatakan itu disertai dengan menundukkan kepala, Revalia pergi bersama Senjata Elemental-nya menjauhi Thrarfatalin.
Untuk beberapa alasan, Thrarfatalin tidak masuk kembali ke rumah. Ia mencengkram pinggang dengan tatapan terarah ke langit.
"Setelah hidup lebih lama dari kebanyakan orang, tidak ada banyak hal yang berubah dariku. Bahkan, keputusan salah tetap bisa terjadi meski aku sudah berpengalaman, ya?"