Chereads / Gadis 2 Miliar / Chapter 10 - Bertemu Oma dan Kakek

Chapter 10 - Bertemu Oma dan Kakek

Sesuai dengan perintah Adelard, Maura menurut. Bersiap dengan pakaian sehari-harinya; memakai celana jeans dan kaos oblong. Memakai pakaian yang nyaman di tubuhnya. Maura menatap pantulan dirinya di cermin sana, memerhatikan bayangannya sendiri. Dia jadi bertanya-tanya mengapa Adelard memilihnya membuat kesepakatan itu.

Padahal Adelard bisa saja membuat kesepakatan dengan seseorang yang memiliki kelebihan dari Maura. Maura hanya terlihat biasa saja, wajah pun terlihat begitu pas-pasan. Dia juga bukan berasal dari kalangan atas.

"Ck, memikirkannya saja sudah membuatku bergidik," gumam Maura seraya menggeleng pelan.

Dia berjalan keluar dari kamar, menghampiri Adelard yang sudah menunggu di ruang tamu sana. Tanpa mengatakan satu patah kata pun, laki-laki itu berjalan terlebih dulu. Meninggalkan Maura di ruang tamu sana, Maura mengekori dengan mengentakkan kakinya.

"Kenapa mereka berdua ikut?" tanya Maura pada saat berada di basement apartemen. Dia melihat dua orang bodyguard yang mengusirnya waktu di hotel ikut mengekori.

"Kau ingin dikerumuni oleh wartawan?" Adelard berucap tanpa menoleh ke arah Maura, laki-laki itu lebih memilih memasang kacamata hitamnya.

Alis Maura berkerut, menatap ke depan sana. Benar saja wartawan sudah berkumpul bersiap menyerbu Adelard agar mau menjawab pertanyaan dari mereka. Dengan sigap lima orang bodyguard Adelard segera mencegah mereka hingga sampai sang tuan mereka memasuki mobil.

"Kenapa ada wartawan di sini?" tanya Maura menatap ke arah belakang setelah mereka berhasil memasuki mobil.

"Itu karena Tuan Adelard cucu dari Tuan Hadian Luisan Malik, konglomerat terkaya pada tahun 2018 hingga sampai saat ini. Berita tentang Tuan Adelard sangat laku hingga para wartawan mengejarnya," sahut Jovan yang duduk di depan sana.

Sementara Adelard tak memedulikan, jujur saja dia malah merasa risi selalu dikejar-kejar oleh wartawan itu. Apalagi kalau dia sedang bersantap makanan di resto, pasti selalu ada orang yang berhasil mengambil gambarnya.

"Jadi, nanti fotoku juga ada diberita Adelard?" tanya Maura yang sudah mulai paham.

"Iya, bahkan berita Tuan Adelard akan menikah sudah menyebar," balas Jovan.

Maura menelan ludah sendiri, sekaya itukah Adelard sampai dikerumuni dan dikejar-kejar oleh wartawan? Dengan sengaja, Maura menoleh ke arah Adelard yang tampak sibuk dengan lagar Macbook pro miliknya. Laki-laki itu merasa tak terganggu sama sekali dengan obrolan antara Maura dan Jovan.

"Bagaimana aku bisa hidup tenang kalau menikahi laki-laki kaya seperti dirinya," gumam Maura membuang tatapan ke arah lain, menatap jalanan kota Jakarta.

"Apa ada masalah bila kau menikahi laki-laki kaya seperti diriku?"

Sontak saja Maura membulatkan matanya, padahal dia hanya mengumam. Ternyata tanpa tidak sadar gumamam itu didengar oleh Adelard.

"T–tidak, hanya saja ... lupakan itu, apakah aku boleh mengajukan persyaratan dengan kontrak nikah ini?" Maura sengaja mengubah topik pembicaraan, dia harus mengajukan syarat sebelum resmi menyandang status sebagai istri dari Adelard.

"Tidak ada syarat dari pihak kedua," ucap apatis Adelard.

Maura mengembuskan napas pasrah, dia tidak memiliki hak lebih melawan orang kaya seperti Adelard. Lebih baik diam dan menurut saja, lagipula Adelard menjaminkan hidupnya bahagia.

"Kenapa putar balik?" tanya Adelard.mengetahui bahwa jalan yang mereka lalui bukan ke butik melainkan rumah sang kakek.

"Maafkan kami, Tuan. Tuan besar meminta kami untuk membawa Tuan kepadanya, mengingat kabar pernikahan Tuan sudah menyebar," jelas Jovan menunduk patuh.

Adelard hanya mengangguk, kembali menyibukkan diri denhan macbook pronya. Sementara Maura menautkan jemarinya, bermain-main dengan tautan itu. Rasa gugup menyelimuti benar mendengar bahwa mereka akan pergi ke rumah Tuan besar yang Maura yakini itu rumah kakek dari Adelard. Sungguh, Maura belum siap bertemu dengan semua keluarga Adelard.

"Kau kenapa?" Adelard menyadari kegelisahan Maura yang sedari tadi memainkan jemarinya sendiri, lalu duduknya pun terasa tidak nyaman.

"A–aku belum siap bertemu kakekmu," ucap Maura dengan terbata-bata.

"Dia orang baik, kau baru akan bertemu dengan kakek dan nenekku. Belum ibuku," ujar Adelard, membuat Maura bersandar lemah.

Tak lama kemudian, mobil yang ditumpangi oleh mereka berhenti di pekarangan rumah mewah bak istana. Maura takjub melihat rumah mewah yang ada di depannya. Berputar melihat perkarangan yang ada di sana, pertama kali dia menemukan rumah bak istana di kota Jakarta seperti ini.

"Wah, rumah ini tidak cocok dikatakan rumah. Melainkan istana," puji Maura terkagum.

Adelard menyambar tangan Maura, menarik perempuan itu memasuki rumah besar milik sang kakek. Sesampai di depan pintu utama, dua orang bodyguard yang berjaga di sana. Segera membukakan pintu untuk Adelard sekaligus menunduk hormat. Maura membalas tundukan itu, sedangkan Adelard berjalan dengan angkuh ke dalam rumah itu.

"Selamat datang, El. Sudah lama kau tidak menginjakkan kaki di sini."

Suara tegas dan penuh wibawa menggelegar dalam ruangan itu. Padahal mereka baru saja sampai di ruang tamu. Tubuh Maura mematung tatkala melihat siluet seorang pria paruh baya yang turun dari tangga sana bersama wanita paruh baya, mereka berdua tampak sudah beruban, tetapi langkah berjalan mereka terlihat sehat-sehat saja.

Satu hal yang Maura suka dari rumah ini ialah keharmonisan. Maura bisa merasakan keharmonisan dalam rumah ini. Apalagi interior dan desain rumah ini sangat unik, interior yang sangat langka. Juga desain yang belum pernah Maura lihat, terutama di bagian langit-langit rumah tersebut.

"Kau selalu mengejutkan kami berdua, El. Pulang dari Boston kau mengabarkan segera menikah, apa yang membuatmu ingin segera menikah?" tanya wanita paruh baya berumur itu saat sampai di hapadan Adelard dan Maura.

Maura merasa keanggunan dan lemah lembut dari wanita itu masih sangat kentara. Wajah keriputnya masih tampak anggun, senyum ramah terukir di wajah saat menyapa Maura.

"Kenapa hidupku selalu dipermasalahkan? Terserah diriku ingin menikah atau tidaknya, aku sudah memutuskan," balas Adelard tak bersahabat.

Sontak saja Maura mencubit pinggang Adelard, sangat tidak sopan berbicara seperti itu kepada orang tua. Sementara Heni—nenek dari Adelard hanya mengulas senyum menatap kedekatan Maura dan Adelard.

"Sepertinya kali ini aku setuju dengan pilihanmu, El." Heni terkekeh pelan, menatap sang suami meminta persetujuan.

"Kau tidak ingin mengenalkan calon istrimu kepada kami?" tanya Hadian mencoba beramah-tamah kepada cucunya.

"Ini calon istriku namanya Maura. Maura ini Oma dan Kakekku." Adelard memperkenalkan mereka dengan malas.

"Jangan hiraukan dia, dia memang seperti itu. Lebih baik kau ikut denganku, aku ingin menunjukkan sesuatu pada.u sebelum pernikahan tiba." Oma Heni menarik tangan Maura menjauh dari Adelard, sedangkan Maura bingung harus menanggapi bagaimana.

Terpaksa dia hanya mengikuti langkah Oma Heni yang membawanya ke lantai 2 sana. Sementara di lantai 1, Hadian tampak sedang membicarakan sesuatu dengan Adelard sampai duduk di sofa ruang tamu.

"Bagaimana kabar ibumu?" tanya Hadian.

"Dia lebih baik setelah berpisah dari lelaki bajingan itu," balas Adelard sekena.

"Jangan katakan dia bajingan, El. Dia adalah ayahmu."

Adelard tak menjawab, sangat muak rasanya bertemu dengan sang kakek apabila ditengah-tengah mereka membicarakan tentang ayah kandung Adelard.

"Kenapa kau ingin segera menikah? El yang aku kenal tidak seperti sekarang ini," ujar Hadian lagi.

Adelard menatap tajam ke arah sang kakek, seulas senyum seringai terbingkai di wajahnya. "Bukankah kau yang selalu memaksaku agar segera menikah? Agar nanti harta warisanmu tidak jatuh ke tangan anak bajinganmu itu."

Hadian mengembuskan napas kasar, susah rasanya memberitahu Adelard mengenai kesalahpahaman 15 tahun silam. Apalagi selalu ada konflik panas pada saat mereka menggelar makan malam perkumpulan keluarga. Konflik antara Adelard dengan ayah kandungnya sendiri.

"Ternyata keras kepalamu tidak hilang-hilang. Senoga saja perempuan itu bisa meluluhkanmu," ucap Hadian menyerah.