Kilau cahaya matahari masuk melalui celah jendela kamar Adelard. Laki-laki itu setia di samping ranjang sembari membocorkan lekat wajah sang istri tengah duduk. Begitu nyenyak dan polos di mata Adelard. Ada rasa aneh menggerayangi benak saat mengingat kejadian, membuat dia mengulas senyum kecil.
Ini yang pertama bagi Adelard merasakan sesuatu yang asing dalam hidupnya. Sudah lama dia tidak dekat dengan seorang perempuan mana pun. Sekalinya dekat, langsung pada proses pernikahan. Antara beruntung atau tidak, tetapi dia sangat bersyukur memiliki Maura. Sampai dia melupakan niat awal menikah dengan Maura itu karena apa.
Adelard mengelus pelan pipi Maura yang masih saja dijalankan. Tubuh Maura menggeliat merasakan elusan tersebut, bahkan wanita itu malah menarik selimut sampai menutupi wajah. Membuat Adelard mengayun pelan sembari mengulum senyum. Sungguh, sangat menggemaskan.
Dia melirik ke arah jam dinding di depan sana, yang menunjukkan pukul delapan pagi. Sang istri masih saja, masih nyenyak dengan mimpi indahnya. Adelard menarik selimut yang menutupi wajah Maura, mengecup pelan bibir wanita itu.
Merasa terganggu dengan kecupan lembut di bibir, membuat Maura membuka mata secara perlahan. Tubuhnya menegang melihat Adelard tengah mencium pemandangan. Sontak saja, dia beranjak bangun dari duduk sambil mendorong pelan dada Adelard.
"Sudah bangun? Tidurmu seperti kebo juga, ya," ucap Adelard mengelus puncak kepala Maura.
Maura yang masih belum sepenuhnya sadar, tercengang dengan perlakuan kecil yang dilakukan oleh Adelard. Dia mengucek-ucek mata secara perlahan. Coba menetralisir jantungnya yang bertalu.
"Malah bengong. Ini sarapan dulu," kata Adelard sambil membawa nampan berisi dua roti berselai cokelat dan segelas susu.
Maura tak berkedip sama sekali melihat kehangatan yang diberikan oleh Adelard. Bahkan laki-laki itu terlihat segar dan rapi dengan pakaian santainya. Padahal Maura sering kali melihat Adelard memakai jas. Dia pikir laki-laki itu tidak memiliki pakaian santai seperti kaos ataupun celana pendek.
"Cuci muka dulu sama gosok gigi. Baru aku makan," ujar Maura sembari beringsut ke tepi kiri dan melangkah ke kamar mandi.
Adelard hanya membocorkan punggung wanita itu yang dibalut oleh selimut. Kemudian, mengambil nampan yang tadi ada di atas ranjang dan melangkah menuju sofa yang tersedia di kamar. Menaruh nampan itu ke atas meja sambil menunggu Maura selesai di kamar mandi.
Jangan lupa juga untuk mengecek laporan dari Abay serta Fahri mengenai perkembangan perusahaannya. Adelard mengembuskan napas pelan saat membaca sebuah artikel yang dikirim oleh Aera. Berita tentang pernikahannya dengan Maura kini sedang tranding topik di media sosial. Padahal dia hanya mengundang beberapa wartawan saja.
Tangan Adelard terhenti saat meng-scroll beranda media sosialnya, terutama Instagram. Matanya menajam melihat foto dua orang laki-laki tengah menghadap ceria ke kamera dalam sebuah pesta. Adelard mengenali salah satu dari laki-laki itu. Salah satunya merupakan buruan Adelard selama ini. Orang yang telah memimpin dan membawa lari uang perusahaan.
"Mobei. Berani sekali dia berbisnis dengan Glencio," gumam Adelard.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan menangkap Mobei. Adelard menghubungi Jordan untuk mencari tahu tempat tinggal Mobei di Chicago. Dia tidak akan tinggal diam bila musuh bebuyutan sudah ketemu. Tak hanya Jordan yang dihubungi, Abay pun sama, namun dengan tugas yang berbeda yakni mengambil kembali alih perusahaan yang pernah diambil oleh Xander.
Entah mengapa Adelard memiliki firasat, kalau Xander dan Mobei memiliki keterkaitan dengan dirinya. Adelard pun tidak tahu lebih jauh mengapa mereka begitu ingin membalas dendam. Saling menjatuhkan pula.
"Apa ada masalah?"
Adelard mendongak mendengar suara lembut dari Maura. Wanita itu berdiri di hadapannya dengan pakaian modis. Maura bukan cuci wajah dan gosok gigi, tetapi juga mandi.
"Duduklah," kata Adelard sembari melihat pelan sofa yang ada di sampingnya.
Maura menurut, dia duduk di samping Adelard. Mulai mengambil alih roti dalam genggaman yang diberikan oleh laki-laki itu.
"Kamu sendiri sudah sarapan?" tanya Maura. Dia sempat melirik jam dinding, merutuki diri yang bangun terlambat.
Seharusnya ini hari pertama, dia memasakan sarapan untuk Adelard. Akan tetapi, malah sebaliknya. Adelard yang memberikan sarapan.
"Sudah tadi."
"Aku bangun telat ya?"
"Iya, kayak kebo," balas Adelard dengan tak pernah lepas dari wajah Maura.
Rasanya pipi Maura terasa panas bila ditatap sedemikian lekat. Apalagi dia merasa sungkan untuk menyuapi roti ke dalam mulut. Kalau ditatap seperti itu.
"J-jangan liatin. Aku malu."
Adelard menarik sudut bibir mengulas senyum tipis. Kemudian mengacak-acak puncak rambut Maura. Hal tersebut membuat jantung Maura kembali bertalu dan diingatnya merasakan kehangatan serta rasa nyaman.
Adelard benar-benar sudah memporak-porandakan hati Maura. Dia pikir Adelard itu laki-laki dingin dan datar, kala pertemuan awal mereka. Namun, makin ke sini, sikap Adelard sungguh berbeda. Begitu manis, perhatian, dan lembut seperti seorang laki-laki romantis. Kadang-kadang juga dingin dan datar.
Entahlah, Maura bingung harus mendeskripsikan bagaimana perasaannya saat berada di sisi Adelard. Jika memang ini sudah menjadi takdir Maura, maka dia akan menerima dengan senang hati. Jika suatu hari nanti keduanya berpisah, kemungkinan Adelard adalah jodoh yang sebenarnya. Maura hanya berharap bahwa pernikahan kontrak selama dua tahun ini, bisa memanjang sampai hayat.
Sarapan yang diberikan oleh Adelard sudah dihabiskan. Maura menatap laki-laki itu dari samping, tengah bermain ponsel. Sejujurnya dia penasaran dengan kehidupan Adelard. Ingin tahu lebih jauh. Mengapa laki-laki itu sangat membenci Xander dan ibu tirinya
Apa pekerjaan yang sedang digeluti oleh sang suami. Walaupun pada kenyataannya, dia tahu pekerjaan apa.
Adelard merupakan cucu dari Hadian Malik. Si pemilik perusahaan besar yang berkembang di Indonesia. Mengarahkan besar, Adelard merupakan pimpinan, direktur, ataupun CEO. Laki-laki itu bisa di salah satu jabatan tersebut.
"Aku tahu, kalau aku tampan," ucap Adelard sambil menoleh pada Maura.
Maura menunduk sembari memainkan jemarinya. Lalu tangan tersebut ditarik oleh Adelard, hingga digenggam.
"Jika kontrak dua tahun kita berakhir bagaimana?" Pertanyaan itu lolos begitu saja. Namun, bagi Maura itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan.
Maura bergeming. Jika dia mengiakan, maka uang yang sudah dibayarkan untuk membiayai pengobatan sang ibu adalah halal. Meskipun demikian dia mendapatkan cara yang salah. Bahkan nanti, Maura malah banyak berutang Budi pada Adelard.
"Aku tidak merasa tidak enak jika dibatalkan. Kamu banyak memberiku uang sebanyak dua miliar untuk membayar utang dan biaya ibuku. Aku tidak mau membayar beban seperti itu," balas Maura.
"Jadi, kamu menginginkan pernikahan ini berakhir dalam waktu dua tahun?" Adelard membocorkan Maura dengan intens. Dia pernah membahas ini, bahwa dia tidak akan pernah melepaskan.
"Aku tidak mau, kamu yakin bahwa pernikahan ini terjadi karena kontrak. Aku ingin kamu mengingat pernikahan ini sebagai rasa keinginanmu sendiri," seru Adelard.
Hati Maura menghangat. Bahkan gejolak rasa yang sempat dienyahkan, kembali singgah. Membuat Maura lupa seketika dengan tujuan menerima pernikahan tersebut.
"Kenapa?" Hanya satu kata yang bisa diucapkan oleh Maura. Dia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pemikiran laki-laki itu.
Seingat Maura, Adelard meminta menikah dengan kontrak dua tahun. Setelah waktu yang berakhir, maka laki-laki itu akan melepaskan dirinya. Namun, sekarang, Adelard malah mengatakan hal yang sebaliknya.
"Aku tidak ingin melepaskanmu. Bahkan aku sudah berjanji pada ibu untuk tetap ada di sampingmu. Aku tidak ingin mengingkari janjiku dan aku memiliki motto hidup, yakni menikah satu kali."
Adelard merupakan salah satu manusia yang memegang teguh janjinya. Bahkan dia sangat benci pengingkaran janji. Maka dari itu, dia tidak ingin mengingkari. Apalagi mengecewakan ibu, kalau dua tahun mendatang akan berpisah dengan Maura.
"Menjalani tanpa cinta?"