Chereads / My Psychopath Teacher / Chapter 5 - Darah?

Chapter 5 - Darah?

Kaki mungil Jena melangkah mantap menyusuri koridor kelas XI dengan santai. Bel istirahat pertama sudah berbunyi sejak tadi. Ia memutuskan untuk mengisi perutnya terlebih dahulu sebelum menemui Raihan yang entah ada alasan apa, guru Matematika itu menghubunginya.

Jena tak terlalu populer disekolahnya. Namun, tak sedikit juga yang mengenal Jena. Kepribadiannya yang humble membuatnya mudah disenangi siapa saja. Terlebih lagi, ia adalah kekasih Andra. Si anak emas kesayangan para guru-guru disekolahnya. Tak hanya guru, Andra juga disenangi oleh siswa-siswi disekolahnya. Beberapa orang berpikir kalau Jena beruntung memiliki Andra. Tapi Andra pernah mengatakan kalau sebenarnya dialah yang beruntung karena memiliki Jena.

Sepanjang perjalanan, banyak murid yang menyapa Jena. Jena hanya membalasnya dengan senyum tipis sambil terus melangkah menuju ruang guru. Kalau ditanya cemas atau tidak, Jena akan menjawab tidak. Ia sudah berpengalaman dengan hal ini. Sebelum Raihan, banyak guru-guru Matematika yang dulu mengajar Jenaㅡmemanggil gadis itu ke ruangannya. Perihal apalagi yang akan dibicarakan selain nilai?

Saat itu terjadi, Jena hanya akan membuat raut wajah memelasㅡmerasa bersalah dan mengatakan 'Aku tidak bisa Matematika' dengan lirih. Maka, guru yang memanggil Jena tak punya pilihan lain. Ia akan menaruh nilai apa adanya diraport, dengan tambahan sedikit nilai plus agar angkanya tidak terlalu rendah.

Jena mengetuk pelan pintu ruang guru sambil bergumam permisi. Beberapa guru disana memperhatikannya, Jena hanya melewati dengan membungkukkan badan. Berjalan cepat menuju meja Raihan yang terletak dipojok ruangan.

"Permisi, Pak."

Raihan berdeham. Menyuruh Jena duduk dan menatap tajam pada mata monolid itu.

"Saya penasaran kenapa nilai Matematika kamu selalu rendah. Terkecuali saat ulangan."

Jena menelan ludahnya. Ia harus memasang wajah memelas bercampur rasa bersalah agar Raihan luluh. Sama seperti guru-guru Matematikanya yang dulu.

"Saya tidak bisa mengerjakannya, Pak..."

"Kenapa saat ulangan bisa? Kamu menyontek?"

Jena menunduk dalam. Duh, ia tak tahu harus menjawab apa? Mengaku sama saja dengan bunuh diri, tapi kalau berbohong pun percuma. Kejanggalan dalam nilainya begitu terbaca dan terkira.

Jena memejamkan matanya sebentar, kemudian menatap lantai yang ia pijaki dengan dada yang bergemuruh. Bagaimana kalau Raihan marah? Bagaimana kalau Raihan menghubungi orang tuanya? Bagaimana kalau ia diancam tidak naik kelas? Bagaimana kaㅡtunggu. Bercak merah apa itu?

"Kenapa diam saja?"

Omongan Raihan bagai angin lalu. Jena memilih memfokuskan penglihatannya, menatap bercak-bercak berwarna merah seperti darah yang menghiasi lantai dibawah meja Raihan.

Itu ... darah apa?

"Jena Paramita!" Raihan meninggikan intonasinya. Membuat Jena tersentak, kemudian menunduk takut.

"A-anu... i-itu..."

Raihan menghela napas gusar. Satu murid seperti Jena benar-benar membuat kepalanya pusing. Ia tak mungkin menorehkan nilai dibawah rata-rata pada raport muridnya.

"Bapak beri kamu keringanan sampai Ujian Tengah Semester tiba. Sebelum itu, kamu harus benar-benar meningkatkan nilai. Dan juga, nilai UTS kamu harus mencapai nilai rata-rata. Bapak tidak menerima alasan. Kalau ada materi yang belum kamu pahami, bisa tanyakan itu kepada bapak," putus Raihan begitu saja. Jena hendak memprotes, namun kalimat Raihan membuatnya diam.

"Bapak sudah selesai. Kamu bisa keluar."

Oke. Ini kiamat.

Jena mengangguk sopan dan beranjak dari duduknya. Meninggalkan ruang guru dengan perasaan yang campur aduk. Tak ia sangka, Raihan ternyata berbeda dengan guru-guru Matematika yang ia hadapi selama ini. Raihan sangat otoriter dan cukup menyeramkan. Tatapannya tajam dan suaranya lugas. Yah, walaupun wajahnya bisa dibilang tampan dengan rahangnya yang begitu tegas.

Tapi, guru Matematika tetaplah guru Matematika. Mau setampan atau sekarismatik apapun Raihan, tetap saja. Di mata Jena guru Matematika hanyalah sesuatu yang merepotkan. Membuatnya terkungkung dalam situasi sulit yang sudah jelas-jelas sangat Jena benci, yaitu mengerjakan soal Matematika.

Persetan dengan perkataan pria berumur tiga puluhan itu, Jena hanya akan melakukan hal yang ia suka. Tak ada yang bisa mengaturnya, hidupnya adalah miliknya. Matematika hanya akan membuat otaknya berasap sebelum akhirnya hangus terbakar rumus.

Ck ck ck. Jena masih tak habis pikir. Bagaimana bisa guru meresahkan seperti Raihan dibiarkan hidup?

***

Ada beberapa hal yang tak Jena sukai selama hidupnya. Pertama, Matematika. Kedua, menghitung. Ketiga, mempelajari rumus. Keempat, menunggu. Namun, sepertinya ia akan memasukkan nama Andra ke dalam list hal-hal yang tak disukainya jika saja pria itu tak kunjung datang dalam waktu kurang sepuluh menit dari sekarang.

Sudah jam berapa ini? Nyaris satu jam Jena menunggu Andra di pos satpam sekolah karena cowok itu berjanji untuk mengajak Jena pulang dan mentraktir Jena batagor kesukaannya. Sungguh, kalau bukan karena iming-iming traktiran batagor, Jena tak akan mau duduk disini dan menunggu Andra sampai lumutan seperti sekarang.

Jena tahu, Andra sedang ada rapat OSIS dengan anggotanya yang lain. Tapi, apa iya sampai selama ini? Setidaknya Andra harus mengiriminya pesan untuk membuat Jena menunggu dengan tenang. Namun sejak pertemuan mereka di istirahat kedua, sama sekali tak ada pesan masuk yang Jena dapat dari kekasihnya itu.

Benar-benar menyebalkan.

Tolong jangan bilang kalau Andra melupakan janjinya untuk mentraktir Jena batagor didekat rumah!

Iris coklat Jena menatap jam tangan silver yang melingkar dipergelangan tangannya. Sudah lima menit terlewati. Kalau sampai Andra tak menunjukkan batang hidungnya setelah lima menit lagi, ia akan benar-benar marah pada cowok itu. Bisa-bisanya seorang Jena diberi harapan palsu. Jena bukanlah wanita rendahan yang terima diperlakukan seperti itu!

Jena menghela napasnya. Ia merasa kecewa dengan Andra. Tak biasanya kekasihnya itu lelet seperti ini. Andra yang biasanya selalu memprioritaskan Jena diatas kepentingan lain, tak membiarkan gadisnya menunggu barang sedetik. Walaupun Jena sering membuat Andra menunggu sampai cowok itu kesal.

Ah. Inikah yang dinamakan karma?

Baiklah, karma masuk ke dalam list hal-hal yang tak disukainya sekarang.

Sepi. Pekarangan sekolah sudah tak ramai murid-murid sekarang ini. Jena duduk sendirian di pos satpam. Sejenak, pikiran Jena kalut. Raihan menyuruhnya memperbaiki nilai Matematika sedangkan Jena selalu menolak mentah-mentah bila disuguhi hal-hal berbau rumus dan angka. Bagaimana caranya Jena bisa melakukan itu? Aljabar yang dipelajari saat SMP saja tidak dipahaminya, bagaimana dengan materi yang rasanya semakin tak masuk akal yang baru-baru ini Raihan jelaskan?

Memang, sih, Jena tak akan mau melakukan sesuatu merepotkan seperti itu. Namun, dia juga murid normal. Murid yang akan merasa terbebani saat gurunya memberi tugas.

Jena beranjak ke luar pos satpam saat mendengar suara berisik yang ia duga berasal tak jauh dari tempatnya. Rupanya, ada penjaga sekolah yang tengah membawa sesuatu dengan plastik menuju ke arah tempat sampah. Jena menyipitkan matanya. Ada tetesan-tetesan cairan yang menetes dari kantung plastik itu.

Dengan penasaran, Jena mendekati si penjaga sekolah tadi. Dan, ugh. Bau amis langsung menyeruak di indra penciumannya.

"Itu apa, Pak?"

Penjaga sekolah tadi menoleh dengan satu tangan yang menutup hidungnya. "Saya menemukan bangkai kucing di pot tanaman belakang kantor guru."

Kantor guru? Oh, ruang guru.

"Bangkai kucing?" Jena menatap kantung plastik hitam yang dilempar penjaga sekolah itu ke tempat sampah.

"Iya. Saya permisi dulu, ingin membakar sampah-sampah ini," pamit sang penjaga sekolah itu sambil membawa kotak tempat sampah yang isinya nyaris penuh.

Dahi Jena berkerut. Darimana asalnya bangkai kucing tersebut? Kenapa bisa ada bangkai kucing dibelakang ruang guru?  Bagaimana bisa kucing itu mati? Ditambah, darah kucing yang menetes dari plastik tadi itu sepertinya menunjukkan kalau si kucing dimutilasi atau disayat-sayat dengan sadis. Kalau kucing itu mati karena keracunan rasanya tidak mungkin. Keracunan tak akan membuatnya mengeluarkan banyak darah seperti tadi.

Darah, ya?

Bukannya ia juga melihat bercak-bercak darah dibawah meja Pak Raihan tadi?

Tunggu. Kenapa semua ini terasa berhubungan?