"Astaga! Kamu apakan tikusnya!?" pekik seorang wanita berambut panjang sembari menggendong tubuh mungil anak laki-lakinya. Setelah beberapa menit ia meninggalkan bocah itu sendirian untuk membereskan rumah, di menit keempat puluh dirinya menemukan seekor tikus yang mati di depan anaknya.
Anak laki-laki itu mengerjap polos, membuat mamanya menghela napas sabar. "Tak boleh menyakiti hewan, ya. Tidak boleh bermain dengan bangkai," ucapnya lembut sambil merapikan surai hitam anak kesayangannya. Sejak dulu, anaknya memiliki keanehan senang sekali menyiksa hewan. Dan saat ditegur, ia hanya akan mengelak.
"Tapi, Ma. Tikusnya nakal. Dia lari-lari di ruang tamu makanya kubunuh. Nanti dia bisa merusak barang, gigit-gigit barang, lalu--"
Wanita itu menahan mulut anaknya dengan telunjuk. Sambil tersenyum, ia mengatakan, "Iya. Mama paham. Tapi biar Papa saja yang urus itu, sayang."
Bocah laki-lakinya cemberut. Sang Mama terkekeh, lalu berjalan untuk membawa anaknya ke kamar.
Hari sudah malam. Mamanya masih memakai setelan kerja karena belum terlalu lama sampai di rumah. Anak laki-lakinya terbiasa sendiri dan di urus dengan baby sitter. Keadaan rumah cukup normal-normal saja. Suara derap langkah halus dari kaki mungil wanita itu, gumaman merdu yang mengiringi jarak di setiap tangga, hingga lembutnya belaian tangan yang anak laki-laki itu rasakan pada belakang kepalanya.
Tak sulit untuk membuat sang bocah terlelap. Hanya dengan tiga hal sederhana yang membuatnya nyaman tadi, bocah itu bisa langsung tertidur. Belum. Bocah itu belum benar-benar terlelap. Kesadarannya kembali tertarik saat mendengar suara pintu rumah yang di buka kencang. Daun pintunya menghantam tembok hingga menimbulkan suara berdebum. Sang bocah dan Mamanya terkejut.
"Mama antar kamu ke kamar. Kamu tidur, ya, sayang." Wanita itu menengok ke belakang. "Papa baru saja pulang."
Anak laki-lakinya menggeleng. "Mau ketemu Papa," lirihnya pelan. Anak itu memang jarang sekali bertemu dengan ayahnya walau tinggal satu rumah. Ayahnya terlalu sibuk bekerja, sampai sulit meluangkan waktu untuk anaknya.
"Iya, tapi bukan sekarang." Mamanya menidurkan tubuh mungil itu ke atas ranjang. Menyelimuti anaknya, lalu mengecup kening putranya dan meninggalkan kamar.
Dari tempat tidurnya, bocah itu bisa mendengar suara gaduh dari lantai bawah. Mulai dari bentakan kasar, hingga bunyi barang yang di banting keras. Bocah itu terlalu polos jika langsung menuruti perkataan Mamanya begitu saja. Ia merangkak turun dari kasur. Mengabaikan larangan Mamanya yang belum ada jeda satu jam di lontarkan kepadanya.
Pelan tapi pasti, bocah itu membuka pintu kamarnya. berjalan perlahan menuju pegangan tangga, dan mengintip kegaduhan apa yang dilakukan orang tuanya.
Saat itu, Jena yakin si bocah menyesal karena melanggar perintah Mamanya.
"SEMUA INI KARENA KAMU! KARIR SAYA JADI BERANTAKAN BEGITU SAJA!"
"Kenapa salahkan saya!? Kalau kamu tidak berkhianat saya tak mungkin melabrak wanita jalang itu di kantor!"
"DASAR TAK PUNYA OTAK! SAYA TIDAK MUNGKIN SELINGKUH KALAU KAMU BISA MEMENUHI APA YANG SAYA BUTUHKAN!"
"Memangnya apa!? Apa yang kamu butuhkan dari saya!? BILANG! KAMU TAK PERNAH MENGATAKAN APAPUN SEBELUMNYA!"
"BILANG, MAS! BILANG! APA YANG KAMU MAU? APA YANG KAMU BUTUHKAN? SAYA BISA KASIH SEMUANYA! Kamu selingkuh dibelakang saya, apa kamu tak memikirkan anakmu!? Dia masih kecil! Dia juga butuh kamu!"
"ARGH, SIALAN! ANAK ITU URUSAN KAMU! URUSAN SAYA MENCARI NAFKAH!"
"Kata siapa!? Mendidik anak itu berdua! Bukan hanya saya! Tidak usah terlalu menyalahkan saya, dari awal memang kamu yang pengkhianat dan tak mau mengurus anak, kan!?"
PLAK!
PLAK! PLAK! PLAK!
Bocah itu meringis saat melihat apa yang dilakukan ayahnya. Ia menjambak rambutnya kasar, kemudian saat melihat Mamanya tersungkur di lantai, mulutnya berteriak.
Teriakan paling nyaring dan menakutkan yang pernah Jena dengar dari seorang bocah laki-laki. Ayahnya terkejut. Mematung ditempatnya beberapa saat sambil menatap anak laki-lakinya. Sedangkan, bocah itu terlalu syok. Pikirannya kosong sesaat. Matanya menatap nanar pada sang Mama yang pingsan di lantai dengan luka-luka lebam. Ia terduduk, dengan matanya yang mulai menutup perlahan-lahan.
Dan saat itu, perlahan-lahan juga Jena terbangun dari tidurnya.
Mimpi.
Mimpi buruk yang cukup membuat jantungnya berdegup kencang sekaligus ketakutan sendirian. Jena mendudukkan tubuhnya, mengambil segelas air di atas nakas, lalu meminumnya dengan tergesa-gesa.
Jena tak mengerti. Kenapa akhir-akhir ini dia sering mengalami mimpi buruk? Padahal, di waktu-waktu sebelumnya, ia selalu tertidur nyenyak tanpa gangguan.
Ya, sebelum dirinya dipanggil ke ruang guru karena nilai matematika. Sebelum dirinya melihat bercak-bercak darah di bawah meja guru. Dan sebelum ... ia bertemu lebih dalam dengan Raihan.
"Pak Raihan..." Jena bergumam. Apa anak kecil dalam mimpinya tadi itu adalah Raihan?
Sayang sekali, Jena sudah lupa bagaimana rupa si bocah laki-laki itu padahal baru saja terbangun. Dan ini benar-benar aneh. Untuk apa ia memimpikan seorang anak kecil? Masa lalu siapa yang ia lihat? Terlebih lagi, kenapa hal itu sungguh kelam?
Jena yakin kalau perkembangan psikis si bocah akan terganggu. Ia jadi penasaran, apa yang selanjutnya terjadi setelah ayah si bocah menganiaya istrinya sendiri? Sinting. Jena tak bisa membayangkan bagaimana kalau dirinya berada di posisi si bocah.
Bocah itu masih terlalu dini untuk melihat pertengkaran. Masih terlalu kecil untuk mendengar umpatan kasar. Dan masih terlalu polos untuk melihat penganiyaan.
Jena bertanya-tanya. Bagaimana rupa anak kecil itu sekarang? Apa ia nyata? Atau hanya bunga tidurnya saja untuk malam ini?
Suara dentingan jam dari kamar Jena menjawabnya. Sudah pukul dua belas malam. Kata orang-orang, kalau kau bermimpi dan terbangun di antara tengah malam, mimpi itu bisa jadi kenyataan.
Jena memeluk gulingnya. Ia mengambil ponselnya di sebelah bantal. Menyalakannya, kemudian mengirim pesan pada seseorang.
Jena Paramita
Hei. Kau sudah tidur, Jie?
Ah, sudah pasti kalau sepupunya yang berisik itu terlelap tidur. Jihan terlalu feminim dan teratur, tidak seperti Jena yang ugal-ugalan. Ia menghela napas. Satu dentingan notifikasi membuat hipotesisnya tadi terbantahkan.
Jihan Hanmita
Belum
Jena Paramita
Kenapa? Kau sedang menonton
film jorok, ya!?
Jihan Hanmita
SIALAN! MANA MUNGKIN! MENGADA-ADA SAJA KAU!
Jena Paramita
Pfft. Bercanda
Jihan Hanmita
Aku terbangun tadi.
Kau sendiri kenapa?
Jena Paramita
Aku mimpi buruk
Jihan Hanmita
Serius? Tentang apa?
Bagaimana kalau aku ke kamarmu saja.
Supaya lebih enak mengobrol
Jena Paramita
Jangan. Nanti kalau Ayah tahu
bisa marah
Jihan Hanmita
Ah, oke
Jena mengetikkan banyak huruf diponselnya untuk menceritakan secara ringkas tentang mimpinya tadi. Ia sangat merasa janggal. Seperti ada sesuatu hal yang ingin dan harus di bongkar lewat dirinya. Tapi, mengapa harus dirinya?
Jihan Hanmita
Seperti potongan puzzle.
Setiap mimpi burukmu itu
aku yakin mereka berhubungan
Apa kau ingat rupa bocahnya?
Jena Paramita
Tidak. Aku langsung melupakannya
begitu terbangun. Yang ku ingat hanyalah rambut hitam lebatnya. Dengan dagu yang mungkin lancip
... ah, entahlah
tidak ingat.
Jihan Hanmita
Ingat-ingatlah lagi! Itu akan menjadi sebuah jawaban
Jena menutup ponselnya setelah membalas singkat pesan Jihan yang terakhir. Ia menatap langit-langit kamar. Memaksakan otaknya untuk kembali mengingat bagaimana rupa si bocah itu.
Entahlah. Sebelumnya Jena tak pernah memaksakan diri. Dan untuk kali ini, dia melakukan hal yang sejak dulu di pantangnya itu. Jena yakin, anak kecil itu pasti butuh bantuan. Tidak ada anak yang baik-baik saja saat menyaksikan pertengkaran orang tuanya. Jena harap, anak kecil itu tidak mematahkan sayapnya sendiri untuk terbang tinggi.