Sesuai dengan janji di telepon beberapa jam yang lalu, Adelard dan Abay saling bertemu di parkiran TPU. Keduanya begitu serius membahas perihal barang ekspornya yang di sita oleh negara seberang. Sepertinya barang yang di sita d sana, ada campur tangan dengan Xander. Hanya laki-laki itu yang mengetahui mengenai bisnis dan ke mana barang itu akan dikirim.
"Tuan yakin Mobei ada di Chicago?" Abay bertanya sembari menatap lekat sang bosnya.
Adelard yang sibuk memeriksa beberapa dokumen yang dibawa oleh Abay, mendongak sekilas. Dia sangat yakin bahwa Mobei ada di sana, terlebih lagi di kota itu jugalah persahabatan antara dia dan Mobei terjalin. Mungkin saja laki-laki itu ingin mengenang bagaimana awal pertemuan mereka serta membawa kabur uang perusahaan.
"Aku sangat yakin. Kau sudah persiapkan segalanya untuk aku pindah ke sana? Aku tidak ingin ibu mengetahui masalah kepindahanku," ujar Adelard.
"Pindah?" Suara Maura menyahut, terkejut mendengar ucapan Adelard tanpa sengaja, "siapa yang akan pindah?" Maura bertanya, menatap satu per satu dari kedua laki-laki itu.
Abay menunduk hormat kepada Maura, melangkah mundur menjauh tidak ingin ikut campur dengan masalah tuan dan nyonyanya. Sementara Adelard mengembuskan napas kasar. Jika dia tidak terlahir kaya, mungkin dia tidak akan mengalami semua masalah seperti ini.
Tidak mudah menjalani hidup sebagai orang kaya, yang selalu tak puas dengan hasil yang didapatkan. Bahkan dia memiliki beberapa anak perusahaan yang memiliki kasus hal serupa seperti sekarang ini. Belum lagi bisnis gelap yang dijalani tanpa sepengetahuan sang kakek. Adelard hanya mencoba, tetapi lama-kelamaan malah kelelahan sendiri hingga berbagai musuh dari bisnis mulai terlihat.
"Kita akan pindah ke Chicago, Honey," ucap Adelard begitu lembut, mengukir senyum manis di wajah.
Maura menatap wajah tampan di bawah teriknya matahari. Adelard benar-benar memesona, apalagi jika memakai kacamata hitam yang bertengger di hidung. Membuat laki-laki itu menjadi pusat atensi orang yang tengah berlalu-lalang.
"Kenapa jauh sekali? Rumah kamu yang di sini bagaimana?" Maura menatap bingung, pasalnya rumah milik Adelard saja sudah sama besarnya milik Heni.
"Aku enggak mau pindah dari sini. Aku masih ingin tetap berada di sini, bersama Oma dan eyangmu," lanjut Maura.
Adelard menatap lekat dengan mulut yang terbungkam. Embusan napas kasar menguar, dia berkacak pinggang. Melangkah mendekat ke arah Maura, kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di hidung. Kini terlepas dan berakhir di kantung celananya.
"Aku ada urusan di sana, Mau. Kau yakin ingin kutinggal di sini? Jika aku meninggalkanmu di sini, apa kata Oma nanti? Dan pasti si wanita ular itu akan merasa bahagia karena aku meninggalkanmu di sini," papar Adelard dengan seulas senyum tipis di wajah.
Maura bergeming, dia belum siap kalau ditinggal pergi oleh Adelard. Ya, meskipun pernikahan mereka didasari oleh kontrak, tetapi tidak baik kalau seandainya sang suami pergi jauh. Bahkan sampai berbulan-bulan.
"Permisi, Tuan. Mohon maaf apabila saya mengganggu." Abay kembali mendekat, dia ingin memberitahukan perihal berita yang dibawa oleh Fahri.
"Ada apa?" Adelard mengerutkan dahi dengan bingung. Menatap lurus ke dalam bola mata Abay.
"Saya mendapatkan laporan dari Fahri bahwa anak perusahaan milik Tuan Hadian jatuh ke tangan Xander. Kini perusahaan itu sudah dikelola oleh Xander."
"Maksudmu perusahaan yang sempat akan jatuh bangkrut?"
Sontak saja Abay mengangguk mengiakan. Adelard mengembuskan napas kasar, memijat pelipis yang terasa pening. Salah satu perusahaan yang dibangun hasil kerja kerasnya kini terjatuh ke tangan adik tiri Adelard.
"Sudahlah biarkan saja. Kita fokus dulu ke barang yang tersita itu. Kau sudah menghubungi Jovan bagaimana situasi di sana?" tanya Adelard lagi, dia tidak ingin mengalami kerugian lagi. Terlebih lagi kerugian dari barang yang tersita bisa mencapai miliaran rupiah.
Maura hanya menyimak, dia benar-benar tidak paham dengan topik yang dibicarakan oleh sang suami. Tentang bisnis, properti, dan barang. Sungguh, membuat Maura menjadi terlihat bodoh di antara mereka.
***
Selama perjalanan sampai di rumah Oma Heni, Maura dan Adelard sama-sama saling mendiami. Ingin memulai pembicaraan terlebih dulu rasanya sungkan. Lagi pula laki-laki itu sedari tadi sibuk dengan laptop hingga menelepon seseorang sebanyak lima kali.
Langkah Maura memelan saat sampai di depan kamarnya, kamar yang menjadi saksi kebersamaan dengan Adelard. Haruskah dia menurut kepada sang suami dan mengiakan pindah ke Chicago? Dia benar-benar bingung, masih belum ingin pergi jauh.
"Wanita seperti dia seharusnya menjadi pembantu saja, mengapa harus menjadi menantu?"
Samar-samar Maura mendengar suara seorang wanita tengah membicarakannya. Tanpa mengetahui nama saja, Maura sudah menduga. Bahwa dirinya kini tengah menjadi bahan perbincangan pelayan serta ibu mertua dari Adelard, bukan ibu Jilva melainkan Ola—ibu tiri Adelard.
"Entah bagaimana dan seperti apa mereka bertemu," ujar wanita setengah baya dengan pakaian pelayan.
Tumbenan sekali Ola terbiasa berbincang dengan salah seorang pelayan di sana. Terlebih lagi ada satu perempuan berpakaian seksi di samping Ola sedang meneguk teh. Maura mengerutkan dahi, tidak mengenali siapa perempuan itu. Bahkan tidak melihat di pernikahannya kemarin.
"Aku kasihan pada Adelard menikah dengan wanita yang tidak tahu asal-usulnya. Benar-benar mengejutkan saat aku mendapatkan kabar bahwa dia akan menikah." Perempuan itu berkata begitu iba. Ada nada kecemburuan dalam kalimat itu.
"Dari penampilannya saja, dia sudah tak cocok dengan Tuan Adelard. Hanya nyonya muda yang cocok," sahut sang pelayan mengompori.
"Tentu saja. Kecantikan seorang Frida tidak ada tandingannya. Lagi pula, Adelard akan meninggalkan wanita itu segera. Aku sangat mengenal dia sedari kecil," tutur perempuan bernama Frida itu dengan angkuhnya.
Maura merasa seperti jadi orang bodoh yang mendengar perbincangan mereka menjelekkan dirinya. Ternyata begini rasanya menjadi menantu keluarga orang kaya yang belum direstui oleh Mama tiri dari sang suami.
"Hei, Ola! Jika kau ingin bergosip di rumahku, lebih baik kau pulang sana!" Suara Heni menggelegar di ruang santai itu dengan tatapan nyalang.
Buru-buru Maura pergi dari sana memasuki kamarnya. Menduduki diri di ranjang sembari melamunkan banyak hal, terutama tentang permintaan Adelard yang menginginkan menetap di Chicago. Maura merasa Adelard ke sana bukan semata-mata untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ada sesuatu hal yang besar tengah menunggu di sana, Maura merasakan firasat yang tak baik.
Padahal mereka baru saja menikah, tetapi Maura sudah merasakan ketakutan jika nanti Adelard benar-benar pergi. Mungkin ini karena efek ditinggal kedua kalinya oleh orang terkasih; Ibu dan Ayah. Maura merasa sendirian, dia kesepian, sampai takut kehilangan Adelard.
Dia tidak tahu harus memulai dari mana, setiap kali berada di dekat laki-laki itu dia merasakan kenyamanan. Bahkan merasa aman, bahwa Adelard akan menjaganya.
"Perasaan apa ini, Ya Tuhan?" tanya Maura pada batinnya sendiri.