"Menjalani tanpa cinta?"
Tiga kata itu terlontar begitu saja. Maura menatap lekat wajah Adelard. Jantung berdegup dengan cepat. Manik mata Adelard begitu candu untuk tetap di pandang. Pancaran binar teduh dan hangat membuat Maura enggan mengalihkan pandangannya dari mata laki-laki itu.
"Kamu tahu, kalau cinta bisa saja datang secara tiba-tiba. Dan kamu percaya akan hal itu?"
Maura hampir saja pingsan mendengar kalimat tersebut. Belum lagi dengan senyuman manis yang terbingkai di wajah Adelard. Benar-benar manis dan memabukkan. Lagi-lagi, dia hanya bisa menelan ludahnya sendiri sembari menunduk. Berusaha menetralisir degupan jantung.
"Aku suka wajahmu yang memerah seperti itu," ujar Adelard.
Maura merasa bahwa ruang kamar ber-AC itu kini kian memanas. Bolehkah, Maura baper dengan ucapan Adelard? Terdengar begitu manis dan penuh perhatian. Sampai dia bingung sendiri mesti menjawab bagaimana. Rasanya Maura seperti lupa akan awal mula bagaimana dia bisa menikah dengan Adelard.
"Ibumu memanggil," ucap Maura mengalihkan pandangannya dari Adelard ke arah lain.
Adelard tertawa kecil melihat Maura yang salah tingah, benar-benar menggemaskan. Sontak saja dia mencubit pipi Maura dengan gemas dan menarik tubuh wanita itu dalam pelukannya. Adelard sendiri tidak tahu mengapa dia melakukan hal seperti itu. Jika boleh jujur untuk saat ini, dia merasa sangat bahagia. Hari-harinya mendadak lebih berwarna.
Jantung Maura hampir saja copot sekarang juga. Pelukan tersebut terlepas, lagi-lagi yang bisa dilakukan oleh Maura hanya diam dengan terkejut. Dia beranjak dari duduk, bersiap untuk melangkah keluar. Namun, ucapan Adelard membuat langkahnya terhenti.
"Kamu bilang apa?"
"Ada tempat yang ingin kamu kunjungi tidak?" Adelard mengulang kembali pertanyaannya sembari bersandar di sofa sekaligus menatap ke arah Maura.
Maura bergeming sejenak. Dia tak memiliki tempat apa pum, selain ingin berziarah ke makam sang ibu. Sudah lama dia tidak berziarah, bahkan hampir tidak sama sekali. Mengingat dia tidak memiliki keberanian untuk meminta izin pada Adelard.
"Jika ada, jangan sungkan untuk memberitahuku," ucap Adelard mengulas senyum manis.
Maura membalas senyuman tersebut. Lalu berkata, "aku ingin mampir ke makam ibuku. Apakah boleh?"
"Tentu saja. Sore nanti kita akan berziarah. Kamu bersiaplah," kata Adelard.
Maura mengangguk dan kembali melangkah menuju pintu sembari membawa nampan. Keluar dari kamar, berjalan menelusuri lorong menuju lantai satu. Rumah yang sedang ditempati begitu besar dan mewah, kamar Adelard terdapat di lantai dua, lebih tepatnya diujung melewati berbagai lorong.
"Ibu memanggil aku?" Setelah sampai di dapur, Maura menaruh nampan tersebut di dekat wastafel. Lalu kembali ke hadapan Jilva yang tengah memakan buah.
"Iya, tadi aku memanggilmu. Aku hanya ingin memberimu ini," ucap Jilva sembari mengambil paper bag yang ada di atas meja ke hadapan Maura.
"Apa ini?" Maura menerimanya, mengintip sekilas isi dari papar bag tersebut.
"Itu gelang tangan berliontin bintang laut. Dulu, ibuku memberikannya padaku, tetapi sekarang ... sepertinya aku tidak membutuhkan. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan menyerahkan kalung tersebut untuk menantuku kelak. Kini kamu adalah menantuku, jaga baik-baik gelang itu."
"Ta–tapi, B–bu ...."
"Aku tidak ingin kamu menolaknya, Mau. Entah mengapa saat melihatmu, aku sudah menyerahkan semua tanggung jawabku padamu untuk mengurus Adelard. Dan aku tidak ingin merepotkan Adelard lagi, jaga dia dan marahi dia apabila membuat kesalahan."
Sungguh, Maura merasa beruntung memiliki ibu mertua seperti Jilva. Baik hati dan lemah lembut. Masih untung, di keluarga Malik ada yang mau menerima selain Heni dan Hadian. Padahal dulu dia tidak berharap apa-apa, apalagi berharap bisa mendapatkan suami dan keluarga baik-baik.
***
Sesuai dengan janji yang diucapkan Adelard pagi tadi. Dia mengajak Maura untuk berkunjung atau berziarah ke makam sang ibu. Mendoakan serta memberi restu akan pernikahannya. Sejujurnya, ada niat lain di balik mengajak Maura keluar. Adelard memiliki janji dengan Abay untuk bertemu di lokasi TPU tersebut. Membahas masalah penting mengenai perkembangan pengiriman barang yang kini sedang ditahan oleh pemerintah negara seberang.
"Gelangmu cantik. Bintang laut," ucap Adelard kala menyadari benda putih berkilau di pergelangan tangan Maura.
Maura melirik sekilas sembari mengulas senyum kecil. "Pemberian Ibumu. Jadi, istri orang kaya ada enaknya, ada tidaknya, ya," imbuh Maura menatap ke depan sana.
Alis Adelard berkerut tak paham dengan maksud Maura. Aneh, satu kata yang ada dalam benak Adelard. Setiap perempuan yang mencoba mendekatinya selalu ingin hartanya. Mungkin jikalau mereka berada di posisi Maura akan merasa senang luar biasa.
"Mengapa begitu?"
"Ya ... enaknya bisa hidup leha-leha tanpa lelah, makan enak, dikasih barang mewah. Tidak enaknya, pasti ada aja kerabat yang tidak suka, iri, rawan perselingkuhan." Bagian kalimat terakhir, Maura mengucapkan dengan nada pelan.
"Kamu takut aku selingkuh?"
Maura tak menjawab. Dia hanya menunduk memainkan tautan jemari. Namun, Adelard malah mengambil tangan kanan Maura untuk digenggam.
"Aku tidak akan mengingkari janjiku. Aku tidak akan berselingkuh."
"Mulut bisa saja bohong serta hati bisa berubah kapan saja," balas Maura.
Adelard tak membalas lagi. Hanya tawa kecil yang terdengar. Setelahnya hanya kebisuan menemani selama perjalanan. Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya mobil Pajero putih milih Adelard terparkir di area parkir TPU.
Laki-laki itu turun dari mobil dengan kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Tidak lupa juga dengan jas yang melekat di tubuh tegap Adelard yang digulung hingga siku. Tak heran bagi Maura melihat outfit yang dikenakan oleh Adelard saat akan keluar dari rumah.
"Di blok mana?" tanya Adelard.
"C. Aku akan memberi bunga dan air dulu. Mau nunggu apa ikut?"
"Ikut saja," balas Adelard. Melangkah mengekori Maura dari belakang ke arah tukang jualan bunga dan air.
Saat Maura sibuk membeli dan membayar. Adelard sibuk memainkan ponselnya guna menghubungi Abay untuk bertemu di area parkir.
Langkah Maura terhenti, begitu juga dengan Adelard. Berduanya berjongkok digundukan tanah yang mulai menurun. Maura mengusap pelan nisan kayu yang bertuliskan nama sang ibu. Senyum getir terbingkai di wajah kala mengingat sederet kenangan manis terlintas dalam ingatan.
"Bu, Maura datang. Maaf kalau Maura telat jenguk Ibu. Maura juga minta maaf kalau sudah menikah tanpa minta izin dari Ibu." Maura menyeka air mata yang sempat terjatuh di pipi.
"Sekarang Maura di sini, bersama suami, Maura," lanjut Maura.
Adelard mengusap pelan punggung sang istri. Membantu menaburkan bunga dan air yang dibeli ke gundukan tanah tersebut. Kemudian, berdoa satu sama lain untuk sang ibu.
"Merasa baikkan?" tanya Adelard setelah selesai membacakan doa dan mendoakan sang ibu mertua.
Maura hanya mengangguk. Mengikuti arahan Adelard yang menyuruh bangun. Keduanya melangkah menjauh, setelah berpamitan. Berjalan beriringan sembari bergandengan tangan.
Lagi-lagi, Maura merasa bahagia dengan apa yang dilakukan oleh Adelard. Berharap kebahagiaan yang didapat bisa dirasakan hingga usia pernikahan mereka beranjak dua tahun.