Chereads / Gadis 2 Miliar / Chapter 11 - Keraguan

Chapter 11 - Keraguan

Maura merasa tak pantas berada di ruang kamar dengan interior mewah. Apalagi duduk bersama dengan Heni—nenek dari Adelard di atas sofa empuk dalam ruangan itu. Jujur saja dia sangat tak nyaman, merasa tak layak menjadi istri Adelard. Walaupun tahu pernikahan mereka terjadi bukanlah dua insan saling mencintai, melainkan hanya sebatas kontrak.

Tatapan Maura tertuju pada wanita renta itu, yang sedang memperlihatkan berbagai foto dan perhiasan kepada Maura untuk hari pernikahannya nanti. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi apabila pernikahan kontrak ini terbongkar. Mungkin saja Heni akan kecewa, atau menghukum dirinya atas penipuan.

Maura menjadi ragu mengiyakan kesepakatan itu. Ingin menolak pun dia tidak memiliki kuasa apa pun. Menjamin untuk membayar semua kerugian atas kesepakatan itu pun rasanya mustahil. Embusan napas berat terdengar, membuat Heni sadar bahwa sedari tadi gadis cantik di sampingnya bergeming dengan raut wajah gelisah.

"Kamu enggak apa-apa?"

Suara lembut milik Heni menyadarkan Maura ke dunia nyata. Segera dia menggeleng pelan, mengulas senyum kecil agar tidak mengkhawatirkan Heni.

"Jika ada masalah ceritakan sama Oma. Oma siap membantu," ucap Heni lembut seraya menggenggam tangan Maura.

Maura semakin menggeleng kuat, membalas genggaman tangan tersebut. Lalu berkata, "Maura cuma rindu sama ibu."

Maura tidak bohong, dia benar-benar merindukan sang ibu sekarang. Mengingat perlakuan Heni begitu baik dan lembut, sama halnya dengan sang ibu dulu. Maura bersyukur bertemu dengan Heni, dia pikir nenek Adelard akan berlaku judes atau tidak menerima kehadirannya. Namun, pikiran itu salah.

"Memangnya ibumu ke mana?"

Tiba-tiba saja air mata Maura terjatuh begitu saja. Membuat Heni menarik tubuh Maura dalam dekapannya. Mengusap punggung perempuan itu dengan sayang.

"Maaf, kalo pertanyaan Oma salah."

"O–oma enggak salah ... wajar Oma bertanya seperti itu," lirih Maura sesegukan.

"Memangnya ibumu ke mana?" tanya Heni sekali lagi.

"Ibu sudah meninggal. Ayah juga sama."

Pelukan itu semakin erat, membuat Maura tak tahan menumpahkan isakkan tangisnya dalam dekapan itu. Rasanya begitu hangat, sama dengan pelukan ibunya dulu.

"Jangan bersedih lagi, Oma yakin kamu anak yang kuat. Adelard pasti akan selalu membahagiakan kamu, dia akan menjadi tempat buat kamu bersandar."

Maura mengulas senyum kecut. Benarkah Adelard akan bersikap demikian kepadanya? Ah, mustahil rasanya. Pernikahan mereka hanya sebatas kontrak, tidak lebih.

Heni melerai pelukan itu, menyeka air mata di wajah Maura. Lalu menangkup wajah manis milik Maura. "Asal kamu tahu aja, ini pertama kalinya Adelard mau memperkenalkan seorang perempuan kepada Oma dan Kakek."

"Benarkah?" Entah mengapa Maura jadi tertarik dengan kehidupan Adelard. Ah, dia menyanyangkan cerita panjang lebar Heni saat menceritakan bagaimana Adelard kecil.

Tatapannya tertuju kepada potret gambar foto anak laki-laki berusia lima tahun sedang tertawa lebar seraya naik ayunan. Maura yakin itu adalah Adelard kecil, dia mengenalinya melalui bola mata kehijauan milik laki-laki itu.

"Iya, dulu dia sangat kaku dengan perempuan. Bahkan kakeknya sendiri mencurigai kalau anak itu tidak menyukai perempuan."

"Kenapa kakek memiliki kecurigaan itu?"

"Karena kakeknya menyuruh dia untuk segera menikah, mengingat satu bulan lagi ulang tahun dia yang ke 28 tahun. Dan kamu orang yang pertama yang bisa meluluhkan hati Adelard," jelas Heni dengan seulas senyum di wajah.

Maura hanya mengatupkan bibirnya. Mengerjapkan nata beberapa kali. Entah ingin mempercayai ucapan itu atau tidak. Dia hanya memikirkan bagaimana nasib ke depannya nanti? Akankah terbawa perasaan emosional atau bisa menahan diri agar perasaan tersebut tak pernah muncul?

"Ayo, pilih salah satu kalung atau cincin yang kamu suka untuk pesta perjamuan antar keluarga."

Sontak saja Maura langsung membulatkan mata, menatap Heni dengan kerutan di dahi. "P–perjamuan? Kenapa Adelard enggak ngasih tahu?"

Heni mengulas senyum kecil. "Anak itu pasti akan menolak hadir. Perjamuan makan malam itu sudah biasa dilangsungkan, lagipula berita Adelard akan menikah sudah menyebar. Mau tidak mau kita mesti mengundang seluruh keluarga untuk mengabarkan berita itu."

"Jadi, akan ada media?"

Heni mengangguk kecil membalas pertanyaan Maura. "Bahkan Ibu Adelard sendiri sudah terbang dari Chicago, mungkin besok dia akan sampai."

"Secepat itu?"

"Memakai pesawat pribadi," balas Heni.

Maura hampir melupakan kekayaan yang dimiliki oleh keluarga Adelard. Dia merasa bodoh menanyakan kalimat itu.

"Kamu tenang aja, perjamuan makan malam itu dua hari lagi. Jadi, untuk dua hari ini kamu menemani Oma di sini. Oma juga masih kangen sama cucu Oma, pulang-pulang malah bawa calon mantu," kelakar Heni.

***

Kini pikiran Adelard benar-benar kosong. Berbicara dengan sang kakek ternyata menguras sedikit energinya hingga dia memilih diam saja menyimak obrolan sang kakek dengan Pak Mul—tangan kanan Hadian.

"Kenapa kau diam saja?" tanya Hadian memecahkan keheningan di antara mereka.

Adelard mendesah pelan, menatap Hadian dengan tatapan tajam. Bukankah sedari tadi sang kakek sedang sibuk membicarakan bisnis terus-menerus dengan Pak Mul hingga menelantarkan dirinya? Lalu kenapa sekarang malah bertanya seolah-olah seperti sedang kebingungan?

Baru saja ingin menjawab pertanyaan itu. Tiba-tiba saja dering gawai menandakan panggilan masuk membuat Adelard urung membalas pertanyaan itu. Segera dia menjawab panggilan yang ternyata dari Fahri, kemungkinan besar keberadaan anak buah Mobei sudah terlacak di kota Jakarta.

"Baik, kirimkan aku alamatnya." Setelah mengucapkan kalimat itu. Adelard memutuskan sambungan telepon tersebut.

Hadi mengerutkan dahi, seketika kerutan itu memudar memahami maksud kalimat terakhir yang diucapkan oleh Adelard.

"Kau masih berburu Mobei?" tanya Hadian memicingkan mata dengan curiga.

"Pengkhianat seperti dirinya tidak pantas ditelantarkan. Kau juga sudah tahu seberapa ruginya perusahaanku menanggung beban akibat ulahnya? Sudah saatnya dia menerima hukumaj yang sepantas."

"Jangan pergi ke mana-mana. Dua hari lagi ada acara perjamuan keluarga, aku harap kau bisa hadir. Jangan libatkan emosimu di malam nanti."

Adelard menatap tajam sang kakek. Dia sama sekali tak takut dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Hadian. Dengan tenang, Adelard menyandarkan punggungnya kembali ke kepala sofa.

"Kau sengaja ingin membuat pertingkaian lagi?" Adelard menuduh Hadia. Terakhir kali keluarga mereka mengadakan perjamuan malah berakhir dengab saling pukul-memukul antar dia dengan sang ayah kandung. Belum lagi provokasi dari kerabat lain.

Hadian mengembuskan napas pelan. Adelard selalu berpikiran buruk mengenai perjamuan tersebut. "Bukan untuk membuat pertingkaian, melainkan mengumumkan pernikahanmu. Kau tahu sendiri bagaimana hebohnya paman, bibi, serta keponakanmu mengenai kabar pernikahanmu. Bahkan ibumu sudah terbang dari Chicago kemarin malam."

"Apa? I–ibu sudah terbang? Bagaimana bisa? Kau tahu bukan dia sedang tidak baik-baik saja."

"Kau bilang tadi, ibumu sangat baik-baik saja. Lalu kenapa kini kau berbicara sebaliknya?"

Emosi Adelard tak bisa dikendalikan, dia marah apabila ada seseorang yang menyinggung perasaan sang ibu. Dia menendang meja di depannya dengan keras, mampu membuat Pak Mul yang masih berada di sana terlonjak kaget. Tanpa merasa bersalah, Adelard berjalan keluar dari rumah bak istana itu. Dia ingin melampiaskan emosinya kepada orang lain, atau menuntaskan hasrat ingin membunuh seseorang apabila sedang diliputi oleh emosi.

Sementara Hadian, dia mengembuskan napas kasar seraya memijat pelipisnya. Sampai kapan pertingkaian antara ayah dan anak itu selesai. Hadian tak akan bisa hidup tenang, jikalau mereka belum akur sama sekali. Terlebih Adelard anak yang keras kepala dan tenang, tetapi menakutkan jika sudah tersulut oleb emosi.

"Kapan aku bisa menyadarkan anak itu, Mul? Rasanya aku tidak bisa hidup tenang kalau kedua putra dan cucuku tidak bisa akur."