Setelah perjamuan keluarga selesai. Adelard mengajak Maura duduk di taman bunga yang berada di pinggir halaman belakang di mana perjamuan dilangsungkan. Dia mendorong tubuh perempuan itu untuk duduk. Lalu dirinya berlutut di hadapan perempuan itu.
Mata Maura membulat sempurna dengan sikap Adelard. Jujur saja selama ini, dia pikir kehidupannya nanti setelah menikah, tak ada cinta sama sekali ataupun keromantisan. Tak mau terlalu percaya diri, Maura mengubah raut wajah menjadi biasa saja. Seulas senyum tipis terbingkai di wajah seraya menatap Adelard.
"A–apa ini maksudnya?" tanya Maura hati-hati. Biarkan dirinya dianggap bodoh daripada harus menanggung malu akibat terlalu percaya diri dengan sikap laki-laki itu.
Adelard mendengkus pelan. Padahal dia belum selesai dengan keromantisan yang dibuatnya. Bukan tanpa alasan dia melakukan hal itu, karena dia tidak mau orang lain curiga bahwa pernikahan mereka hanya sandiwara.
"Apa pun yang terjadi setelah menikah nanti, aku tidak akan melepaskanmu. Apa lagi menceraikan dirimu.Dalam hidup, aku memegang satu janji, yakni menikah satu kali dan hidup bersama pasanganku nanti," ucap Adelard menarik tangan Maura untuk digenggam.
Maura bingung harus merespons bagaimana. Tatapan mereka saling bersitubruk. Menyalurkan asa tertahan dalam manik mata tersebut.
"A–aku—"
"Sssttt ... aku tidak mau mendengar apa pun," ujar Adelard seraya mengeluarkan kotak beludru berwarna merah, lalu membukanya di hadapan Maura. Sebuah cincin berlian dengan desain sederhana menarik perhatian Maura, kecil tetapi mewah.
Adelard memegang tangan Maura, menyelipkan cincin itu ke jari manisnya. Sungguh, Maura tak bisa berkata apa-apa lagi, dia bingung harus merespons bagaimana. Sikap Adelard sangat tiba-tiba.
"Cincin itu sangat cantik berada di tanganmu." Adelard menatap Maura dengan lekat.
Binar teduh di manik mata Adelard mampu membuat jantung Maura berdetak dua kali lebih cepat. Lidahnya kelu untuk sekadar membalas ucapan Adelard. Apalagi ditambah dengan senyum manis di wajah laki-laki itu.
"Wajahmu begitu tegang, Mau. Padahal kita belum menikah," kata Adelard yang kini mengambil tempat duduk di samping Maura.
Maura tersadar, dia membuang muka ke arah lain. Tepukan tangan dari kerabat Adelard terdengar riuh, sang nenek pun turut ikut berbahagia. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian Maura. Yakni kemasaman wajah calon ayah mertuanya. Lelaki paruh baya itu tampak tak suka dengan kedekatan dirinya dengan Adelard.
"Adel," bisik Maura menarik jas yang dikenakan oleh Adelard.
Adelard melirik sekilas dengan tatapan tajam. Panggilan dari Maura sangat menganggu indera pendengarannya. Yang benar saja dia dipanggil dengan nama tersebut. Kalau kerabatnya yang lain tak masalah saja, dia akan menerima. Berbeda kalau Maura yang mengucapkannya.
"Sepertinya ayahmu dan wanita berpakaian merah darah itu tidak menyukaiku," ucap Maura dengan pelan.
Kedekatan mereka kini menjadi bahan pertontonan Hadian serta Heni. Keduanya mengulas senyum melihat sepasang calon pengantin tengah berbisik-bisik.
"Jangan dipikirkan. Biarkan saja," balas Adelard dengan nada juteknya.
Maura mengembuskan napas kasar, mengulas senyum tipis menatap ke arah depan. Hadian dan Heni menghampiri dengan raut wajah bahagia, tak sabar melihat cucunya bersanding di pelaminan.
"Kalau boleh jujur, Eyang sama Oma sangat bahagia melihat kalian berdua," ucap Heni merangkul bahu Maura.
"Mengingatkan kita akan masa muda dulu, ya, Ma?" Hadian ikut menimpali. Binar bahagia tercetak jelas di raut wajah mereka.
"Tanggal pernikahan kalian sudah ditentukan oleh Eyang juga Ibumu, Elard." Kini Heni mulai memberitahu ketetapan tanggal pernikahan keduanya.
"Secepat itu?" tanya Maura gugup. Baru saja menjadi calon, dia sudah bisa merasakan rasa sungkan. Bahkan tak pernah terpikir akan menikahi cucu dari konglomerat.
Heni menangkup wajah Maura, senyum kecil menghiasi wajah. "Tentu, sayang. Agar tidak ada perpecahan antar keluarga mengenai harta warisan Eyang," imbuh Heni.
Maura hanya mengangguk pasrah. Toh, ia sudah dibayar seharga dua miliar oleh Adelard. Ingin menolak rasanya mustahil, yang ada hidupnya akan menjadi gelandang.
"Kalian sangat serasi. Semoga semesta dan takdir Tuhan merestui hubungan ini, " ucap Hadian seraya merangkul tubuh Heni.
***
Malam perjamuan sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Namun, Maura belum bisa memejamkan mata. Seharusnya malam ini dia pulang ke rumah, tetapi rumah peninggalan sang ibu sudah diambil alih oleh sekelompok orang rentenir.
Keraguan masih menyelimuti benak. Dia sama sekali belum mengenal Adelard dan kehidupan masa lalu dari laki-laki itu. Ingin menggantungkan hidup pada laki-laki itu pun rasanya sungkan. Takut dijatuhkan saat dia sedang berada di atas.
Maura menengadah ke langit, memikirkan bagaimana ke depannya nanti. Andai saja dulu dia tak kepepet atau tidak bertemu dengan Adelard, mungkin sekarang hidupnya sudah menjadi wanita malam.
"Kau kenapa belum tidur?"
Maura menoleh mendapati suara serak dari Adelard, dia menduga bahwa laki-laki itu habis minum. Adelard duduk di kursi kosong samping Maura. Menatap begitu lekat.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Adelard. Dia masih sadar, meneliti setiap inci wajah Maura.
Maura menggeleng kecil. Enggan bertanya lebih jauh mengenai kehidupan dari Adelard. Penasaran, tetapi lebih memilih diam saja.
Adelard mendekat, membalilan tubuh Maura agar berhadapan dengan dirinya. Tangannya membingkai wajah cantik Maura, mengelus dengan pelan.
"Katakan, apa yang membuatmu ragu? Kau lupa dengan kontrak dua miliarmu?" Senyum seringai terbingkai di wajah Adelard. Tangannya masih setia membingkai wajah Maura sembari mengelus pelan.
Maura merasakan desiran aneh di tubuhnya. Memberanikan diri menatap lekat wajah Adelard. Kemudian, membuang muka ke arah lain. Membuat tangan Adelard terlepas dari pipi Maura.
Keduanya saling diam. Keheningan menyelimuti suasana malam. Terasa begitu sunyi. Tak ada yang ingin memulai pembicaraan terlebih dulu. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing serta desiran aneh yang menggelayuti benak.
"Kau ingin tahu mengenai kehidupanku?" Kalimat itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan. Sontak saja Maura melirik pada Adelard, tatapan keduanya saling bertemu dan terkunci.
"Jika kau tidak ingin beritahu. Tidak apa-apa," ucap Maura dengan senyum canggungnya.
Ada jeda panjang, sebelum Adelard berani menceritakan kehidupannya pada Maura. Sejujurnya laki-laki itu pun ragu sekadar berbagi pengalaman masa lalu pahit pada orang lain. Bahkan dia masih belum menganggap Maura calon istri sepenuh hati.
"Semuanya berawal dari perselingkuhan papaku. Kemudian berlanjut pada kecelakaan Ibu yang menyebkan kelumpuhan." Senyum kecut terbingkai di wajah kala ingatan masa lalu terlintas begitu saja.
Maura beringsut mendekat pada Adelard. Entah dia memiliki dorongan dari mana, hingga menepuk pelan bahu laki-laki itu. Mengerti bagaimana rasanya berada si posisi seperti itu.
"Tidak apa. Jangan dipaksa, kalau tidak bisa cerita. Suatu hari nanti, aku pasti tahu tentang kehidupan atau masa lalumu," ucap Maura menenangkan.
Adelard mengulas senyum kecil. Tanpa sadar, tangannya menarik tubuh Maura dalam dekapannya. Saling memeluk rasa nyaman dan aman.