Parfum maskulin khas pria dewasa sudah membayangi aroma di sekitar jangkauan tubuhnya. Kemeja putih dengan celana bahan hitam sudah melekat rapih menutupi sebagian kulitnya yang memang tak boleh terekspos di muka umum. Tangan kekarnya mencolek sedikit gel pomade untuk di usapkan ke rambut hitam legamnya.
Raihan, sudah bersiap untuk mengunjungi rumah Jena.
Jenaㅡsatu-satunya murid yang sangat bermasalah pada mata pelajaran Matematika yang ia tekuni sebagai pengajar itu selalu membuatnya kesal hampir setiap waktu. Suara gugupnya, raut wajah sok memelasnya, lirihannya, senyum kikukㅡoh, entah sejak kapan ingatan-ingatan menjijikan itu menjadi terekam jelas di otaknya.
Raihan tak menyukai gadis pembuat masalah seperti Jena. Tak hanya membuat masalah, Jena juga enggan untuk memperbaiki kesalahannya. Contoh konkretnya ialah, nilai Matematikanya yang anjlok.
Raihan sudah beberapa kali menyuruh Jena untuk belajar lebih giat. Memperbaiki setiap nilai-nilai rendahnya yang selalu berada di bawah nilai Kriteria Ketuntasan Minimal, memahami materi yang sudah di jelaskan olehnya sampai mulut berbusa di depan kelas, mengerjakan ulangan dan tugas dengan jujur serta konsekuen. Tapi Jena, memilih untuk mengabaikan itu semua.
Rolex silver dipasangkan pada pergelangan tangan kiri putihnya. Tas kerja berwarna hitam sudah disiapkan pemiliknya sejak tadi pagi. Raihan memang seperti ini. Untuk urusan pekerjaan, ia harus berpenampilan formal dan bersikap seprofesional mungkin. Terdengar sedikit berlebihan memang, tapi itulah kenyataannya.
Ia benci dengan seseorang yang merendahkan dirinya. Dan Jena, adalah orang yang membuat dirinya rendah. Predikat 'guru pencetak murid Matematika' yang telah di cap padanya bisa langsung menghilang karena adanya murid seperti Jena. Jena, benar-benar meresahkan.
Raihan tahu kalau Jena tak akan mau mengikuti usulannya untuk terjerat dalam les privat Matematika. Ia tahu kalau Jena adalah murid keras kepala yang bersikukuh pada pendiriannya. Ia sudah memprediksi, Jena pasti tidak akan berada di rumah saat dirinya sampai di kediaman keluarga Paramita itu.
Tepat dua puluh lima menit. Kini pantofel hitam Raihan sudah berpijak di depan pintu rumah keluarga Paramita. Tak perlu berdiam diri, Raihan langsung mengetukan buku-buku jari tangannya pada kayu tebal yang berfungsi sebagai jalan keluar-masuknya orang-orang. Tiga ketukan, rasanya sudah cukup bagi Raihan.
Raihan membenarkan posisi bahunya sejenak. Berdeham pelan, sembari melemaskan otot-otot sekitaran lehernya. Ia menaruh sorot teduh, nyaman, namun tegas dan tajam dalam manik matanya. Telinga nya bisa mendengar suara langkah kaki dari dalam rumah. Mengingat waktu sekarang yang masih terbilang pagi, dapat di pastikan akan ada seorang wanita dengan celemek di tubuhnya yang muncul di balik pintu dalam hitungan ketiga.
Satu ...
Dua ...
Tiga ...
Cklek.
"Ah! Anda sedang mencari siapa, Tuan?"
Ramah. Maka Raihan menyunggingkan seulas senyum kecil. "Saya Raihan, guru Matematika Jena di sekolah."
"Oh? Mari masuk dulu. Saya akan membuatkan minuman."
"Tidak usah repot-repot."
"Tak apa. Silahkan."
Nyonya Paramita. Wanita paruh baya yang menjadi ibu rumah tangga. Ia sangat ramah. Pasti sedikit sulit untuknya karena memiliki anak semata wayang seperti Jena. Hal itu, terpancar dari sorotan matanya yang terkejut namun berusaha memaklumi saat ia mengetahui kalau Raihan adalah guru Matematika anaknya. Sepertinya, keluarga kecil ini agak terbiasa mendapati tamu yang bernotabene guru dari anak semata wayang mereka.
Kaki Raihan melangkah masuk, melewati celah yang di berikan Ibu satu anak tersebut. Dirinya digiring menuju ruang tamu dimana di ruangan itu terdapat Tuan Paramita yang tengah bersantai. Raihan bisa melihat kalau pria yang mungkin sepuluh tahun lebih tua darinya itu tengah asyik menonton film, namun kemudian menghentikan aktivitasnya dan menatap Raihan. Sedikit bingung, tetapi tetap mengukir senyum ramah di sudut bibirnya.
"Silahkan duduk," ucapnya. Nyonya Paramita pamit untuk pergi ke dapur. Maka, tersisalah dua orang pria dewasa di ruang tamu ini.
Hidung mancung Raihan bisa mencium dengan jelas wangi khas rumah modern ini. Lavender. Ayah dan Ibu Jena pasti sengaja menanam bunga lavender yang ditaruh di sudut-sudut ruangan karena anak gadis mereka membenci nyamuk. Mata Raihan bergulir, mulai mendudukkan bokongnya ke atas sofa coklat yang harganya sudah di pastikan mahal.
"Begini. Sebelumnya maaf mengganggu waktu bapak. Saya Raihan, guru Matematika Jena." Topik pembicaraan di buka. Raihan memperkenalkan dirinya dengan sopan. Tuan Paramita mendengarkan dengan seksama walau sebenarnya dalam hati ia sudah menebak kalau tujuan Raihan kesini akan membahas nilai anaknya, Jena.
"Mungkin bapak sudah tahu kalau nilai Matematika Jena sering anjlok. Tapi, satu hal yang saya pikirkan, mengapa anak itu tak memperbaiki nilainya?"
Tuan Paramita berdeham. Ia menatap Raihan yang memberinya tatapan bertanya-tanya. Dengan tenang, Tirta menjelaskan. "Saya Tirta, Ayah Jena. Jena itu anak yang keras kepala. Begitu teguh dengan pendiriannya. Dia hanya melakukan apa yang ia mau. Saya juga sampai tidak bisa membujuknya untuk melakukan sesuatu di luar zona nyamannya.
"Jena tak pernah bisa mengerti Matematika. Lebih tepatnya, tak mau dan tak ingin. Baginya Matematika itu rumit. Saya dan istri saya sudah beratus kali membujuknya agar bisa memperoleh nilai yang baik, namun semuanya sia-sia," tuturnya. Saat itu, Nyonya Paramita datang dengan secangkir kopi hitam panas dan sepiring kue bolu. Meletakkannya di depan Raihan, kemudian pamit undur diri.
Raihan, lelaki yang tadi mengajukan pertanyaan itu mengangguk paham. Ia sudah menduga hal itu. Ia juga tahu kalau Jena pasti sedang melarikan diri sekarang.
"Tujuan saya kesini sebenarnya adalah ingin meminta izin untuk mengadakan les privat. Saya akan mengajar Jena setiap seminggu sekali dengan waktu tiga jam pelajaran, di rumah ini ataupun tempat lain. Nilai Jena benar-benar anjlok. Saya tak bisa menorehkan nilai merah itu ke dalam raportnya, itu akan berpengaruh untuk ke depannya." Raihan menunjukkan sorot otoriternya yang di sembunyikan dalam tatapan ketulusan. "Mau bagaimanapun, manusia akan selalu di tuntut melakukan berbagai hal, dan mau tak mau kita harus bisa. Kewajiban Jena adalah belajar, kalau dia di biarkan seperti ini, lama kelamaan Jena akan tak memiliki rasa tanggung jawab."
Tirta menghela napasnya. Ini sudah yang ke sekian kali guru Matematika datang ke rumah dan memberikan usulan-usulan yang baik untuk anaknya. Namun, untuk yang ke sekian kalinya juga Jena pasti akan menolak mentah-mentah usulan itu. Anaknya tak pernah suka di paksa. Dan Tirta tak bisa melakukan hal yang lebih dari itu untuk anaknya. Lagipula, belum pernah ada guru yang benar-benar bisa merubah Jena sedikitpun dari pendiriannya; Matematika itu merepotkan. Tirta tak ingin membuat Raihan menyia-nyiakan waktunya hanya untuk mengajari anak semata wayangnya. Jadi, untuk ituㅡ
"Saya yakin, saya bisa mengajar Jena. Saya tak mungkin membiarkan ada satu murid yang merasa bodoh hanya karena dirinya di selimuti rasa malas. Maka dari itu, saya mohon izinnya. Jena adalah anak yang pintar, tapi jika kepintarannya di abaikan, itu hanya akan merugikan dirinya sendiri." Raihan, memotong cabang yang berkecamuk di dalam kepala Tirta. Sudah ia duga, Tirta pasti akan berniat untuk menolaknya. Tapi dirinya tak pernah menerima penolakan. Murid seperti Jena memang tak bisa di biarkan.
Dengan ragu, Tirta menatap Raihan. Sorotnya menunjukkan kebimbangan sambil meneliti sosok seorang Raihan. Ia juga tak mau kalau putrinya menjadi orang yang selalu lari dari masalah, keluarga Paramita tak pernah mengajarkan yang seperti itu pada keturunannya.
Kalau begitu, mari kita lihat. Seberapa besar ambisius Raihan untuk mengubah putrinya, mengajari Jena sampai ia pintar Matematika yang rasa-rasanya itu adalah hal mustahil.
"Oke. Saya mengizinkan bapak untuk mengadakan les privat dengan Jena."
Jena yang saat itu baru saja sampai kerumahnya hanya bisa mematung di ambang pintu rumah. Mulutnya terbuka. Tenggorokannya terasa kering dan tercekat, padahal sebelumnya sudah diisi oleh es krim manis. Netranya, menatap tak percaya pada sosok yang duduk di salah satu sofa rumahnya.
Raihan menoleh. Bibirnya menyunggingkan senyum miring.
"Terima kasih banyak, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik untuk Jena," ucapnya setelah melirik sekilas pada Jena tadi.
Sialan. Sial! Sial! Sial!
Raihan memang bencana dalam hidup Jena.
"Jen, kenapㅡoh my god!" Dari belakang Jena, Jihan menyusup masuk ke dalam rumah dan memekik pelan. Ia tak sengaja melihat Raihan. "Jen ... itu siapa? Tampan sekali!!!"
Dan disitu, Jena menahan agar tidak melayangkan tinjunya pada saudara sepupunya yang tersayang itu.