Beberapa hari sebelum waktu itu, kejadian setelah insiden badan ….
Usai pelajaran di akademi, aku menyandarkan kepala ke sandaran bangku, menatap langit-langit Kelas Dua Rat setelah mengatakan sesuatu kepada Hana.
"Hmm, 'Gadis berambut hijau pendek dengan poni menutup mata kiri' kamu bilang? Rasanya aku pernah melihatnya beberapa kali, tapi tidak pernah berbicara padanya sekali pun."
"Begitu …."
Aku menutup mata karena sudah menebak hal tersebut. Yah~ ia memang bukan orang terkenal, jadi aku sudah bisa menebak jawaban yang akan dikeluarkan oleh Hana.
"Memangnya, dia siapa? Apa ada hubungannya dengan kasusmu kemarin? Atau … orang yang menulis surat di mejamu itu?"
"Aku tidak bisa menceritakan tentangnya lebih lanjut karena ingatanku sendiri kurang jelas tentang– Tunggu, apa kaumelihat suratnya!?"
Ucapan dari Hana—seorang gadis 16 tahun berambut hitam dikepang yang duduk di kursi sebelah—membuatku membangkitkan kepala dari sandaran kursi.
"Tidak sampai melihat seluruh isinya, sih …. Aku hanya menemukannya di atas meja dan melihat sedikit sebelum meletakkannya ke kolong meja."
Mendengarnya, aku pun membuang nafas setengah lega karena tidak sepenuhnya senang mendengar itu. Entah bagaimana aku tidak ingin seorang pun melihat isi surat itu.
"Yah, tidak apa-apa. Terima kasih sudah memberi tahuku hal yang kamu ketahui. Kurasa, sekarang saatnya pulang. Apa kau masih punya urusan di sini, Hana?"
"Ah, iya. Aku piket hari ini."
"Begitu, ya? Baiklah, sampai nanti."
Aku pun mulai membereskan barang di meja, dan memberi lambaian pada Hana yang masih duduk di kursinya.
***
Rasanya, aku agak malas untuk pulang ke asrama sekarang. Agak bosan saja di sana, Freya sibuk dengan urusannya sendiri.
"Hei! Sebelah sini!"
"Hmm?"
Saat mendengar suara agak kencang yang tidak begitu asing dari luar jendela, aku pun berhenti berjalan di lorong lalu mendekati jendela.
Melalui jendela lantai dua akademi ini, aku melihat beberapa siswi dengan seragam yang agak berbeda sedang berpencar dan berlarian ke sana kemari.
Yang mereka pakai adalah kaos putih bercorak hijau serta celana pendek hitam. Itu adalah seragam olahraga.
Yah, olahraga tentu ada, tetapi pelajaran satu ini bisa dilewati. Dan aku, tentu saja melewatinya. Bagiku yang datang ke sini hanya karena mencari gadis itu, pelajaran tambahan seperti olahraga tidaklah penting.
"Kalau kulihat lagi, bukankah itu Selestina?"
Ya, memang benar. Di tengah-tengah kerumunan siswi, aku menemukan gadis tinggi tersebut sedang tertawa lepas karena jadi rebutan.
Entah bagaimana, aku seperti melihat bola yang ada di tangan Selestina sebagai kucing di atas pohon karena dikejar-kejar sesuatu ….
Aku jadi agak kasihan dengan siswi-siswi yang ada di sekitarnya. Mereka seperti disuruh mengganti bola lampu pada lampu jalan tanpa menggunakan tangga.
Dan melihat tawa yang dikeluarkan Selestina …. Entah kenapa aku merasa baru saja melihat sisi kejam darinya.
"Kak Selestina masih hebat dan populer seperti biasanya, ya?"
"Eh? Woah …!"
Tiba-tiba, seseorang berbicara di samping. Aku yang mengarahkan tatapan mata pada jendela, terlonja ke samping ketika membuat mataku mengarah pada asal suara.
Gadis yang kulihat tadi hingga membuatku terlonjak seperti itu sekaligus si pemilik suara, tersenyum disertai tawa kecil dengan menutup mulut.
"Elkan~! Lama tidak bertemu~!"
Kemudian, ia melompat ke arahku, memelukku begitu erat hingga aku agak kesusahan menyesuaikan posisi hingga akhirnya terjatuh.
Kalau kulihat-lihat …. Rambut putih panjang, telinga kelinci yang mencuat ke atas, lalu suaranya yang kedengaran sangat ceria, ia adalah ….
"Elina!?"
"Fufu~ Baru sadar sekarang?"
Begitulah nama gadis beastman kelinci 16 tahun ini—Elina, ia adalah rekan atau teman dekatku. Kami pernah melakukan pengembaraan bersama, dengan alasan yang berbeda.
Belum sampai satu menit aku menyadari siapa gadis ini, Elina terangkat dari tubuhku karena ada campur tangan orang lain.
"Le…. Lepas…kan …, I…."
Seseorang yang mengangkat Elina melalui kerah blusnya, membuat ia kesusahan bernafas saat meronta-ronta untuk dapat kebebasan.
Mengambil kesempatan karena sudah tidak ada beban di atas tubuh, aku pun berdiri. Bersamaan dengan itu, Elina dilepas oleh seseorang yang tidak kuketahui siapa.
Dilihat dari bawah sampai atas, ia masih kalah pendek beberapa senti dari Selestina, tetapi juga lebih tinggi dariku. Rambutnya berwarna ungu, disertai poni menutup mata kanan.
Etto~ Apa ia laki-laki? Itu berarti … ini kedua kalinya aku menemui laki-laki di akademi ini pada hari senin ini setelah seminggu lebih hanya mendapati gadis-gadis di sini.
"Duh~ Sudah kuduga kalau Elkan puluhan—bahkan jutaan—kali lebih baik darimu, Iwao Katsuhito."
Usai nafasnya kembali teratur setelah lepas dari cengkeraman laki-laki tadi, Elina bersembunyi di belakangku lalu menjulurkan lidah kepada laki-laki itu.
"Kau ini tidak lelah, ya? Sana-sini teriak, seperti orang primitif yang nyasar ke masa depan. Kau mungkin tidak malu, tapi akulah yang merasakannya, punya orang dungu sepertimu di sisiku."
Entah bagaimana aku paham. Dahulu, aku sering merasa malu pada tingkah Elina yang tergolong karakter dere-dere. Aku bahkan sampai lupa sudah berapa kali aku dibuat malu dengan tingkahnya di depan umum.
"Aku bukan orang primitif! Ya, 'kan, Elkan?"
"Eh? Ah, iya. Bukan, kok …. Mungkin kau itu lebih ke arah karakter yang suka melakukan hal heboh atau semacamnya …."
Maaf, Elina, sebenarnya aku lebih menyukai bubur yang diaduk dari …. Ehem, maksudku, aku sebenarnya sependapat dengan lelaki itu.
"Terserah kau saja. Cepatlah, Thrarfatalin pasti sudah menunggu kita di ruangannya."
"A-Ah~! Tunggu …!"
Melihat laki-laki tadi berbalik setelah mendesah panjang dan mulai berjalan pergi, Elina melepasku dan segera menyusulnya.
Beberapa langkah berjalan, ia berbalik dan menundukkan kepala padaku. Tentu, aku menanggapinya dengan hal serupa.
Ini sedikit janggal, tetapi … apa yang ia lakukan di akademi? Dan siapa laki-laki yang ada bersamanya?
"Yah, lupakan saja. Itu bukan urusanku."
Aku mengangkat kedua bahu untuk melupakan sesuatu yang bukan urusanku ini.
Tetapi, Elina, ya? Aku tidak mengharapkan pertemuan kami ini. Rasanya, aku sedikit teringat pertemuan kami dahulu.
***
Saat itu—sebelum perjalanan kami dimulai, kami masih berusia tiga belas tahun, yang kira-kira itu adalah tiga tahun sebelumnya.
Kami bertemu saat aku sedang berjalan sendiri di hutan yang kemudiannya tiba-tiba dikejar oleh mahluk kelaparan berhari-hari.
Waktu itu, Elina menyelamatkanku menggunakan Senjata Elemental-nya yang berupa dua pedang pendek perak berornamenkan simbol berwarna emas.
"Kau tidak apa-apa?"
Dengan wajah yang dibuat tersenyum ramah tetapi disertai dengan penuh bercak darah merah, ia bertanya padaku.
Dua pedang pendek yang tadinya dipegang Elina kini ditancapkannya ke mata monster besar berwujud kadal berkaki dua seukuran bangunan dua lantai.
Meski gemetaran membuatku kesusahan membuka mulut, aku memaksakan diri bagi menjawab meski dengan anggukan.
"Begitu? Baiklah, sekarang …."
Ia mencabut kedua pisau yang merupakan Senjata Elemental-nya tadi dan mengarahkan itu kepadaku dengan senyum yang sedikit berubah dari sebelumnya.
"… Mari makan."
Refleks, aku mengeluarkan dua pistol model lama yang tergantung di sabukku, lalu mengarahkan moncongnya pada beastman kelinci tersebut.
Jika lawannya monster tadi, ini memang tidak berguna. Namun, jika lawannya adalah orang, maka lain cerita.
Tangan yang gemetaran membuatku kesusahan untuk membidiknya. Dan secara asal-asalan, aku pun menarik pelatuk kedua pistol tersebut.
Tbc ….