Chereads / My Psychopath Teacher / Chapter 8 - Mimpi Buruk

Chapter 8 - Mimpi Buruk

Amis ...

"Hoek!" Jena memuntahkan isi perutnya seketika begitu hidung mancungnya mencium bau amis yang sangat menganggu. Tak hanya amis, tapi juga berbau anyir. Seperti daging busuk dan darah yang dibiarkan tergenang.

Tapi ... bukankah apa yang Jena lihat itu memanglah daging busuk dan darah yang dibiarkan tergenang?

Dengan susah payah, Jena menelan kembali hasil cernaan makanannya yang sudah sampai ke tenggorokan. Tak hanya berhenti disitu, mulutnya langsung meringis begitu menyadari kalau tangan dan kakinya diikat kencang pada sebuah kursi yang di dudukinya.

Sebenarnya, dia ada dimana? Ruangan ini begitu gelap dan pengap. Baunya membuat siapa saja bisa teracuni seketika. Apa Jena berada di tempat penyembelihan daging hewan? Tapi, siapa yang mengikatnya seperti seorang sanderaan begini?

Perutnya mual, pandangan matanya sedikit memburam karena kepalanya yang mulai pusing. Bau disekitarnya membuat Jena mabuk dan hampir pingsan.

Namun, saat kesadarannya sudah di ambang batas, suara berdebum kencang disebelah kanan Jena membuat gadis itu kembali mendapatkan fokus seutuhnya. Kepalanya menoleh, matanya memicing, hidungnya berusaha mengabaikan bau anyir yang sejak tadi bergerayang diantara pasokan oksigen dan karbondioksida. Ternyata, ada sebilah pintu yang terbuka sedikit. Cahaya dari balik pintu tersebut menyelinap masuk ke dalam ruangan ini. Menerangi sesuatu yang tengah bergerak-gerak disebelah kanan Jena.

Seseorang. Dengan jubah hitam dan kapak mengkilap. Orang itu baru saja melempar sebuah karung yang berisi ... mayat?

Kini, lagi-lagi Jena menahan sesuatu yang ingin memberontak dalam dirinya. Sehabis muntah dan pusing, ia juga harus menahan pekikannya sekarang. Bagaimana tidak? Dari dalam karung tersebut, sebuah kepala berlumuran darah muncul setelah orang tadi membuka ikatan talinya.

Jena ... berada dalam bahaya.

Ia bisa saja berteriak minta tolong sekarang. Namun, dirinya tahu kalau tak akan ada yang bisa mendengar suaranya kecuali orang berjubah disebelahnya ini. Lagipula, apa yang dilihatnya sekarang sudah menjelaskan kalau orang itu adalah psikopat. Maka dari itu, Jena memilih diam sambil mengawasi gerak-gerik Si psikopat sialan ini.

Sadar diawasi, orang berjubah hitam itu melirik Jena. Wajahnya tidak tertutupi masker, malah tercerahkan oleh cahaya yang masuk dari sebilah pintu. Jena mengenali orang itu.

Hidung mancungnya ... rahang tegasnya ... alis tebalnya ...

"P-pak Raihan...?"

Raihan mengukir senyum. Senyum mengerikan yang mungkin tak akan bisa menghilang dari alam bawah sadar Jena saat itu. Keringatnya mengucur deras, jantungnya terpompa kencang seperti hilang kendali, bibirnya mengering bersamaan dengan air mukanya yang memucat.

"Aku tak akan membunuh serangga jika serangga itu menurut padaku."

Raihan bangkit. Mendekati Jena dengan kapak mengkilapnya danㅡ

"AAAAAA!!!"

"AAAAAA!!!"

Matanya terbuka. Mendapati sesosok gadis berambut sebahu dengan mulut yang menganga.

"SIALAN, BIKIN KAGET SAJA!" maki Jihan kasar sembari memberikan tatapan nyalang pada Jena, yang baru saja terbangun dari mimpi buruknya.

Tadi itu ... hanya mimpi?

Harusnya Jena berterima kasih pada Jihan karena sudah berjasa membangunkannya dari mimpi buruk. Namun, kata-kata yang di keluarkan Jena sangat berbanding terbalik dengan hal itu.

"Ugh, kau benar-benar menghancurkan tidur nyenyakku," sungut Jena tak peduli seraya memunggungi sepupu perempuannya yang meresahkan itu. Dirinya terkejut, panik juga mendominasi perasaannya begitu terbangun tadi. Namun, untuk sekedar duduk dan menetralkan napasnya yang terengah saja rasanya sangat malas.

Jantung Jena masih berdetak cepat. Tapi Jena memilih untuk mengabaikannya dan berusaha melupakan mimpi buruknya tadi dengan kembali terlelap. Namun, karena keberadaan Jihan di kamarnya dengan mata gadis itu yang terus menusuk jiwa raga Jena untuk bangun, maka Jena kalah.

Perlahan tubuh Jena meringsut duduk. Mata monolidnya menatap malas pada Jihan yang sekarang masih memberikan tatapan tajam menusuk jiwa raganya. Kebiasaan. Pasti Nyonya Paramita yang menyuruh gadis ini untuk membangunkan anak semata wayangnya dari rutinitas favoritnya.

"Sudah setengah jam aku membangunkanmu. Kenapa tidurmu lelap sekali, sih? Padahal hari-harimu tidak di isi dengan aktivitas yang bermanfaat," oceh Jihan seperti biasa. Sepupu dari tunggal Paramita itu mengenakan seragam ekstrakulikulernya yang tak lain adalah cheerleader. Hanya dengan melihat seragamnya, Jena sudah menguap malas membayangkan betapa risihnya ia kalau menjadi Jihan.

Memakai baju crop tanpa lengan dengan rok diatas paha lalu menari riang sambil bersorak ria seperti orang gilaㅡitu yang di maksud Jihan aktivitas bermanfaat? Yang benar saja!

"Setidaknya aku tak perlu repot-repot membawa handuk untuk mengelap ketiak yang basah setelah latihan."

Wajah Jihan memerah. "Sembarangan! Ketiak basah tak harus di lap tahu!"

"Hiiy, jorok." Jena mendelik jijik, yang sebenarnya di lakukan hanya untuk menggoda Jihan. "Bisa-bisanya kau berjalan santai dengan keringat yang mengucur dari ketiak."

"Apa-apaan? Keringatku tidak mengucur dari ketiak tahu!" sergah Jihan dengan rautnya yang kesal karena di ejek. Memang, memiliki sepupu seperti Jena adalah cobaan hidup. Hanya orang bermental baja yang bisa kuat menjadi sepupu Jena, Jihan contohnya.

Bagaimana tidak? Gadis itu selalu melontarkan kata-kata yang bisa membuatmu mengalami mental break down, insecurity, atau bahkan anxiety. Mulut gadis itu seperti Jahannam yang siap membakarmu bulat-bulat saat kau memiliki dosa padanya.

Jena hanya tertawa puas ketika mendapati respon Jihan yang sesuai dugaan. Tapi, hal itu tak berlangsung lama. Ia mengusap matanya beberapa kali. Mengiyakan perkataan Jihan yang menyuruhnya untuk mandi karena sekarang sudah jam enam pagi.

"Jadi kau datang kesini pagi-pagi hanya untuk membangunkanku?"

Jihan mengambil tempat duduk di kursi meja belajar. "Tentu saja."

"Dasar kurang kerjaan. Kalau aku jadi kau, aku lebih memilih untuk menyantap sarapan dengan khidmat di meja makan," cerca Jena tak tahu diri.

Jihan mendelik. "Dasar tak tahu terima kasih! Harusnya kau berlutut sembari menyerahkan lima potong es krim choco mint padaku karena pahlawan pagi-pagi buta mu ini sudah berhasil membangunkanmu dari mimpi buruk."

Jena tertegun. Ia menatap Jihan yang sedang menaikkan kaos kaki putihnya sampai ke dengkul. "Bagaimana kau tahu?"

"Aish. Tidurmu sangat gelisah. Hal itu membuatku bingung. Namun tiba-tiba kau berteriak dan membuatku terkejut," tuturnya. Mengingat-ingat kembali kejadian beberapa saat lalu. "Aku sudah menggoyang-goyangkan tubuhmu sebelumnya. Tapi yang ku dapati hanya matamu yang semakin merengut."

Jena membulatkan mulutnya. Memang, mimpinya yang tadi itu sangat seram. Apalagi ... mimpinya itu berhubungan dengan Raihan.

"Jie, apa kau pernah mimpi buruk?"

"Sepertinya, iya."

"Apa kau pernah memimpikan seseorang yang kau kenal membunuh orang lain?"

Dahi Jihan berkerut. Ia menatap Jena dengan pandangan aneh. "Sejauh ini kurasa belum. Apa kau mengalaminya tadi?"

Jena mengangguk. "Aku bermimpi, kalau guru Matematika ku itu ternyata psikopat."

"Kau gila!?" pekik Jihan heboh. "Setampan itu kau bilang psikopat? Astaga, Jena ... mimpimu itu terlalu nista."

"Kenapa malah memaki ku!? Aku saja tidak tahu kenapa aku bisa memimpikan hal itu. Lagipula, setampan apapun beliau, di mataku itu sama saja. Guru Matematika adalah guru Matematika, yang artinya sama dengan me-re-pot-kan," balas Jena sengit. Tak habis pikir dengan sepupunya yang malah mengagung-agungkan ketampanan Raihan. Padahal, kalau di lihat-lihat umur mereka sangat terlampau jauh dengan Raihan yang sudah menginjak kepala tiga. Apa Jihan menggemari ketampanan seorang om-om?

"Ck. Pikiranmu itu sangat sempit."

"Kau yang sempit! Bisa-bisanya seorang gadis memuja ketampanan om-om."

"Hei, tak hanya diriku yang melakukannya! Aku berani bertaruh kalau seluruh siswi di sekolahmu juga melakukan hal yang sama pada Pak Raihan."

"Sudahlah." Jena mengakhiri. Lelah dengan pertengkaran tak jelas yang pasti tak akan menemukan titik temu. "Aku mau mandi."

"Sana."

Jena bangkit. Memasuki kamar mandinya setelah membawa setelan seragam yang akan di pakainya hari ini. Beberapa saat hening, hanya ada suara gemericik air yang samar-samar di kamar Jena.

Dalam keheningan, Jihan bertanya.

"Jen, Pak Raihan sudah berkeluarga?"

"Setahuku belum," sahut Jena dari dalam kamar mandi.

"Kenapa?"

"Mana ku tahu."

"Apa dia pernah terlihat mendekati lawan jenisnya?"

Jena diam sejenak. Mengingat-ingat kembali apa dia pernah menemukan seorang Raihan mendekati wanita yang seumuran atau pernah mendengar gosip kalau Raihan pernah berkencan.

"Kurasa tidak."

"Apa kau merasa ada yang aneh dengan sikapnya?" Kini, Jihan bertanya lebih intens. Entah kenapa dirinya ikut terpikirkan dengan mimpi buruk Jena tadi.

"Kau tahu? Aku sangat malas untuk berpikir sekarang," jawab Jena yang membuat Jihan kembali kesal.

"Terserahlah apa katamu. Tapi kurasa, kau harus berhati-hati dengan guru Matematika mu itu. Mimpi bisa saja menjadi sebuah pertanda, 'kan?"

Pertanda, ya?

Memangnya pertanda seperti apa yang Jihan maksud?