"Akhir-akhir ini ada yang aneh."
Jihan menoleh. "Apa?"
"Aku merasa ada sesuatu yang harus kulakukan. Tapi aku sendiri tak tahu apa itu?"
"Belajar Matematika?"
"Ck. Tak penting."
"Mempelajari operasi menghitung suku banyak seperti yang sedang kulakukan?"
"Bab itu belum diterangkan oleh guruku."
"Memperbaiki nilai-nilai Matematika harianmu?"
Jena berdecak. "Ayolah. Ada yang lebih penting dari yang kau sebutkan itu."
"Jadi, menurutmu pelajaran Matematika tak begitu penting?" Jihan berucap sinis dari meja belajar Jena yang sekarang sedang ditempatinya.
"Begitulah."
"Kau harus diobati."
Jena memutar bola matanya malas. "Berbicara denganmu memang tak akan pernah menemukan jalan keluar."
Jihan berdecih. Jena kembali tiduran nyaman di atas ranjangnya. Entah kenapa di hari minggu ini hatinya mengatakan kalau ada sesuatu yang harus Jena lakukan. Tapi apa? Jena tak tahu.
Hm, mungkin lebih tepatnya dia tidak ingat. Apa Jena memiliki janji dengan temannya?
Tangan mungil Jena terulur untuk mengambil ponselnya di atas nakas. Sepertinya ia harus menanyakan hal ini agar perasaannya bisa lebih tenang. Kalau hanya diam, Jena malah semakin bingung.
To : Andra
From : Jena
Hei, apa kita punya janji hari ini?
Jena menekan tombol kirim. Kemudian beralih mengirim pesan pada Anne. Biasanya, teman dekatnya itu selalu ingat tentang agenda kesehariannya kalau dirinya menceritakan itu.
To : Anne
From : Jena
Kau ingat kalau ada sesuatu yang harus kulakukan hari ini?
Terkirim. Jena melepas pegangannya pada ponsel itu dan memeluk guling. Hendak tertidur sebentar sambil menunggu Andra dan Anne membalas pesannya.
Di sekolah, Jena tak terlalu dekat dengan orang lain selain Andra dan Anne. Dirinya adalah tipe orang yang tak terlalu peduli dengan sekitarnya, kecuali kalau sedang butuh atau bosan. Baginya, memiliki banyak teman itu tak selalu keren. Cukup kenal nama saja, tak perlu harus setiap hari bermain dengan mereka. Karena saat kau bahagia, mereka semua ada. Namun disaat kau bersedih, mereka semua akan hilang. Lenyap bagai ditelan bumi. Dan saat itu terjadi, kosakata 'teman' sudah tak ada artinya lagi.
Ponsel Jena berdenting. Ia langsung membalik tubuhnya dan melihat balasan pesan singkat itu.
To : Jena
From : Anne
Bukankah kemarin kau bilang kalau hari ini Pak Raihan akan berkunjung ke rumahmu untuk melakukan les privat Matematika?
Mata Jena membola. Ia lantas menepuk jidatnya beberapa kali dengan panik. Astaga, kenapa ia bisa lupa? Pantas saja tiba-tiba pagi ini tubuhnya sudah bergerak untuk mandi.
Tidak. Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Jena bisa tewas kalau setiap minggu harus belajar Matematika selama tiga jam. Dua hari lalu, Raihan memang menemuinya dan mengusul untuk mengadakan les privat agar bisa mengajari Jena dengan lebih intensif. Namun, Jena menolaknya. Sementara Raihan tak menerima penolakan. Guru Matematika yang merepotkan itu mengancam akan memanggil orang tua Jena ke sekolah jika Jena bersikeras menolaknya. "Setidaknya biarkan bapak berbicara dulu dengan orang tuamu. Kalau mereka tak memberi izin, maka bapak tak memaksa," ujarnya saat itu.
Secepat kilat Jena turun dari ranjangnya, mengabaikan Jihan yang berdecak sebal karena dirinya berlari gaduh menyusuri tangga. Tujuannya adalah mencari Ayah dan Ibu. Jena harus membatalkan niat jahat Raihan yang ingin membunuhnya perlahan-lahan dengan mengerjakan soal Matematika!
"Ibu, apa hari ini kita hanya akan diam di rumah?" tanya Jena pada Ibunya yang sedang sibuk menggoreng ikan. Ini memang masih pagi, jarum jam bahkan belum bergerak ke angka sepuluh. Padahal biasanya Jena baru bangun tidur di jam-jam segitu.
"Iya, sayang. Kita tak akan pergi kemana-mana hari ini. Beristirahatlah," ucap Ibu Jena dengan lembut.
Jawaban dari nyonya Paramita itu membuat Jena menunduk lesu. Apapun yang terjadi, orang tuanya tak boleh ada di rumah hari ini sebelum Raihan datang dengan membawa segala bencana untuk Jena.
Maka, Jena berjalan ke ruang tamu dan menemui Ayahnya yang tengah asik menonton film.
"Ayah, ayo pergi ke mall. Kita harus belanja bulanan."
Tuan Paramita melihat Jena sekilas. "Kita baru saja berbelanja bulanan seminggu yang lalu, Jena."
Jena meringis. "Kalau begitu ayo kita ke rumah Paman Han! Bukankah kita sudah lama tidak ke sana?"
"Rumah Paman Han?" Dahi Ayahnya berkerut saat mendengar putrinya mengatakan itu. "Bukankah kau selalu menolak untuk ke sana? Katanya rumahnya sangat ramai dan berisik membuatmu susah untuk tertidur. Lagipula sepupumu ada disini. Bermainlah dengannya."
"K-kali ini tidak, Ayah! Aku mau kesana. Aku bosan di rumah." Jena memaksa. Ia tak akan berhenti sampai orang tua dan dirinya benar-benar meninggalkan rumah.
"Tidak bisa, sayang. Hari ini Ayah harus istirahat." Suara wanita yang selalu bernada lembut itu menginterupsi dari belakang. Ibu Jena berjalan mendekati mereka dengan secangkir kopi hitam ditangannya.
"Ibu... aku ingin ke luar rumah..." rengek Jena.
Jangan heran mengapa tingkahnya manja seperti ini. Jena adalah anak semata wayang dari keluarga Paramita. Ia dibesarkan dengan hati-hati dan penuh kelembutan. Yah, meskipun sikapnya berbeda jauh dengan cara ia dibesarkan; keras kepala, kasar, dan pemalas.
"Tidak dengan orang tuamu. Kau bisa pergi berdua dengan Jihan. Pergilah. Ayah harus menikmati libur kerjanya di rumah." Ibu Jena bersikukuh. Suaminya harus istirahat hari ini karena sudah bekerja keras selama lima hari penuh.
Jena berpikir sejenak. Kalau ada orang tuanya di rumah sedangkan dirinya tak ada, Raihan tak akan bisa melakukan les privat, kan? Raihan membutuhkan keduanya untuk bisa mengadakan les privat yang Jena rasa lebih pantas disebut dengan 'eksekusi mati' untuk dirinya.
Tanpa menjawab, Jena langsung berlari lagi ke kamarnya. Ia bergegas mengambil cardigan coklatnya dan mengajak Jihan pergi.
"Jie, ayo ikut bersamaku."
"Kemana?"
"Toko es krim."
Sontak, kedua mata Jihan berbinar lebar. Tak akan ada yang bisa membuatnya menolak untuk es krim, sekalipun terkena flu dan batuk.
"Aku ikut!"
"Ayo, cepat!"
Maka, dua keturunan keluarga besar Paramita itu pun berlari cepat ke luar rumah. Ayah dan Ibu Jena yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepala. Anaknya sudah menduduki bangku SMA, tapi rasanya Jena seperti baru lulus dari bangku Play Group.
"Tumben sekali kau mentraktirku seperti ini," celetuk Jihan setelah ia mendapatkan es krim choco cookiesnya. Lari marathon bersama Jena yang berjarak dua ratus meter itu cukup sepadan jika di bayar dengan dua potong es krim cone dan tiga potong es krim cup.
Hebatnya, dirinya sudah tak merasa sangat lelah saat menempuh jarak sejauh itu. Mungkin, karena sudah terbiasa berlari marathon bersama Jena dengan jarak bermeter-meter.
"Berterima kasihlah pada Yang Mulia Ratu." Jena menjawab lempeng yang di balas cibikkan oleh Jihan. Ia sendiri juga tengah asyik melahap sepotong es krim sweet strawberry yang di beri topping astor coklat diatasnya.
"Aku serius. Kau tak biasanya seperti ini."
Jena mengayunkan kakinya yang terjuntai bebas di bawah ayunan taman bermain dekat toko es krim langganan mereka. Ia tak mungkin menjawab jujur pada Jihan perihal ini. Mungkin saja, Jihan bisa-bisa melaporkannya pada Ayah dan Ibu karena Jena kabur dari kunjungan Raihan.
"Aku hanya ingin berbuat baik di sisa-sisa waktu kita."
"Maksudmu?"
"Kau ingat? Umur seseorang tidak akan ada yang tahu. Aku hanya ingin membuatmu merasa terkesan di sisa-sisa waktumu."
"Sialan. Kau mendoakan ku cepat mati, ya?"
"Yaㅡemm ... maksudku tidak juga. Apa kau tak mengerti ucapanku tentang 'umur seseorang tidak ada yang tahu'?"
"Aku cukup pintar untuk mengerti ucapan itu. Kau benar-benar mengesalㅡuhuk! Uhuk!"
Jena terkekeh, "Kan. Sudah ku bilang. Berhati-hatilah, biasanya orang yang suka marah bisa cepat menua."
"Uhuk! Uhuk! Jena sialan." Jihan sempat-sempatnya mengumpat saat dirinya tengah terbatuk karena tersedak es krim.
Saat itu, yang dilakukan Jena hanya terbahak. Melupakan tanggung jawab yang harusnya ia kerjakan. Tapi, apa pedulinya?