Maura benar-benar seperti sedang bermimpi saja. Berada di antara keluarga kaya raya, dia yang terlahir sederhana dan ekonomi yang berkecukupan merasa beruntung. Seolah-olah dia berterima kasih pada Tuhan karena telah membawa dia pada Adelard. Jika saja dia tidak bertemu, mungkin sekarang Maura sudah menjadi seorang pelacur. Lalu hidupnya terasa tak tenang dan penuh dengan penyesalan.
"Kau sedang lihat apa, Maura? Ayo, pilih baju pengantinmu. Kau suka yang mana?"
Suara lembut dari Jilva membuyarkan lamunan Maura. Dia menoleh ke samping kiri, melihat Jilva tengah antusias memilihkan berbagai dekorasi untuk pernikahannya dengan Adelard. Beruntung karena Tuhan mempertemukan Maura dengan Jilva, sosok wanita paruh baya yang lemah lembut, penuh senyuman, dan baik. Seakan-akan dia sedang bertemu dengan sang ibu kandung.
"Perempuan kampung seperti dia, mana cocok memakai gaun yang mahal," sahut Ola sembari menatap lekat dirinya di cermin. Membalikkan tubuh melihat gaun yang dipakai dari pantulan bayangannya.
Sontak saja Maura langsung mengangkat kepala menatap pada Ola. Dia sadar sedari awal perjamuan makan malam berlangsung, Ola---Ibu tiri dari Adelard---tidak menyukai kehadirannya. Bahkan saat dia tidak sengaja berpas-pasan dengan wanita glamor itu, telinganya tak jauh mendengar kata-kata hinaan yang terlontar.
"Jaga sikapmu, Ola! Dia menantu keluarga Malik. Seharusnya sebelum kau mengatakan sesuatu yang buruk, kau mesti intropeksi dirimu terlebih dulu," ujar Jilva mengulas senyum mengejek.
Maura menelan ludahnya sendiri. Merasa kalau suasana di antara mereka tidaklah mengenakkan. Kedua wanita paruh baya itu terlihat tidak akur satu sama lain. Kemungkinan saling membenci. Sangat kentara dari sorot mata keduanya; saling bermusuhan dan tidak menyukai satu sama lain.
"Sudah, Ibu. Tidak perlu dibalas lagi." Maura tersenyum tipis. Merasa sungkan untuk menjadi pihak penengah. "Oh, ya. Bagaimana dengan gaun yang ini? Bukankah ini terlihat sangat cantik?" imbuh Maura sembari menunjuk pada foto gaun sederhana, tetapi terlihat elegan.
Ola yang merasa kalah berdebat, hanya mengembuskan napas kasar. Dia berjalan menjauh sembari menghentakkan kaki. Padahal dia berharap bisa menjodohkan Adelard dengan perempuan pilihannya, agar suatu hari menantu pilihannya bisa diajak kerja sama ataupun berbelanja seperti mertua dan menantu pada umumnya. Kalau dilihat-lihat, Maura bukanlah tipe menantu idaman Ola.
"Mungkin sekarang kau merasa senang, karena diterima di keluarga Malik. Lihat saja nanti, akan kubuat hidupmu seperti neraka setelah menikah nanti," gumam Ola, berjanji pada dirinya sendiri.
***
Seharusnya hari ini, Adelard menemani sang ibu dan calon istrinya memilih pakaian pengantin mereka. Namun, karena masalah perusahaan atas namanya sendiri, membuat Adelard mesti menangani dan turun tangan sendiri demi bisa menyelesaikan masalah dalam perusahaan nya. Selama rapat yang dihadiri, dia tak henti-hentinya melihat ke arah layar ponsel. Berjaga-jaga takut sang Oma mengabari ataupun pesan dari Maura.
"Jadi, dalam sebulan target penjualan dari produk kita bisa mencapai 87%. Itupun dengan cara promosi bersama maskot dari produk kita."
Adelard mengelus dagunya. Mendengarkan dengan khusyu apa yang disampaikan oleh Dzikri mengenai produk minuman yang akan di launching bulan depan. Namun, pikiran Adelard malah tertuju pada Maura. Wajah lugu dari perempuan itu seakan-akan terekam dengan jelas diingatan Adelard.
Bahkan saat perempuan itu tersenyum dan juga menangis. Gejolak rasa aneh selalu saja singgah kala wajah Maura terlintas dalam ingatan Adelard. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Adelard memikirkan seorang perempuan selain ibunya sendiri.
"Pak Adelard, Pak Adelard!"
Tepukan di bahu membuyarkan lamunan Adelard. Membuat dia menoleh mendapati sang sekretaris tengah menatap dengan bingung. Lalu mengedarkan pandangan ke sudut ruang rapat, semua staf eksekutif dan karyawan juga tengah menatap dengan heran. Tidak biasanya sosok Adelard yang dikenal selalu fokus dan disiplin dalam rapat, malah tak fokus selama rapat berjalan.
"Kalian atur saja. Saya hanya menerima laporan akhirnya. Rapat hari ini saya nyatakan telah selesai." Setelah mengucapkan kalimat itu. Adelard beranjak dari kursi kebesarannya dan berjalan menuju pintu meninggalkan ruang rapat.
Dia juga tidak mendengarkan panggilan dari salah staf eksekutif yang membantah mengenai hasil rapat mereka. Sungguh, dia sangat malu karena tidak fokus dengan bisnisnya. Dia memijat pelipis yang terasa sedikit pening, memilih duduk di sofa tamu setelah sampai di ruangan pribadinya.
Embusan napas kasar terdengar. Bagi Adelard menjalani perusahaan besar di tengah ibukota sangatlah melelahkan. Apalagi dia mengambil alih tiga perusahaan sekaligus. Belum lagi bisnis gelap yang tengah dijalani bersama dua sahabat karibnya. Ternyata menjadi kaya itu tidaklah enak, apalagi menjadi miskin. Ah, Adelard sering kali mengeluhkan hidup. Seharusnya dia bisa lebih bersyukur memiliki kehidupan yang layak.
Dering panggilan masuk mengambil alih fokus Adelard. Segera dia mengecek nama panggilan yang tertera di layar monitor ponselnya. Lalu menggeser tombol hijau menjawab panggilan dari Maura. Perempuan itu sudah memiliki ponsel pemberiannya agar keduanya bisa saling terhubung.
"Tidak, kamu tidak menganggu," ucap Adelard.
"Baiklah. Aku takut menganggu kamu bekerja. Aku cuma ingin tanya, kamu pulang jam berapa? Soalnya Oma nanyain kamu terus-menerus," kata Maura dari seberang telepon sana dengan lelahnya.
Adelard menarik sudut bibir dengan tipis. Pasti Maura sedang kesusahan menangani sang Oma. Adelard melirik arlojinya sekilas, guna mengingat ada jadwal apa aja hari ini.
"Kamu sedang ada di mana?" tanya Adelard beranjak dari duduk. Berjalan ke arah meja kebesarannya untuk mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja.
"Di butik keluarga kamu. Eum ... SJ28 namanya kalo enggak salah. Kamu bakalan ke sini?" tanya Maura masih di seberang telepon sana dengan nada ingin tahu.
"Iya. Tunggu, lagian di sini sudah tidak ada pekerjaan lagi."
Setelah mengucapkan salam perpisahan. Maura menutup sambungan telepon tersebut. Adelard langsung melangkah keluar dari ruangan pribadinya. Menyusul Maura yang sedang berada di butik bersama sang Oma dan ibu. Pasti keluarganya tengah heboh memilih berbagai pakaian untuk acara pernikahannya nanti.
***
Maura menatap bayangan dirinya di cermin besar. Gaun yang dikenakan begitu pas di tubuh. Gaunnya pun terlihat cantik dan elegan, dengan bahu yang terekpos seperti huruf V. Belum lagi di dekat pinggang terdapat renda-renda mutiara dan mengembang panjang ke lantai. Maura tidak menyangka bisa memakai gaun secantik ini. Sorot matanya tertuju ke arah liontin serta cincin pemberian keluarga Adelard. Lagi-lagi dia merasa sedang bermimpi.
"Kamu begitu cantik, Mau."
Suara berat milik Adelard mengejutkan Maura. Dia menatap ke arah cermin, di mana terdapat pantulan bayangan Adelard yang berdiri di belakangnya.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Adelard berjalan mendekat dan berdiri di samping Maura.
Maura mengulas senyum kecil. "Rasanya benar-benar seperti mimpi bisa mengenakan gaun secantik ini," imbuh Maura dengan rasa harunya.
Adelard ikut tersenyum. Memandang lekat wajah Maura dari samping. Rasa aneh yang sempat Adelard kubur, kini kembali menyeruak dalam benak. Semakin Adelard menyangkal, maka rasa aneh itu malah semakin menjadi dalam benaknya.
"Ini bukan mimpi. Bukalah matamu, Mau. Rasakan dan nikmati apa yang sedang kamu dapat. Asalkan kamu tahu saja, gaun ini terlihat biasa saja. Tetapi saat kamu yang mengenakannya, maka gaun itu malah menjadi semakin cantik. Sama halnya dengan orang yang mengenakan gaun tersebut."