Jarum jam bergeser ke angka dua belas pas. Bersamaan dengan itu, bel sekolah berbunyi. Mata pelajaran Kimia yang menjelaskan materi tentang Hidrokarbon dan Minyak Bumi ditutup. Guru didepan sana sudah berjalan ke luar kelas setelah memberikan salam penutup. Sementara itu, Jena dan temannya yang lain sudah bersiap untuk menikmati waktu istirahat kedua ini.
Sebuah botol dingin ditaruh ke atas meja. Jena berpaling dari aktivitas memasukkan bukunya ke dalam tas untuk menoleh dan melihat siapa pelakunya. Laki-laki dengan tinggi seratus tujuh puluh delapan sentimeter itu cungar-cengir tanpa dosa saat Jena menatapnya lempeng.
"Cepat sekali, ya," sindir Jena sambil kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda.
"Kebetulan Pak Raihan tak terlalu banyak memberikan materi tadi. Selesai memberikan tugas, beliau langsung keluar kelas dan tak kembali lagi."
"Dan kesempatan itu kau gunakan untuk pergi ke kantin sebelum bel berbunyi, begitu?"
Andra terkekeh, "Tepat sekali."
Jena memutar bola matanya malas. Beruntung sekali Andra ini. Jena sejak tadi hanya bisa menahan kantuk dan emosi karena materi yang dijelaskan guru Kimia tadi sama sekali tidak masuk ke otaknya. Jena curiga kalau kapasitas otaknya hanya sekitar 16 GB. Dan 15 GB-nya sudah dipenuhi oleh berbagai macam anime.
"Aku membelikan ini untukmu. Kenapa tidak di minum?" Andra menyentuh pipi Jena dengan sebotol air mineral dingin yang tadi. Membuat Jena meringis namun tetap menerimanya.
"Hanya air mineral, huh? Aku kira kau akan membelikan minuman soda."
"Minuman bersoda tak baik untuk kesehatan."
Jena menelan tegukan airnya dan menatap Andra remeh. "Aku hanya berpikir kalau kau tak punya cukup uang untuk membeli itu."
"Kau meremehkanku? Kantin di sekolah ini pun bisa ku beli kalau ku mau."
"Sombong."
"Aku hanya berkata jujur."
"Sombong."
Andra terkekeh dan mengacak rambut Jena gemas. Jena pun tak ayal ikut terkekeh.
"Andra, malah pacaran. Kau sudah ditunggu Pak Raihan di ruang guru sejak tadi." Andra dan Jena menoleh bersamaan. Entah darimana datangnya, Riskaㅡteman sekelas Andra sudah berdiri didepan mereka sekarang.
"Ah! Aku lupa. Ya, aku akan segera kesana." Gadis berambut pendek itu mengangguk dan langsung pergi setelah melempar seulas senyum pada Jena.
"Ada urusan apa?"
"Hm. Aku di daftarkan untuk ikut Olimpiade Matematika oleh Pak Raihan. Aku harus menandatanganinya."
Jena mengangkat sebelah alisnya, "Lagi?"
Andra mengangguk, "Begitulah. Sudah, ya, aku pergi dulu."
Laki-laki bertubuh tinggi tegap itu berlari kecil ke luar kelas Jena. Jena memaklumi. Pacarnya memang sangat pintar Matematika. Andra sudah beberapa kali memenangkan Olimpiade dan membawa harum nama sekolahnya. Sebenarnya, Jena beruntung karena memiliki kekasih seperti Andra. Ia bisa kapan saja meminta Andra untuk mengajarinya Matematika. Namun, Andra dan Jena bertolak belakang. Andra menyukai Matematika dan akan bersemangat karena pelajaran yang mudah baginya itu.
Andra tak seperti Jena, yang lebih memilih pelajaran Sejarah daripada pelajaran rumit dengan banyak angka. Menurut Jena, mengingat masa lalu lebih mudah dibandingkan memperhitungkan masa depan.
Kedatangan Anne yang tiba-tiba membuat Jena mengurungkan niat untuk beranjak ke kantin dan kembali duduk di kursinya. Tatapan gadis itu terlihat serius, membuat Jena ketakutan sendiri.
"Kenapa?" tanya Jena pada akhirnya karena merasa tak nyaman ditatap seperti itu.
"Andra ikut Olimpiade lagi?"
"Setahuku begitu."
"Astaga..." Anne terduduk lemas ditempat duduknya yang berada didepan Jena. Mukanya terlihat lesu, membuat Jena lagi-lagi penasaran.
"Kenapa?"
"Aku ingin ikut Olimpiadenya. Mengapa aku tidak pernah terpilih? Padahal nilai Matematika ku selalu bagus."
"Kau terlalu banyak dosa sepertinya."
"Hei!" Anne bersungut. Jena menyengir.
"Sebenarnya sepintar apa pacarmu itu? Aku sangat iri. Orang tuaku selalu berharap aku bisa ikut Olimpiade. Terutama dalam pelajaran Matematika."
Jena melenguh pelan. Kenapa dunia seakan berputar dengan nilai Matematika, sih? Masih banyak pelajaran lain yang berguna dan lebih sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan Matematika pun, hanya ilmu tentang pertambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian yang akan berguna, kan? Materi tentang koordinat, aljabar, dan sebagainya tak begitu mencolok dalam kehidupan sehari-hari. Itu semua... hanya membuat kepala Jena pusing.
"Andra selalu masuk peringkat tiga besar sejak di Sekolah Dasar."
"Sungguh? Pantas saja aku selalu kalah bersaing dengannya."
"Apa itu penting?" Jena membeo. Mata Anne membola.
"Tentu saja! Ibu akan kecewa berat padaku kalau aku benar-benar tidak terpilih untuk ikut Olimpiade apapun di masa SMA ini."
"Memangnya saat lulus nanti, apa ada orang yang akan bertanya 'berapa kali kau ikut Olimpiade Matematika saat SMA' padamu?"
Anne terdiam. Benar juga. Tapiㅡ
"Tapi masalahnya, prestasi itu penting, kan?"
"Prestasi dalam bidang apa dulu? Kalau yang kau maksud hanya dalam pelajaran Matematika, itu bukan masalah namanya. Tapi sugesti." Jena mencerca. Tak habis pikir kenapa ia bisa hidup dalam lingkungan yang selalu mengagung-agungkan nilai Matematika?
"Prestasi itu bisa dalam berbagai bidang, hal, atau apapun. Kau bisa tidur sehat selama 8 jam setelah sejak dulu hanya tidur 2-3 jam juga termasuk prestasi, kan? Prestasi atas perubahan dirimu sendiri." Jena berdiri. Berjalan lunglai dengan sepasang mata Anne yang mengikutinya. "Hoam ... kenapa orang-orang segitu terobsesinya pada Matematika? Tak bisa ku percaya."
Anne mengelus dagunya sepeninggal Jena dari dalam kelas. Apa yang dikatakan Jena ada benarnya juga. Jena itu sebenarnya pintar. Pikirannya lebih kritis dan logis. Jena bisa saja menorehkan nilai yang jauh melampaui Andra jika gadis itu mau. Namun, Anne tahu. Temannya itu sangat pemalas. Sifat malasnya telah membuat banyak kesempatan menjadi pupus begitu saja.
Jika Anne sedang bingung didalam kelas, berbeda dengan Jena yang sekarang sedang sumringah didepan stand roti bakar. Kantin masih ramai, maka Jena berteriak kencang didepan etalase yang dipenuhi siswa-siswi ini.
"ROTI BAKAR SELAI COKLAT SATU PORSI!"
Penjual roti bakar itu menatap Jena sekilas dan mengangguk. Sementara pembelinya yang lain melirik sinis pada Jena. Namun Jena tak mempedulikannya. Lebih memilih untuk menyerobot antrean agar ia bisa lebih cepat menerima pesanannya.
Beberapa menit berlalu. Roti yang beberapa sisinya sudah berwarna ke-emasan itu dioles mentega beberapa kali sebelum akhirnya diberi sentuhan dengan selai coklat. Mata Jena berbinar. Rasanya air liurnya bisa menetes kapan saja jika ia lengah. Jena lapar, walaupun tadi pagi sudah sarapan dan istirahat pertamanya di lalui dengan menyantap semangkuk bakso hasil traktiran Andra.
Penjual roti bakar itu memotong hasil masakannya menjadi beberapa bagian sebelum di kemas rapi dalam sterofom. Jena tak sabar. Maka dari itu ia merebut paksa kotak sterofom yang hendak ditutup oleh penjualnya. Kelamaan. Jena bisa keburu mati kelaparan kalau harus menunggu lagi.
"Harganya sembilan ribu."
Jena memberikan uang dua puluh ribuan. Penjual itu menerimanya, namun kemudian tersenyum kikuk.
"Ada uang pas? Saya tak punya kembaliannya."
Jena terdiam sebentar. Harganya sembilan ribu. Sedangkan ia memberi dua puluh ribu. Jadi, harusnya berapa jumlah uang kembaliannya?
Dua puluh dikurang sembilan...
"Ck! Kenapa lama sekali!? Bisa lihat, kan, kalau antreannya panjang?" celetuk seorang siswi dengan kesal.
Jena menatap lempeng. Tak enak juga kalau kelamaan. Tapi, 20 - 9 = berapa?
"Err. Kembaliannya bisa saya ambil besok." Jena memutuskan. Melangkah pergi setelah mendapat anggukan dari penjual roti bakar tadi.
Sejenak ia menyadari.
Masa hanya pengurangan saja otaknya mendadak lemot? Apa karena jarang di asah?
Jena menggeleng. Masa bodoh, dia memang tak pintar Matematika, kok.