Adelard menatap bangunan nuansa putih yang sudah terbengkalai di depannya. Sesuai janji yang diucapkan kepada Fahri. Dia dan sepuluh orang bodyguardnya segera menuju ke tempat lokasi. Adelard ingin segera mengakhiri permasalahannya dengan Mobei.
"Dia ada di dalam, Tuan. Fahri dan Gorge sudah mengikat anak buah Mobei di sana," ucap Jovan yang berada di samping Adelard.
Adelard berjalan memasuki bangunan tersebut dengan gagah dan penuh kuasanya. Jas formal yang melekat di tubuh dia kancingkan kembali. Jovan dan Abay mengikuti sang bos dari belakang seraya menggengam pistol merek Desert Eagle Mark XIX yang mampu membunuh hanya dengan sekali tembak. Mereka tidak akan bertindak sesuka hati saja, mereka akan mengikuti perintah Adelars terlebih dulu.
"Salam, Tuan," ucap Gorge menunduk patuh, sedangkan Adelard hanya mengangguk.
Tatapan Adelard tertuju kepada laki-laki berumur kisaran dua puluh tujuu tahun sedang terikat dengan rantai. Seulas senyum sinis terbingkai di wajah Adelard, sudah sangat lama dia menantikan anak buah Mobei.
Langkah Adelard mendekat, membuat laki-laki yang sudah tak berdaya itu mendongak menatap Adelard dengan senyuman miring. Sungguh, melihat senyuman itu membuat emosi Adelard berkobar saja.
"Erik, ah ... sudah lama kita tidak bertemu. Sekarang Tuhan malah mempertemukan kita dengan kondisi yang tak menguntungkan," ucap Adelard terdengar dingin.
Senyuman miring di wajah Erik semakin melebar, tatapannya pun semakin berani menatap Adelard. "O, Tuan El yang terhormat. Jadi, ini semua karena tindakanmu? Masih seperti pengecut!"
Suara tamparan terdengar sangat keras dalam ruangan itu. Pelakunya adalah Fahri yang kebetulan berdiri di samping Erik. Dia tak segan-segan memukul orang yang sudah berani menghina sang bos.
"Ah, sepertinya kita tidak perlu berbasa-basi dengan ini. Lagi pula saya tidak akan mengotori tangan saya dengan darah bajingan seperti dirimu." Adelard tampak santai membelakangi Erik.
Diam-diam Erik mengulas senyum miring, dia sama sekali tak merasa terancam dengan tindakan Adelard. Baginya Adelard hanyalah seorang pengecut yang bersikap seolah-olah berani.
"Kau ingat dulu Erik ... kau selalu menjadi anak buahku yang penurut, tetapi kenapa sekarang kau malah menjadi anak buah Mobei?"
Adelard membalikkan tubuh menghadap Erik, menatap laki-laki itu dengan datar. Sebelum itu, ada yang perlu diselesaikan dulu di sini. Dia tidak akan melepaskan dengan mudah seorang pengkhianat.
"Kau bodoh atau bagaimana, El? Tindakanmulah yang membuat aku memilih Mobei. Dia lebih berguna daripada dirimu," ujar Erik tanpa rasa takut.
Adelard mengulas senyum kecil. Dia ingat betul bagaimana sikap Erik selama menjadi anak buahnya dulu. Selalu menurut dan menyampaikan informasi yang sesuai diinginkan oleh Adelard. Namun, seiring berjalannya waktu Erik malah berubah dengan situasi keadaan sampai memilih mengkhianatinya daripada berjanji akan setia.
"Kau yang bodoh! Memilih sampah seperti Mobei. Kau seperti seorang bajingan, lari dalam masalah."
"Tetapi setidaknya aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan, yaitu uangmu. Bukankah perusahaanmu sedang merosot akibat korupsi yang terjadi? O atau kau lupa bahwa perusahaanmu yang ada di Boston sudah bangkrut akibat tak bisa mengganti rugi saham perusahaan orang lain? Atau perusahaan gelapmu sudah diketahui oleh polisi?" Erik mengulas senyum penuh kemenangan melihat keterdiaman Adelard.
Tiba-tiba saja, Adelard tertawa keras mendengar ucapan Erik. Entah mengapa mendengar tawa dari Tuan besar mereka membuat Fahri, Jovan, Abay, dan Gorge merasa merinding sendiri. Terlebih lagi aura di sekitar mereka mendadak berubah menjadi mencekam sekaligus menegangkan. Ruangan yang begitu remang memperkeruh suasana di antara mereka.
Satu tamparan terdengar dengan keras. Adelard menampar Erik begitu keras sampai meninggalkan perih di pipi Erik juga luka lebam di sudut bibir. Tidak sampai di situ saja, tangan Adelard mulai meluncur kembali meninju wajah orang yang sudah berani mengkhianatinya.
Adelard memberi berbagai pukulan di wajah Erik. Jovan yang menyaksikan peristiwa tersebut meringis sendiri, belim lagi wajah Erik kini sudah dipenuhi oleh luka.
"Katakan di mana Mobei bersembunyi?" desis Adelard menarik kerah baju Erik.
Erik merasa linglung, kesadaraannya kian menipis. Pukulan di wajah yang bertubi-tubi membuat dirinya merasa tak berdaya. Aura laki-laki di hadapannya begitu gelap, penuh kuasa. Dia tidak bisa melawan selain pasrah. Bahkan dia sering menyepelekan kekuasaan dan ketenangan Adelard. Ternyata di balik ketenangan itu ada iblis yang bersemayam.
"Jika kau tidak mau memberitahu apa yang terjadi dan di mana Mobei. Maka akan kupastikan bahwa hidupmu akan menderita, tidak hanya dirimu. Mungkin saja adik kesayanganmu." Kilatan amarah terpatri di balik bola mata kehijauan milik Adelard. Napasnya pun memburu menyiratkan bahwa dia berusaha menahan amarahnya.
Satu pukulan keras mampu membuat tubuh Erik terjungkang ke belakang. Adelard benar-benar emosi. Dia bangun dari posisi jongkoknya seraya merapikan jasnya. Wajah yang tadinya tampak menahan gejolak amarah kini terganti oleh wajah datar.
"Bereskan semua ini! Kurung dia, siksa dia sampai mau membuka mulut atau sampai dia memohon ingin mati!"
Setelah mengucapkan kalimat itu, Adelard berjalan menjauh keluar dari ruangan tersebut diikuti oleh Abay dan juga Jovan.
***
Setelah pembicaraan dengan Oma Heni yang menguras tenaga, kini berakhir di kamar pribadi milik Adelard. Sejujurnya Maura ingin menolak, tetapi karena paksaan sang oma Maura mengiyakan. Tatapannya begitu kosong, memikirkan keputusannya apa benar atau tidak.
Maura benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Dia terlalu mempermasalahkan statusnya dan takut terbawa oleh perasaannya sendiri. Embusan napas kasar terdengar, dia memandang ke sekitar kamar milik Adelard.
Interior yang berbau warna hitam menarik perhatian Maura. Dia pikir laki-laki bermulut pedas itu memiliki kamar yang biasa saja. Namun, pikirannya salah. Kamar laki-laki itu tampak sederhana dan elegan.
Langkah kaki Maura membawanya ke ranjang besar sana. Menduduki diri di atas ranjang sana, seulas senyum kecil terbingkai di wajah tatkala merasakan bahwa ranjang tersebut begitu empuk. Dengan berani, Maura merebahkan tubuh menjadi telentang. Merehatkan letih di tubuh juga pikirannya.
Matanya terpejam membiarkan dirinya pikirannya berdebat. Perlahan-lahan mata terpejam itu menjadi kalut. Membiarkan dirinya berpetualang ke dunia mimpi. Napas mendengkur terdengar.
"Perempuan itu benar-benar lugu. Semoga saja dia bisa meluluhkan Elard," gumam Heni di balik pintu kamar sang cucu.