Malam yang ditunggu oleh Maura tiba. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat tatkala mengingat bahw malam ini adalah malam perjamuan antar keluarga Adelard sekaligus acara penentuan tanggal pernikahan mereka. Sungguh, Maura tidak pernah berharap memiliki suami seorang cucu konglomerat.
Apalagi calon suaminya merupakan idola para wanita di luaran sana. Sudah tampan, mapan, dan berkarisma tentunya. Wanita mana yang tak tersihir dengan pesona seorang Adelard? Namun, Maura merasa takut dengan hubungan pernikahan ini. Adelard hanya mengontrak pernikahan ini selama dua tahun. Maura takut, takut jatuh ke dalam perangkap yang dibuat sendiri.
Tatapannya tertuju pada pantulan bayangan di cermin. Dia tidak menyangka akan memakai gaun mahal dari Oma Heni, belum lagi kalung berlian pemberian Heni sebagai ucapan bahwa dirinya merupakan menantu di rumah ini. Gaun yang dikenakan oleh Maura sangat cantik, dengan model ala princess berwarna hitam yang memiliki kerah V-neck. Juga ada renda-renda di sekitar pinggangnya. Rambutnya tergerai bergelombang, tak lupa juga dengan anting berlian kecil tersemat di telinga. Maura merasa tak mengenali dirinya di cermin sana.
Pintu terbuka, seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi roda menghampiri bersama sosok laki-laki yang akhir-akhir ini sering singgah di pikiran Maura. Maura menoleh ke belakang, mengulas senyum ramah kepada wanita paruh baya itu. Dia tahu siapa wanita itu, tangannya terulur meraih punggung tangan wanita itu. Lalu menyalami dengan takzim.
"Kau begitu anggun dan cantik. Tidak salah Elard memilihmu sebagai istrinya," ucap wanita itu dengan lembut.
Maura pikir pertemuan dengan calon ibu mertuanya tak akan berjalan dengan baik. Mengingat status dirinya benar-benar jauh berbeda dengan Adelard. Namun, dugaannya salah. Jilva—ibu dari Adelard begitu ramah, lembut, dan murah senyum. Membuat Maura jatuh hati saja.
"Jangan menggoda calon istriku, Bu. Lihatlah, pipinya memerah," ujar Adelard dibelakang kursi roda Jilva.
Jilva terkekeh pelan, merentangkan tangan menyuruh Maura mendekat. Maura mendekat ke arah Jilva, lalu berjongkok mensejajarkan tubuhnya.
Jilva mencodongkan tubuh, mencium kening Maura cukup lama. Lalu menangkup wajah Maura yang dipoles seadanya oleh make up. "Kau benar-benar lugu. Kenapa bisa Elard yang bajingan ini bisa jatuh cinta padamu?"
Adelard berdecih kesal, selalu saja dirinya disebut bajingan oleh sang ibu karena tidak mau memperkenalkan seorang wanita kepada sang ibu.
"Bisakah Ibu memuji yang baik untuk anak sendiri di depan calon istriku? Aku merasa terhina," desis Adelard.
Jilva tertawa kecil, sedangkan Maura hanya mengulum senyum. Dia kembali berdiri, tanpa sadar tatapannya tertuju pada Adelard yang memakai jas seperti biasanya. Akan tetapi, berwarna senada dengan gaun yang sedang Maura kenakan.
"Kau sangat cantik," ucap Adelard tanpa sadar.
Tiba-tiba saja pipi Maura terasa memanas. Dia hanya menunduk dan berusaha mengalihkan atensinya dari Adelard. Takut dia jatuh ke dalam pesona laki-laki itu.
"Sudah nanti dilanjut. Sekarang, mari kita turun. Para kerabat yang lain sudah menunggu." Jilva memecahkan keheningan. Sadar bahwa Maura merasa tak nyaman dengan posisi mereka.
***
Mereka berjalan beriringan, kebutulan saja kamar yang ditempati oleh Maura bukanlah kamar Adelard melainkan kamar tamu yang berada di lantai bawah. Sorot mata Maura menyapu ke sekitar, walaupun hanya perjamuan makan malam. Akan tetapi ruang tamu begitu indah didekorasi oleh banyak lampu.
Langka Maura membawa ke halaman belakang rumah di mana perjamuan tersebut di langsungkan. Sontak saja mata Maura berbinar melihat para kerabat Adelard sudah berkumpul. Ada yang sedang memanggang, mengobrol, dan menikmati minuman. Bagi Maura ini bukanlah perjamuan, melainkan pesta. Belum lagi lampu yang mengitari pohon-pohon kecil. Juga rumput hijau sebagai pijakan. Ditemani oleh rembulan dan bintang kerlap-kerlip, sungguh mempercantik suasana saja.
Tubuh Maura tersentak tatkala merasakan tangan kekar seseorang menyentuh pinggangnya. Dia menoleh mendapati Adelard sedang tersenyum manis, begitu manis kepadanya. Entah mengapa jantung Maura berdegup begitu kencang. Dia merasa seperti ada sengatan listrik di dalam tubuhnya saat Adelard mengembuskan napas diceruk leher Maura.
"Aku tahu kamu gugup. Tenangkan dirimu, genggam tanganku. Ada aku di sini," bisik Adelard di telinga Maura.
Maura mengangguk, dia mengikuti langkah Adelard yang berjalan sambil memegangi pinggang Maura. Rasa gugup dan canggung menyelimuti benak saat sampai di hadapan mereka semua.
"Woah, calon istrimu benar-benar cantik," puji seorang laki-laki berkacamata, bertubuh atletis, dan juga memiliki lesung pipi di wajah. Panggil saja Rean.
"Aku pikir Adel akan selalu menyendiri hingga tua," sahut seorang gadis dengan rambut pirang currly, panggil saja Aera.
"Sambutlah dia ... Maura. Calon menantu dari keluarga Malik sekaligus istri dari pewaris tunggal Hadian Malik." Hadian berdiri di samping Maura dengan senyum bahagia di wajah. Mau tidak mau Maura harus tersenyum menunjukkan sisi bahagianya.
"Nak, perkenalkan ini keluarga kami. Kau sudah mengenali ibu Adelard, 'kan?" Sontak saja Maura mengangguk mengiyakan.
"Dan di sebelah Omamu, dia calon ayah mertuamu—Aditio. Di sebelahnya yaitu ibu mertua tirimu namanya Ola. Dan yang memujimu tadi namanya Rean, gadis cantik ini ...." Hadian mencubit pipi Aera saat gadis itu berjalan mendekat. "Dia Aera gadis termuda di sini sekaligus adik tiri Adelard. Dan untuk selebihnya biar Oma memperkenalkanmu kepada yang lain."
Maura hanya menganguk, senyum manis tak pernah pudar di wajah. Entah mengapa, Maura merasa hawa dingin di sampingnya. Dia melirik ke arah Adelard, di mana laki-laki itu sedang mengeraskan rahangnya, mata yang menajam, dan juga emosi yang tertahan.
Entah keberanian dari mana, Maura mendekatkan tubuh ke arah Adelard. Tangannya terulur menyentuh dada bidang laki-laki itu. Membuat Adelard menatap Maura dengan lekat.
"Kendalikan dirimu. Kau terlihat sangat emosi. Entah mengapa aku merasa kau tak nyaman berada di sini," bisik Maura di depan wajah Adelard.
"Aku memang tak nyaman. Aku membenci pria bajingan itu beserta wanita ular itu. Rasanya aku ingin melenyapkannya."
"Dia ayahmu, tidak baik kau berbicara seperti itu. Lagi pula aku tak berhak ikut campur. Aku sarankan padamu, jangan terpancing oleh api kebencian dalam dirimu. Jangan mempermalukan ibumu di sini. Tahan emosimu sebentar saja setelah perjamuan ini selesai. Jika kau tak bisa menahan," jeda Maura seraya mengulurkan tangannya. "Pegangkan tanganku."
Tatapan mereka terkunci satu sama lain. Jantung Maura berdetak dengan sangat cepat. Dia merasa malu karena sudah bersikap berlebihan kepada Adelard sekarang ini. Tanpa mereka sadar sepasang mata sedang memerhatikan mereka sedari tadi. Seorang wanita berpakaian minim berwarna merah darah mengepalkan tangannya, merasa tak ikhlas sang pujaan hati diambil oleh orang lain.
Adelard membalas uluran tangan itu. Memegang tangan Maura dengan sangat erat. Membuat Maura mengulas senyum penuh arti. "Tanganmu hangat, Maura. Tetapi kenapa wajahmu memerah seperti itu?"
Bodoh, bagi Maura pertanyaan Adelard begitu bodoh. Maura membuang tatapan ke arah lain menghindari kontak mata dengan Adelard.
"Ya Tuhan, jantungku seperti ingin copot saja," batin Maura.