Terakhir kali Andra belajar Matematika bersama Jena, gadis itu selalu mengeluh mengantuk dan setelahnya benar-benar terlelap tidur di atas tumpukan buku. Hari ini, Andra tak akan membiarkan kejadian itu terulang lagi. Kantung kresek transparan berisi beberapa kaleng kopi yang tadi ia beli di minimarket sudah bertengger diantara jari-jarinya. Di dalam tas, ia juga sudah menyiapkan sound speaker agar suasana belajar mereka tak terasa sepi dan membosankan.
Minggu yang cerah. Kemarin, Mama Jena menghubunginya. Memintanya untuk mengajari Jena Matematika karena anak gadisnya lagi-lagi mendapat nilai rendah di mata pelajaran rumit itu. Dan karena itu pula sekarang Andra sudah berdiri didepan pintu ganda mahoni ini. Menarik napas dalam, kemudian bersiap untuk mengetuk pintu.
Belum sempat buku-buku jarinya menyentuh pintu, pintu itu sudah terbuka sendiri. Mama Jena muncul dengan senyum sumringah.
"Ayok masuk dulu. Jena-nya masih tidur." Andra mengangguk sopan. Berjalan masuk saat Mama Jena memberi celah. Beberapa langkah berjalan pelan, Mama Jena kembali menginterupsi.
"Tolong kamu bangunkan Jena, ya. Tante mau menyiapkan makanannya dulu." Lagi, Andra mengangguk sopan. Ia sudah beberapa kali datang ke rumah ini meski tak sering. Kehadirannya sebagai kekasih Jena disambut baik oleh kedua orang tua gadis itu. Yah, meskipun dulu sempat ada cekcok. Namun akhirnya orang tua Jena merestui karena anak gadis mereka lebih menurut dengan kata-kata Andra daripada orang tuanya sendiri.
Memang anak durhaka.
Kaki jenjang Andra meniti setiap anak tangga kayu sampai ke lantai atas. Berjalan lurus sampai dirinya berdiri didepan sebuah pintu bertuliskan 'Kamar Jena Cantik'.
Tangannya hendak mengetuk, namun suara cempreng Mama Jena menghentikannya.
"Langsung masuk aja, Ndra!"
Maka, tangan Andra melipir ke handle pintu itu. Mendorongnya, kemudian pemandangan anak semata wayang keluarga Paramita yang sedang tidur dengan posisi terlentang terlihat. Andra menaruh kantung kreseknya di atas meja belajar. Langkahnya mendekati Jena. Sesaat ia meringis karena air liur Jena menetes ke pipi kanan gadis itu.
Jorok.
Andra menarik piyama Jena untuk menutupi perutnya yang terlihat. Ia menepuk-nepuk pelan lengan Jena. Mulai membangunkannya.
"Bangun, Jen. Aku disini."
Jena menggeliat. Melirik Andra sekilas lalu memunggungi Andra.
"5 menit lagi."
"Ayo, bangun. Kita, kan, mau belajar."
Jena mengacuhkannya. Andra melirik jam. Sudah jam 10 pagi, tapi anak gadis ini masih tertidur nyaman di atas kasur.
Pemalas sekali.
"Kau tahu aku tak suka menunggu."
Dan Jena langsung bangun. Kalau Andra sudah berbicara dingin seperti itu, artinya Andra benar-benar tak suka. Ia mengelap pipinya yang basah dengan tangan. Menguap lebar dan melirik jam.
"Sudah lama menunggu?"
"Tidak. Aku baru sampai."
Jena mengangguk. Lantas meninggalkan Andra ke kamar mandi agar Andra tak mengomel lagi.
"Langsung ke ruang tamu saja. Ibu pasti sudah menyiapkan tempatnya," ujar Jena setengah berteriak dari kamar mandi. Andra menurut. Ia langsung pergi dari kamar Jena dan menuju ruang tamu. Melanjutkan aktivitas menunggu kekasihnya di atas karpet.
Apa yang Jena katakan benar. Sebuah meja persegi kecil ditengah ruangan sudah diisi oleh sepiring kue bolu dan dua gelas minuman. Andra yakin, nanti pasti ia akan diajak makan siang juga di rumah ini. Keluarga Jena selalu menjamu tamunya dengan baik. Itu sebabnya teman-teman Jena sangat senang bila main ke rumahnya. Tak terkecuali Andra.
Beberapa menit menunggu, Jena pun datang dengan buku-buku ditangannya. Ia memakai kaos rumahan dengan celana pendek. Menatap Andra lempeng dan duduk bersila di hadapan Andra.
"Oke. Ayo kita muㅡ"
"Dicoba dulu makanannya. Ibuku sudah susah payah membuatnya." Jena memotong, seraya menyodorkan sepiring kue tadi. Andra menatapnya sebentar, kemudian mengambil sepotong kue dan memakannya.
Pengalihan isu.
"Sudah. Ayo mulai daㅡ"
"Minum dulu. Tenggorokanku seret." Jena meneguk segelas jus mangganya. Memotong ucapan Andra sekali lagi. Andra mengikuti. Setelahnya, ia bertepuk tangan sekali.
"Baik. Seㅡ"
"Apa kau tidak lapar? Aku sejak pagi belum makan."
Oke. Jena memang mengesalkan.
Andra menatap sinis pada Jena. "Jangan terus-terusan mengelak untuk belajar."
"Apa? Aku serius lapar. Belajarnya tak akan bisa fokus jika perutku terus berbunyi."
Alasan.
"Cepat makan sana!"
Jena menyengir, "Aku akan ambilkan untukmu juga."
Andra mendengus. Namun diam-diam tersenyum. Jena memiliki paras yang cantik walaupun sifatnya mengesalkan. Kepribadian Jena kuat, ia hanya ingin melakukan hal yang ia kehendaki dan motto hidupnya tak bisa goyah oleh apapun. Hal itu yang membuat dirinya menyukai Jena. Karena dibalik semua itu, Jena hanyalah gadis baik yang sebenarnya menyayangi orang-orang disekitarnya.
Lima belas menit berlalu. Jena sudah selesai dengan acara mengisi perutnya. Sekarang, Andra tengah menjelaskan rumus-rumus penting yang sudah dijelaskan Pak Raihan minggu lalu. Mulutnya sudah berbusa, tapi Jena tetap tidak paham juga. Ia tahu, Jena pintar. Hanya saja gadis itu menolak setiap rincian materi yang akan masuk ke otaknya. Sound speaker yang ia bawa tak dipakai, takut akan membuat fokus Jena semakin buyar. Kopinya juga tak ia sediakan, takut Jena akan berpaling dari bukunya.
"Huaaa~ aku memang bodoh dalam hal ini," Jena merengek pura-pura frustasi. Andra menatapnya dengki.
"Kau tidak bodoh. Aku tahu. Kenapa kau menolak untuk mengerti?"
"Aku mabuk angka. Setiap melihat angka yang berjejer kepalaku akan pusing dan mengantuk. Oh, astaga... Matematika memang mematikan."
"Jangan berlebihan." Andra menyentil dahi Jena pelan. Membuat sang empu mengaduh.
"Huwee~ ibuu, Andra nakal!"
"Jangan merengek. Ibumu tak akan mendengarkan." Andra mengultimatum. Jena pun diam.
Jena tak suka Matematika. Tapi kenapa ia dipaksa untuk mengerjakannya? Jena hanya akan melakukan apa yang dia suka. Segala paksaan itu tidak baik.
Andra membaca raut wajah Jena yang merengut. Ia menatap Jena fokus, "Kau benar-benar tak menyukai Matematika?"
Jena menoleh, kemudian mengangguk.
"Bertahanlah sampai kita lulus. Sampai saat itu kau tak perlu lagi berurusan dengan Matematika."
"Tapi aku benar-benar tak menyukainya..." lirih Jena. Andra prihatin.
Mengelus dagunya beberapa saat, Andra buntu. Bagaimanapun juga Jena harus bisa Matematika. Mau atau tidak mau. Tak mungkin, kan, Jena membuat orang tuanya kecewa?
"Hei, dengar aku. Jangan kecewakan orang tuamu. Sekali ini saja, tolong paksakan dirimu. Mereka tak punya harapan lain selain dirimu. Kau anak semata wayang bukan?" Andra berkata lembut. Jena menatapnya sendu. Mengangguk, kemudian menggeleng.
"Aku tidak suka Matematika. Aku akan membuktikan pada mereka kalau aku bisa membuat mereka bangga tidak hanya dari sekedar nilai saja."
Jena melirik kedua tangannya yang bertautan, "Nilai itu... tidak menentukan masa depan, kan?"
Huft...
Sudah Andra duga. Jena tetaplah Jena. Sekuat apapun argumen yang ditujukan, keputusannya tidak akan goyah. Mau sekeras apapun ditentang, Jena akan lebih keras menentangnya.
Memang keras kepala.
Tapi walau begitu, yang sebaiknya Andra lakukan hanyalah mendukung, kan? Jena pintar, Jena paham mana yang baik untuknya. Dia bukan anak kecil lagi, walaupun orang tuanya melihatnya seperti itu.
Andra mengelus lembut pucuk kepala Jena. "Baiklah. Apapun itu aku akan mendukungmu. Tapi setidaknya pahamilah sedikit materinya. Yang terpenting, kau bisa mengerjakan. Tidak dengan menyontek seperti waktu itu."
Jena mengangguk. Kalau tidak harus, ia akan menurut. Ia sendiri tahu kalau Matematika itu wajib. Tapi apa daya, dirinya dan Matematika memang tidak satu frekuensi.
Ting!
Ponsel Jena berdenting. Andra menjauhkan tangannya dan membiarkan Jena membaca pesan masuk itu.
Dari : Pak Raihan
Ada yang harus saya bicarakan dengan kamu, Jena. Besok, di jam istirahat pertama, saya tunggu kamu diruang guru. Terima kasih.
Saat itu, Jena tak tahu kalau Raihan bisa membuatnya gila dengan Matematika.