Chereads / My Psychopath Teacher / Chapter 9 - Aneh

Chapter 9 - Aneh

Putih.

Bau ruangan yang terkesan hampa dan dingin.

Terang, dengan suasana yang gelap.

Jena akan selalu mengingat tiga hal itu saat kakinya menginjakkan rumah ini besok-besok. Nyatanya, sekeras apapun dia menghindar dari Raihan, pria tiga puluh tahun itu akan tetap menariknya ke dalam jurang pikiran pemeras otak yang sering disebut sebagai 'berhitung'.

Jena tak tahu mengapa kegiatan belajar-mengajarnya dilakukan di rumah Raihan? Yang ia tahu, ia sudah terlalu malas untuk berdebat waktu Raihan menetapkan tempat untuk dirinya mengajari Jena Matematika tadi siang. 

Mata Jena memencar.

Jangan pegang apapun.

Suara Raihan menggema di dalam pikirannya begitu matanya melihat sebuah pajangan kepala rusa di dinding ruang tamu. Pria itu meninggalkan Jena sebentar untuk menyiapkan sesuatu yang Jena pikir adalah jamuan untuk dirinya sebagai tamu. Lagi, Jena memutar tubuhnya untuk melihat-lihat pajangan berbentuk hewan yang Raihan tata.

"Seram juga koleksi-koleksinya." Jena menatap sebuah kupu-kupu yang diawetkan di dalam botol kaca. "Seperti psikopat," gumamnya. Dengan bahu yang bergidik ngeri. 

Manik mata monolidnya terus mengedar di seluruh ruangan ini. Sejak tadi yang ia temukan hanyalah pajangan-pajangan hewan yang diawetkan. Kemana foto keluarga Raihan?

Apa karena dia tinggal sendiri disini jadi foto keluarga itu tidak ada? Jujur saja, Jena ingin tahu. Bagaimana rupa anggota keluarga lain dari gurunya yang sangat tampan namun aneh ini?

"Cari apa?" celetuk Raihan. Suara beratnya berdengung di seluruh isi ruang tamu. Tangannya membawa sebuah nampan berisi minuman dan camilan. Setelan kerjanya sudah berganti dengan kaus oblong hitam dan celana training. Tampan dan kharismanya seketika menguar saat mata Jena menangkap wajah Raihan yang semakin indah karena rambutnya yang agak berantakan.

Jena tersentak. Ia menetralkan sikapnya dan menggeleng. "Tidak ada. Hanya lihat-lihat."

"Jangan lihat-lihat," ucap Raihan sembari melanjutkan langkahnya ke arah sofa, diikuti Jena.

"Tapi mataku masih berfungsi."

"Cukup lihat apa yang kau lihat. Tak perlu penasaran dengan apa yang tidak kau lihat. Suatu saat kau akan menyesal," balas Raihan. Membuat Jena bungkam seribu bahasa. Apa maksudnya? Apa Raihan tahu kalau Jena mencurigainya?

Jena duduk diseberang Raihan, melirik pria yang sedang merapihkan kertas di atas meja itu takut-takut.

"Bisa kita mulai?" Jena mengangguk. Lalu mengeluarkan buku beserta alat tulisnya. 

"Sejauh mana kau tahu Matematika?" tanya Raihan.

"Pertambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian."

"Hanya itu?" Jena mengangguk.

Raihan menghela napasnya. Ia menggaruk pipinya yang tak gatal dan mencari sebuah kertas yang berisi soal di tumpukkan. "Coba kerjakan ini." Raihan menyodorkan selembaran kertas putih itu.

Jena hanya melihatnya sekilas. Mendorong kembali kertas soal itu ke Raihan dan berkata, "Aku tak bisa."

"Kau belum membaca soalnya."

"Dan aku yakin aku tak bisa."

"Kau belum mencobanya."

"Tapi aku benar-benar tak bisa."

"Coba baca dahulu."

"Tidak paham."

"Nanti saya ajarkan."

"Tidak mengerti."

"Coba dahulu."

"Tidak."

"Jena..."

"Aku tak b--"

"COBA DAHULU!" bentak Raihan. Membuat Jena tersentak dan takut seketika. Seumur hidup tak pernah ada yang membentaknya, bahkan orang tuanya sekalipun.

"Baca soalnya. Kerjakan. Tanyakan apa yang tak kau mengerti, nanti saya ajarkan. Susah?" ujar Raihan dengan penuh penekanan. "Jangan cengeng. Aku tak akan membunuh serangga jika serangga itu menurut padaku."

Deg!

Kalimatnya ... kenapa sama persis seperti kalimat yang diucapkan Raihan dalam mimpi Jena waktu itu?

Seperti kalimat itu sudah biasa Raihan katakan. Seperti kalimat itu sudah biasa menjadi ancaman untuk orang yang bagi Raihan mengesalkan. Seperti kalimat itu adalah ucapan yang tak bisa diganggu gugat dan Raihan akan benar-benar melakukannya.

Jantung Jena berdegup kencang. Bayangan saat Raihan menyunggingkan senyum miring di mimpinya kembali terekam. Otak Jena menangkap kembali kejadian mimpinya saat pria itu melempar sebuah karung berisi mayat dan membuka tali karung itu sehingga menampakkan sosok mayat dengan kepala yang berdarah-darah.

"Kau ... pembunuh?" Entah kenapa, kalimat itu meluncur seketika dari bibir tipisnya. Jena sendiri kaget, namun ia memilih untuk diam dan menunggu Raihan menjawabnya.

Raihan menatap manik mata Jena seketika. Kelereng coklatnya mengunci tatapan Jena beberapa saat. Terdiam untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Tentu saja tidak."

Jena menelan salivanya. Pupil matanya bergetar-getar. Seram. Tatapan mata apa yang tadi Jena lihat? Kosong, namun tajam dan mengikat.

"Hei. Kau tahu tentang kucing yang mati di pot tanaman belakang ruang guru?" tanya Raihan tiba-tiba. Jena mengangguk, masih menatap Raihan takut-takut.

"Saya lihat kucing kecil itu tertabrak oleh motor guru lain. Alih-alih membuangnya, guru itu malah membiarkan kucingnya yang sudah terpental ke dalam pot tanaman," jelas Raihan.

Apa yang Raihan bicarakan? Mengapa ia berkata seperti paham kalau Jena memang mengetahui hal itu? Kenapa Raihan menjelaskannya? Kenapa juga Raihan meremas ujung kaosnya kuat-kuat dari balik meja?

Aneh. Jena tahu ada yang tak beres.

"Bisa kita lanjutkan? Aku akan mencobanya." Namun Jena memilih untuk tidak berpikir yang aneh-aneh. Apa yang kamu pikirkan bisa saja menjadi kenyataan. Maka dari itu Jena membuang pikiran buruknya jauh-jauh.

Jena menatap Raihan yang berdeham. Mungkin memang kepribadian Raihan yang aneh. Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan.

===

Jena sudah bersiap untuk tidur. Piyama berwarna biru langit dengan motif beruang Teddy sudah melekat pada tubuhnya. Bagi Jena, tak ada baju yang lebih menarik selain piyama tidur.

Gadis itu mengumpulkan rambut sebahunya dan menyampirkannya di bahu kanan, membuat leher jenjang sebelah kirinya terpampang indah. Tangan mungilnya mengambil sebuah sound speaker di atas meja belajar dan menghubungkan USB flash drive yang berisi lagu-lagu rock kesukaannya ke sambungan sound speaker itu.

Musik mulai mengalun. Baru awal mulai saja alunan nadanya sudah jedag-jedug tidak karuan. Namun, Jena menikmatinya. Ia ikut menyanyi tatkala sebuah lirik yang di nyanyikan dengan tarikan urat leher itu menggema. Sudah malam, tapi Jena malah membuat kebisingan di kamarnya.

Ayah dan Ibunya tidak di rumah. Sedang pergi ke luar untuk mencari tukang servis AC yang masih buka karena AC di kamar mereka rusak dan Ayahnya tidak bisa tidur tanpa suhu yang sejuk.

Musik sudah sampai setengah jalan. Jena masih tetap bernyanyi kencang dengan bebas. Maklum, dia jarang seperti ini di rumah walaupun ia menyukainya. Nyonya Paramita bisa membuang seluruh barang-barang elektronik musiknya jika Jena ketahuan melakukan itu.

Brak! Brak! Brak!

Suara Jena beserta sang penyanyi masih mendominasi ruang tidur ternyaman ini.

Brak! Brak! Brak!

Lagi, suara gertakan itu teredam oleh liarnya dentuman drum dan gitar listrik.

Brak! Brak! DUAK!!!

Bum!

Pintu kamar Jena terbuka seketika. Jena terkejut, langsung mematikan sound speakernya dan menatap manusia siluman Gorila yang tiba-tiba mendobrak pintu kamarnya dengan kekuatan bulan.

"Hei! Apa yang kau lakukan?! Kau merusak pintu kamarku!"

"Dan kau merusak indera pendengaranku!!!" bentak Jihan emosi seraya melempar bantal gulingnya ke wajah Jena. Jena mengaduh.

"Kenapa tak minta aku matikan musiknya dengan baik-baik?! Kau pikir aku tak bisa mendengar!?"

"AKU TAK AKAN MENDOBRAK PINTUMU KALAU KAU SUDAH MEMBUKAKAN PINTU YANG KU KETUK SEJAK TADI!" balas Jihan emosi. Ia mendekati Jena dan memukuli sepupunya itu dengan sarkas. Bukannya takut, Jena malah tertawa kencang seiring umpatan-umpatan Jihan yang terlontar karenanya.

"Ugh! Kau sangat mengesalkan! Untuk apa malam-malam membuat bising!? Ganggu orang mau tidur saja!" omel Jihan tak tertahankan. Ia sudah mengantuk sejak tadi siang di sekolah namun tak bisa tidur karena terhalau tugas dan kegiatan ekstrakulikulernya.

Ayah Jihan--Paman Han--sedang pergi ke luar kota bersama istrinya untuk menengok peternakan ayam yang mereka bangun di kota sebelah. Maka dari itu, Jihan menginap di rumah Jena beberapa hari sampai orang tuanya kembali pulang. Tapi, harapan kalau Jihan bisa dengan tenang beristirahat di rumah sepupunya adalah bohong. Nyatanya Jena hanya akan mengganggu aktivitas tersederhananya sekecil apapun, tidur malam misalnya.

Jena memohon ampun, "Sudah! Sudah! Cukup. Aku minta maaf! Janji sehabis ini akan ikut tidur!"

"Huh! Awas saja kau. Nanti ku adukan ke Paman supaya di hukum!"

"Wuuu. Tukang ngadu!" sorak Jena pada sepupunya yang di balas cibiran.

Jihan berdiri, mengambil bantal gulingnya dan pamit untuk kembali ke kamarnya. Dia sudah mengantuk, dan Jena menghancurkan mood tidurnya.

"Dadah! Selamat malam, Jihan. Semoga mimpir buruk!" ucap Jena seraya menutup pintu kamarnya sambil terkekeh. Jihan tak menanggapi perkataan laknat itu. "Untung engselnya tidak ada yang lepas," gumam Jena.

Kau pernah dengar kalau doa-doa yang buruk itu akan berbalik arah menuju ke diri sendiri? Jena Paramita, sepupu dari Jihan Hanmita itu menyesali perkataannya sendiri.

Malamnya, Jena bermimpi. Mimpi buruk yang tak ingin ia ingat selamanya karena mimpi itu seperti menceritakan sesuatu yang kelam. Dimana cerita itu menjadi alasan, sebuah kepompong gagal berubah menjadi kupu-kupu yang indah.