1. Tentukan nilai suku banyak untuk x = 3, jika diketahui f(x) = 4x3 - 2x2 + 9
Skip.
2. Jika P(x) = 3x4-(m-1)x3+2(n-1)x+6 dan Q (x) = ax4-bx2+6x+c maka nilai dari m+n adalah...
Skip.
3. Jika diketahui P(x) = 2x3+4x2-3x+2, maka nilai dari P(5) adalah…
Skip.
Jena mengacak rambutnya frustasi. Baru tiga soal pertama saja ia sudah tak bisa mengerjakannya. Apa kabar dengan tujuh soal lainnya yang sudah menunggu untuk dijawab? Salahkan Pak Raihan yang tiba-tiba mengadakan ulangan harian dadakan!
Jena memperhatikan sekelilingnya. Mencari sesosok siswa yang terlihat bernasib sama sepertinya. Namun nihil. Semua teman sekelasnya tampak khusyuk mengerjakan setiap soal yang disajikan. Dalam hati, Jena mengutuk sistem sekolah yang tidak mengizinkan siswanya untuk duduk satu meja dengan siswa lain. Ck! Meresahkan.
Mata monolid itu melirik ke arah meja guru didepan kelas. Aman. Raihan tampak sibuk dengan ponselnya. Maka Jena pun memulai aksinya.
"Psst. Anne! Nomor satu jawabannya apa?" bisik Jena nyaris tak bersuara. Gadis didepannya tak berkutik. Sepertinya Anne tak mendengar suaranya.
"Psst! Anne!"
"Hei!"
Oke. Bukan tak mendengar, tapi Anne pura-pura tidak mendengar suaranya. Jena tahu itu. Terkutuklah teman macam Anne.
"Waktu kalian tersisa 10 menit." Nada bariton itu menginterupsi tiba-tiba, membuat Jena nyaris terlonjak karena kaget. Sial, mengagetkan saja!
Siswa didalam kelas itu tetap tenang sambil menyahut 'Iya, Pak' dengan nada rendah. Berbeda dengan Jena yang sudah menahan pita suaranya untuk tidak berteriak 'Aku menyerah! Masukkan saja aku ke dalam isekai!'.
"Oke. Bagaimana Jena? Apa soal yang diberikan terlalu sulit?"
Ya! Ini terlalu sulit sampai kepalaku terasa ingin pecah!
"Bapak harap kamu bisa mengerjakannya dengan jujur dan konsisten."
Hahaha. Tolong buang harapan itu jauh-jauh, Pak.
Raihan mengulum senyum. Membuat siswi-siswi di kelas menjerit pelan. Terkecuali Jena, ia hanya melempar senyum kikuk pada Raihan. Dalam hati tetap membatin mengapa guru yang suka mengadakan ulangan dadakan dibiarkan hidup.
10 menit berlalu. Murid-murid mulai mengumpulkan lembar ulangannya. Dan Jena, mengambil kesempatan itu untuk mencegat Yohanㅡmengambil kertas jawaban milik cowok itu dengan paksa saat Yohan tengah berjalan dari belakang menuju meja guru. Beruntung, kerumunan siswa dimeja guru membuat pemandangan Jena yang tengah menyontek tertutupi. Dengan secepat kilat ia menyalin jawaban singkat hasil pengurasan otak Yohan.
Selesai.
Jena memberikan senyum manisnya pada Yohan dan langsung berlari untuk mengumpulkan hasil kerjaannya. Yohan sendiri hanya bisa geleng-geleng kepala. Setelah itu, ia akan meminta Andra untuk membayar semua jerih payahnya yang dengan mudah dicontek oleh Jena.
"Baik, anak-anak. Terima kasih sudah mengerjakan ulangannya dengan jujur dan konsisten. Bapak percaya kalau semua murid pintar. Hanya saja rasa malas yang membuat kalian bodoh. Pelajaran hari ini, Bapak tutup. Sekian." Raihan berdiri sambil memegang kumpulan kertas tadi dan beranjak pergi saat bel pulang sekolah berbunyi. Murid-murid disana bernapas lega setelah bisa mengumpulkan kertas ulangannya masing-masing. Tak terkecuali Jena. Walaupun ia sempat tertohok karena kalimat penutup yang diucapkan Raihan tadi.
"Hei, Yohan. Menurutmu berapa nilai yang akan kau dapatkan?"
"Mungkin bisa 200."
"Mana mungkin!" Jena tergelak. Soalnya saja hanya ada sepuluh, mana mungkin nilainya bisa dua ratus?
"Asal kau tahu, jawabanku itu sangat tersusun dan sistematis. Mudah dibaca, rumusnya benar, dan jawabannya juga tak mungkin salah."
"Hm. Untung saja aku menyontek pada orang yang tepat."
"Sialan." Jena tergelak lagi. Matanya mengikuti tubuh Yohan yang tengah berjalan menghampirinya. Tempat duduknya dan tempat duduk Yohan hanya berjarak dua meja dari belakang.
"Dimana pacarmu? Jerih payahku itu harus dibayar dengan semangkuk mie ayam pedas."
"Kenapa memintanya pada Andra? Kan, yang menyontek itu aku."
"Aku tahu kalau kau tak akan mau berbalas budi padaku."
Jena lagi-lagi tergelak. Saat itu, Andra sudah berada didekat mereka dengan tas ransel yang tersampir di bahu kanan.
"Ada apa? Kenapa seru sekali?"
"Kau harus mentraktirku mie ayam pedas karena pacarmu ini menyontek jawaban Matematika ku."
Andra menatap Jena, "Lagi?"
"Eung ... soalnya sangat-sangat sulit untukku."
"Sudah tahu sulit kenapa tidak belajar, hm?" Andra mencubit kedua pipi Jena gemas. "Kau tahu? Pacarmu ini bisa bangkrut karena terus-terusan mentraktir orang yang kau contek."
"Akh! Kau bisa menolak permintaan itu."
"Apa katamu? Apa kau mau pacarmu ini disiksa hanya karena menolak permintaan orang yang kau contek?" Andra semakin gemas. Apalagi dengan wajah Jena yang sangat lucu saat ia tarik pipinya.
Jena masih sempat tertawa. Sedangkan Yohan mendelik.
"Aku disini bukan untuk melihat kalian pacaran."
"Kau ini menganggu saja." Andra merogoh sakunya dan memberikan beberapa lembar uang pada Yohan. "Bawa ini."
"Sip! Utangmu lunas." Yohan pun pergi dengan raut bahagia.
===
"Bagaimana bisa nilai Matematikamu nyaris tak pernah lebih dari lima?"
Jena mengedikkan bahu, "Biarpun begitu, aku akan mendapat nilai 200 untuk ulangan dadakan hari ini."
"Mana mungkin."
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini."
"Kenapa percaya diri sekali?"
"Tentu saja karena aku menyontek. HAHAHAHAㅡduh!" Jena mengelus belakang kepalanya yang terkena sasaran lempar buku tulis dari Jihanㅡsepupunya. Cewek itu duduk di atas kasur Jena sambil bersidekap dada.
"Bisa-bisanya kau bangga dengan hasil menyontek. Bibi bisa marah kalau raportmu ada nilai merah lagi."
"Ayolah..." Jena ikut meringsut duduk dari posisi tengkurap di atas karpetnya, "Bagaimana bisa hidupmu ditentukan oleh nilai merah dalam satu mata pelajaran saja? Kemampuan setiap orang berbeda. Aku lemah Matematika tapi aku pintar dalam pelajaran Sejarah."
"Tapi Matematika itu pelajaran wajib, bukan? Kau sekolah untuk belajar dan menjadi pintar dalam semua pelajaran. Kita memang hidup dengan tuntutan untuk jadi sempurna, kan?"
"Terserah." Jena kembali tengkurap dan melanjutkan aktivitas menonton anime kesukaannya. "Aku hidup untuk menjadi nyata. Bukan menjadi sempurna."
"Aish, bagaimana bisa Andra memiliki kekasih anti Matematika seperti ini? Tak masuk akal," ucap Jihan frustasi.
Mau bagaimanapun, Matematika itu penting. Semua orang pun tahu kalau Jena memiliki otak yang pintar dan cepat tanggap. Hanya saja masalahnya, Jena anti Matematika. Entah apa penyebabnya.
"Hei."
"Aku punya nama."
Jihan berdecak. "Ck! Jena."
"Hm?"
"Kenapa kau tak suka Matematika?"
"Rumit."
"Tidak, kok. Asal kau paham cara mengerjakannya."
"Sayangnya aku tidak paham."
"Kau bisa paham!."
"Tidak."
"Bisa! Hanya saja kau malas memahaminya."
"Kau peka sekali."
Jihan menghela napas. Kenapa manusia seperti ini bisa ada di dunia?
"Jangan malas."
"Malas."
"Ck! Jena!"
"Ck! Jihan!"
"..."
Kedua saudara sepupu itu saling menatap tajam. Raut kesal sekaligus sebal sama-sama tercetak di wajah mereka.
"Aku akan melakukan sebisaku, paham?"
"Kenapa tak melakukan yang terbaik?"
"Karena sesuatu yang dipaksakan itu tidak baik."
"Cih. Jangan sampai kau menyesal."
Jena menoleh, lalu menaruh telunjuknya di dagu. "Kau benar." Jena menggeleng. "Jangan sampai itu terjadi. Terima kasih do'anya."
Jihan yang sudah kesal hanya memutar bola matanya malas.