Adelard menatap wajah Maura dengan lekat. Setelah kejadian di kontrakan perempuan itu. El, membawa Maura ke apartemen miliknya yang berlokasi di Jakarta Pusat. Dia tidak tega membiarkan perempuan itu disakiti ataupun diperlakukan tidak mengenakan.
Perempuan itu terlalu lemah, terlebih lagi El merasa khawatir dengan kondisinya sekarang ini. Dalam perjalanan menuju apartemen, Maura pingsan dalam dekapannya. Dokter bilang, perempuan itu kekurangan gizi dan terlalu banyak pikiran hingga membuat daya imun tubuh menurun. Hal itu membuat El merasa khawatir.
Seumur-umur dalam hidupnya, dia tidak pernah se-khawatir seperti itu kepada perempuan, terkecuali ibunya sendiri. Sudah hampir jam sembilan malam, tetapi perempuan itu tak kunjung membuka mata. Sementara El, memilih duduk di tepi ranjang menunggu Maura bangun.
Ketukan pintu yang terdengar halus, membuat lamunan El buyar. Segera dia berjalan ke arah pintu, memastikan siapa yang datang malam-malam menganggu istirahatnya saja.
"Maaf menganggu waktu istirahat Anda, Tuan. Saya datang hanya ingin menyampaikan pesan dari Nyonya Besar, dia memintamu untuk segera terbang ke Chicago." Jovan—laki-laki yang mengetuk pintu hanya menunduk, menunggu perintah dari El.
El memijat pelipisnya, padahal dia baru saja mendarat di Jakarta kemarin malam. Kini sang ibu menyuruhnya kembali ke Chicago. Sungguh, El sangat membenci jika disuruh tiba-tiba seperti itu.
"Kembalilah istirahat." El kembali masuk, menutup kembali pintu kamarnya.
Lalu berjalan menghampiri ranjang, di mana Maura masih memejamkan mata dengan nyamannya. Seulas senyum tipis terbingkai di wajah tatkala melihat wajah polos dan lugu dari Maura. Sosok perempuan yang dia temui di hotel itu ternyata membuat El tertarik ingin lebih mengenal perempuan itu.
Entah mengapa El merasa prihatin kepada Maura, yang tak memiliki keluarga utuh. Kini perempuan itu benar-benar sendirian, tak ada yang mau mengakuinya sebagai keluarga. Tiba-tiba saja memori masa silam terlintas dalam ingatan, membuat El merasakan rasa sesak di ulu hati.
Dia membuang tatapan ke arah lain, berjalan ke arah jendela guna menghindari ingatan memori masa silam tersebut. Semakin dia berusaha melepas, justru Tuhan malah semakin membuatnya mengingat. Jujur saja El sudah berusaha untuk melupakan sederet kisah memilukan di masa silam itu.
"Aku di mana?"
Suara lirih seorang perempuan menyapa indra pendengar El, membuat El segera berlari kecil ke arah ranjangnya. Melihat Maura yang sudah tersadar seraya memegangi kepala yang masih terasa pening.
Tatapan Maura kini terbuka, menatap wajah El dengan dalam. Ingatan kejadian di kontrakan tiba-tiba saja terlintas, seulas senyum tipis terbingkai di wajah pucat itu.
"Terima kasih sudah menolongku," ucap Maura dengan pelan.
El hanya mengangguk, dia mengulurkan segelas air putih kepada Maura. Lalu Maura menerimanya merasa tenggorokannya terasa kering.
"Aku ada di mana?" tanya Maura setelah selesai minum dan menaruh gelas itu di sisi nakas.
"Apartemenku. Kau sakit, jadi aku membawamu ke sini," jelas El, dia berkata jujur.
"Sekali lagi aku ucapkan terima kasih."
"Kenapa kau selalu mengatakan kata terima kasih terus-menerus?" El menaikkan sebelah alisnya merasa tak suka mendengar kata terima kasih berkali-kali dari mulut orang lain, dia hanya membantu sebagaimana manusia pada umumnya.
"Bukankah kata itu melekat dalam diri manusia? Setidaknya ucapkan kata Maaf, Terima kasih, dan sama-sama. Aku rasa kata terima kasih tidaklah cukup, mengingat kau selalu membantuku."
"Sudah lupakan, kau harus banyak istirahat. Kata dokter kau kekurangan gizi, apa kau tidak pernah mengisi perutmu itu. Apa kau tidak merasakan lelah?" El ingin lebih tahu mengapa perempuan semuda itu hampir melupakan jadwal makannya atau tak mengatur pola makannya.
Maura mengulas senyum tipis, mengembuskan napas berat. "Orang miskin seperti diriku tidak memiliki waktu untuk beristirahat atau mengisi perut. Kami akan makan kalau memiliki uang lebih, kami harus bekerja agar tidak dikejar-kejar oleh hutang."
Entah mengapa El merasa kalimat itu terdengar begitu buruk, dia membenarkan posisi duduknya. Menatap lekat wajah Maura dalam diam, jika boleh jujur Maura terlihat cantik alami. Rambut tergerai yang berantakan, bibir pucat, bulu mata lentik, iris mata cokelat terang yang menyiratkan luka mendalam, dan juga hidung mancung. Seolah-olah Tuhan membisikkan kata 'sempurna' untuk Maura sebelum lahir ke dunia ini. Atau mungkin, El yang sedang menatap bidadari sekarang ini.
"K–kenapa?" tanya Maura tergagap, sadar bahwa sedari tadi El sedang menatapnya begitu lekat.
Maura membalas tatapan itu, laki-laki yang ada di hadapannya berbeda dengan laki-laki yang dia temui di hotel. Entah apa yang membedakannya, mungkin saja karena binar mata kehijauan itu.
"Tidak ada, tidurlah kembali. Besok kita akan pergi," ucap El mengalihkan topik pembicaraan, tidak mungkin dia mengatakan yang sejujurnya bahwa dia sedang mengagumi Maura.
"Kita akan pergi ke mana?" tanya Maura yang menolak untuk tertidur.
"Memangnya kau memiliki tujuan lain?"
Maura mendesah pelan, menunduk dalam. Dia juga tidak tahu harus ke mana, semua kerabatnya entah tinggal di mana. Mereka seakan-akan bersembunyi dari Maura.
Tanpa tidak sengaja, El mengacak rambut Maura. Dia mengulas senyum tipis, membuat Maura tak berkedip sama sekali saat melihat senyuman itu walaupun tampak tipis. Dari awal pertemuan, memang Maura belum pernah melihat senyuman seperti itu hanya senyum miring dan seringai yang selalu mendominasi.
"Jika tidak ada tujuan, lebih baik kau ikut denganku. Bukankah kau sudah menandatangani kesepakatan kita?"
Laki-laki itu benar, kini Maura terikat kontrak dengan El. Setelah masa kontraknya habis, maka El akan melepaskannya dengan jaminan yang luar biasa. Akan tetapi, masalahnya apakah Maura sanggup menjalani hidup sebagai seorang istri tanpa didasari perasaan emosional. Maura takut perasaan itu muncul secara tiba-tiba.
"Tidurlah, jangan terlalu banyak berpikir. Kau terlalu lemah memikirkan masalah yang tak kunjung pasti."
El mendorong tubuh Maura agar kembali telentang, sedangkan Maura hanya menurut. Merebahkan diri dengan tatapan tak pernah lepas dari El. Laki-laki yang ada di hadapannya seperti seorang malaikat saja, datang mengulurkan tangan dan bersedia memberi Maura kehidupan baru.
"Pejamkan matamu," ucap El, sadar bahwa sedari tadi Maura hanya diam menatapnya.
"Jam berapa sekarang?" tanya Maura, dia melirik ke sekitar mencari jam dinding.
El mengeluarkan gawainya, menatap jam di layar monitor gawai. Lalu kembali menatap Maura. "Hampir jam setengah sepuluh. Sudah malam."
"Aku tidak bisa tertidur, aku sudah lama memejamkan mata."
"Iya, tadi kau pingsan."
"Aku tahu, tapi aku tidak bisa tidur sekarang."
"Lalu apa yang bisa bikin kau tertidur lagi?" tanya El.
Maura tampak berpikir, jika dia sedang dalam masalah tersebut. Maka hanya pelukan sang ibulah yang bisa mengantarkan dirinya kembali ke alam mimpi. Namun, mustahil rasanya.
"Katakan," pinta El.
"Eum ... pelukan ibuku."
El hanya memanggut mengerti, dia merangkak naik ke atas. Lebih tepatnya ke sisi samping Maura. Membuat Maura menaruh tangannya di depan dada, terkejut melihat El yang sudah duduk di sampingnya.
"Kemarilah, tenang aku tidak akan macam-macam. Aku hanya membantumu agar tertidur lagi." El merentangkan tangan, menunggu Maura datang kepadanya.
Maura tampak berpikir, dia ragu. Namun, dia menyakinkan dirinya sendiri. Mengingat El sudah banyak membantu dia. Maura menggeser tubuhnya, menaruh kepalanya di dada bidang milik El.
Selanjutnya, El memeluk tubuh Maura dengan erat. Maura merasakan kehangatan dalam dekapan itu, mencoba memejamkan matanya. Entah mengapa dia menemukan tempat ternyaman dalam pelukan itu.
"Tidurlah."
*****
TBC:
Jangan lupa vote ya biar aku semangat hihi:v