Setelah memberi pelajaran kepada Erik. Adelard tak langsung pulang ke rumah, melainkan ke perusahaan yang sudah lama tak dia kunjungi. Perusahaan yang diambil kendali oleh sang kakek. Dia hanya ingin tahu bagaimana produk hasil olahan perusahaannya bisa laku di pasaran. Tak lupa juga dengan data startik keuangan, apakah semakin meningkat atau malah sebaliknya.
Langkah Adelard terhenti di lobi perusahaan miliknya. Menatap ke arah papan nama singkatan MD di belakang resepsionis sana. Seulas senyum tipis terbingkai di wajah. Tak menyangka bahwa perusahaan yang telah dilantarkannya masih terlihat sama sebelum ditinggalkan.
Karyawan-karyawati yang kebetulan sedang berlalu-lalang di sekitar lobi menunduk hormat menyadari kehadiran cucu pewaris Hadian. Adelard melangkah dengan aura karismanya menuju lift, diikuti oleh Jovan dan Abay di sisi kanan-kiri.
"Jovan," panggil Adelard memecahkan keheningan di dalam lift.
"Iya, Tuan," balas Jovan menunduk hormat.
"Ibuku sudah sampai mana? Apa akan sampai malam ini atau esok siang?"
"Maaf, Tuan. Saya tidak bisa melacak dan menghubungi Yosh. Terakhir kali berbicara, Ibu Anda mengatakan bahwa akan sampai malam ini."
Adelard mengangguk. Lift berhenti di lantai dua puluh, segera Adelard melangkah keluar menelusuri lorong untuk sampai di ruangannya. Sekretaris dan para jajaran tinggi di lantai tersebut berdiri dari duduk sambil memberi hormat. Sudah dua tahun Adelard tidak menyentuh perusahaan yang bergerak di bagian produk pakaian dan barang seperti tas.
Abay membukakan pintu ruangan Adelard. Segera Adelard memasuki ruangannya sendiri bersamaan dengan pintu yang ditutup kembali.
"Masih terlihat sama. Bagaimana caranya si kakek tua menghandle semuanya?" tanya Adelard seraya memutari meja kebesaraannya.
Menduduki diri di kursi kebesarannya, lalu membuka laptop yang berada di atas meja sana. Seulas senyum kecut terbingkai di bibir saat menemukan jejak log out dan terbukanya file penting perusahaan.
"Pantas saja perusahaan ini maju," ucap Adelard menahan amarahnya sendiri. "Campur tangan bersama pria bajingan itu." Tangan Adelard terkepal, berusaha meredakan amarahnya sendiri.
Tiba-tiba saja sekelebat memori masa lalu terlintas seperti kaset rusak. Kenangan yang susah payah Adelard hilangkan, kini malah menyeruak memenuhi pikiran.
"Ah, sial!"
***
Adelard sudah sampai di rumah setelah berkunjung je perusahaan lamanya. Tak ada minat untuk berlama-lama di sana tetlebih lagi saat mendapati kehadiran seorang pria paruh baya yang sangat dibenci—papa kandungnya sendiri. Dia lebih memilih menghindar daripada berpas-pasan dengan sang papa.
"Maura di mana, Ma?" Baru saja sampai di ruang tamu, Adelard sudah menanyakan keberadaan Maura saat sadar bahwa perempuan itu tidak ada di ruang tamu.
Oma Heni mengulas senyum penuh arti. Ia mengembuskan napas pelan. "Salam dulu baru tanyain calon istrimu itu."
Adelard berdecih. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, dia ada di kamar kamu."
"Ngapain?" tanya Adelard mengerutkan dahi.
Baru saja ingin menjawab pertanyaan sang cucu. Adelard lebih memilih menyusul Maura ke dalam kamar sana. Sementara Heni hanya menggeleng kecil melihat tingkah Adelard. Dia harus segera malapor kepada menantunya—ibu kandung Adelard.
Langkah Adelard terhenti di ambang pintu. Tubuhnya membeku di tempat menatap Maura yang tertidur di ranjang sana. Adelard berjalan mendekat, duduk di tepi ranjang dengan tatapan yang tak pernah lepas dari wajah Maura.
"Lugu," gumam Adelard.
Tanpa sadar tangannya terulur mengusap puncak kepala Maura. Sudut bibir melengkung senyuman kecil. Entah mengapa wajah perempuan itu begitu menarik apabila sedang terpejam seperti itu.
Lama menatap Maura, tiba-tiba saja tubuh Maura bergerak menandakan bahwa perempuan itu akan segera bangun. Belum sempat menyingkir, tatapan mereka saling bertemu. Bahkan terkunci satu sama lain.
Rasa gugup menyelimuti Maura. Segera dia turun dari ranjang menjauh dari Adelard. Dia berusaha memutar bola mata ke arah lain. Entah mengapa setiap kali dia bersitatap dengan Adelard, jantungnya selalu saja berdetak dua kali lebih cepat.
"M–maaf aku ketiduran. A–aku ... mau ke Oma dulu." Maura langsung berlari keluar kamar. Rasanya tak baik bila dia masih berdiri di ruangan yang sama dengan laki-laki itu, tidak baik untuk jantungnya.
Sementara Adelard masih bergeming, berusaha mencerna apa yang terjadi di sini. Lalu tanpa sadar senyuman kecil terbingkai di wajah, membuat dia jadi merindukan sang ibu saja.
***
"Apa aku sakit jantung? Kenapa setiap kali bertatapan dengan dia, jantungku berdetak lebih cepat?" Maura bermonolog sendiri seraya memegangi dadanya.
Heni yang baru saja menyelesaikan sulaman rajutnya menatap bingung kepada Maura yang kebetulan berjalan ke arahnya.
"Kamu kenapa? Elard enggak ngelakuiin hal gila, 'kan?" tanya Heni saat Maura sudah duduk di sampingnya.
Sadar dengan kalimat itu, segera Maura menggeleng keras. "Enggak, b–bukan itu."
Heni menggeleng kecil dengan mengulum senyum. "Ada-ada aja. Mau bantu Oma masak buat makan malam?"
Sontak saja Maura mengangguk antusias. Setidaknya dengan ada keguiatan, jantungnya akan kembali normal lagi. Daripada harus berbicara lebih mengenai Adelard. Sepertinya dia harus benar-benar memeriksa ke dokter tentang keluhan jantungnya.