Embun pagi membekas di helaian dedaunan, burung terdengar berkicau merdu menyambut. Intensitas cahaya menelusup masuk dari celah gorden apartemen milik Adelard, tetapi sang empunya kamar tampak tak merasa terganggu sama sekali. Dia malah menarik selimutnya hingga menutupi wajah.
Berbeda dengan Adelard yang masih nyenyak dengan tidurnya. Maura memilih memasak di dapur, menyibukkan diri dengan membuat sarapan pagi. Daripada harus berbaring berlama-lama bersama Adelard di sana.
Jujur saja semalam dia tertidur dengan nyenyak dalam dekapan laki-laki itu. Terasa begitu nyaman dan aman, apalagi kehangatan kini masih terasa. Tak ingin berpikiran hal aneh atau berharap lebih kepada Adelard, Maura menggelengkan kepala dengan kecil.
Bau masakannya mulai mengguar menggungah selera, seulas senyum kecil terbingkai di wajah. Kebetulan sekali di dapur tersedia bahan untuk memasak sup berserta ayam goreng. Sudah lama Maura tak memasak enak seperti ini, seingatnya dia dan sang ibu memakan makanan enak ini setelah dirinya mendapat gaji.
Adelard mengerjapkan mata, menggeliatkan tubuh agar dia bisa merenggangkan otot-otot tubuhnya. Tangannya mengucek-ucek mata, mengatur intensitas cahaya dalam kamar. Perlahan mata itu terbuka, satu hal yang pertama kali dicari oleh Adelard ialah keberadaan Maura. Dia tak menemukan keberadaan perempuan itu di dalam kamarnya.
Pandangan Adelard tertuju ke sekitar kamar, tak ada tanda-tanda perempuan itu. Entah dari mana bau masakan menyapa indra penciuman Adelard, membuat dia menyibakkan selimut dan turun dari ranjang. Berjalan ke luar tepatnya ke arah dapur.
Alis Adelard mengerut tatkala melihat siluet seorang perempuan sedang menyajikan makanan di atas meja sana. Baru saja akan sampai di ruang makan, gawai milik Adelard berbunyi menandakan ada panggilan masuk. Segera dia mengangkat telepon tersebut.
"Halo, ada apa Fahri?" tanya Adelard the point.
"Pagi, Tuan. Maaf menganggu waktu Anda. Saya ingin memberitahukan bahwa keberadaan Mobei telah ditemukan, dia berada di puncak Bogor." Fahri menjelaskan maksud dia menelepon sang bos dari seberang sana.
Adelard mengulas senyum miring, hal inilah yang ingin dia ketahui lebih cepat. Menemukan sang pengkhianat yang mencampur tangan dalam perusahaannya.
"Para pengikut Mobei apa sudah ditemukan?" tanya Adelard seraya berjalan menuju ruang makan.
"Mereka berpencar, sebagian dari kami menemukan keberadaan mereka di luar negeri dan luar kota. Terutama Bogor, Karawang, dan ada juga yang di Jakarta Barat."
"Tepat sekali, tangkap pengikut Mobei yang berada di Jakarta. Kebetulan saya sedang berada di Jakarta. O ya, batalkan jam terbang saya ke Chicago. Bilang pada Mami bahwa Adelard masih memiliki pekerjaan," ucap Adelard kepada Fahri dari seberang telepon sana.
"Baik, Tuan. Perintah diterima!"
Adelard memutuskan sambungan telepon tersebut, mempercepat jalannya memasuki ruang makan. Tatapannya tertuju pada makanan di atas meja, sangat menggiurkan. Apalagi bau masakan tersebut tercium sampai ke dalam kamar.
"Kau sedang sakit, mengapa memaksa melakukan pekerjaan dapur?" Adelard bertanya seraya duduk di kursi meja makan.
"Maafkan aku kalau merepotkanmu, tetapi biarkan aku membalas jasamu. Aku tidak enak kalau berbaring saja," ujar Maura, berjalan menghampiri Adelard. Lalu menuangkan sup ke dalam mangkuk dan menaruh di atas meja kembali.
"Cicipilah, ini masakanku. Semoga kau suka," lanjut Maura menatap mangkuk yang sudah dia tuangkan.
Adelard menatap mangkuk tersebut dengan alis terangkat, lalu menatap Maura yang sedang menyakinkan dirinya. "Kau tidak sedang meracuniku, 'Kan?"
Maura mengembuskan napas kasar, mengambil mangkuk lain. Kemudian, menyuapkan sup tersebut ke dalam mulutnya sambil menatap Adelard dengan malas. Baru saja semalam laki-laki itu terlihat baik seperti malaikat, kini dia berubah lagi seperti iblis yang dia kenal pada saat bertemu di hotel. Menyebalkan!
"Tidak ada racun di makanan ini!"
Maura mengambil duduk di seberang Adelard, menuangkan nasi berserta lauk lainnya. Lalu memakan dalam diam tanpa menatap Adelard.
Lama berdiam, Adelard mulai mengambil sendok dan menyuapkan sup tersebut ke dalam mulutnya. Matanya membulat, menatap Maura yang tampak tak peduli sama sekalinya.
"Rasanya aneh," ucap Adelard.
Maura yang mendengar ucapan itu hanya diam tak memedulikan. Toh, walaupun berkata seperti itu Adelard kembali mencicipinya.
"Benar-benar aneh."
"Aneh dari mana? Enak gini. Kalau aneh, ya sudah jangan dimakan," kata Maura meraih mangkuk sup yang ada di hadapan Adelard.
Sementara Adelard menatap aneh kepada Maura. "Iya rasanya aneh, makanya enak." Adelard kembali mengambil mangkuk sup tersebut. Mulai memakannya kembali kali ini berserta nasi juga ayam gorengnya.
Tanpa sadar, Maura mengulas senyum kecil. Kembali mengunyah makanannya. Mereka menikmati sarapan bersama dalam diam. Adelard begitu lahap dengan masakan sederhana yang dibuat oleh Maura.
Jika boleh jujur, setiap sarapan asisten rumah tangganya akan menyiapkan roti bakar. Makan siang, Adelard akan mampir di resto mewah, sedangkan makan malam dia lebih memilih memesan pizza untuk mengantikan makan malamnya. Pernah memakan sup seperti ini, tetapi itu saat dia sedang sakit.
"Benar-benar mengenyangkan," batin Adelard setelah menghabiskan sarapannya.
Sesudah sarapan, Adelard memilih bersantai di ruang kerja pribadi. Mengecek kembali laporan yang dikirimkan oleh Fahri mengenai kerugian perusahaannya di Boston akibat ulah Mobei. Dia harus kembali memulai dari awal, mengganti kerugian perusahaan lain yang menanam saham di perusahaannya.
Adelard tampak begitu serius menatap layar monitor laptopnya. Menyusun strategi pembangunan properti kembali, dan menyusun perencanaan produk ekspornya.
"Halo, Jack. Sambungkan aku kepada Zelan, ada yang ingin aku bicarakan dengannya," ucap Adelard setelah berhasil menelepon seseorang dari luar negeri sana.
"Maaf, Tuan Malik. Tuan Zelan sedang ada rapat penting, saya tidak bisa menganggunya. Jika ada pesan penting katakanlah, saya akan menyampaikannya kepada Tuan Zelan," ujar laki-laki yang kerap disapa Jack dari seberang sana.
Adelard berdecak kesal, sesibuk apa Zelan hingga menolak panggilan darinya. Tanpa mengucapkan salam, Adelard memutuskan sambungan telepon tersebut. Tidak ada gunanya jikalau berbicara melalui telepon, lebih enak berbicara langsung.
"Sial! Kenapa data startik hasil penjualan barang ekspor menurun?" Adelard mengerutkan dahi tatkala mengecek data hasil penjualan produk perusahaannya yang ada di Jerman, lebih tepatnya perusahaan yang dikelola oleh Zelan sebagai CEO-nya.
"Apa ini?" tanya Adelard melempar dokumen yang dibawa oleh Jovan dari Fahri ke atas meja. Data tersebut tidak sama, terlihat berbeda.
Adelard kembali membuka cabang propertinya yang ada di Chicago, mengecek kembali. Takut sang papa kembali ikut campur dalam bisnisnya. Terakhir kali sang papa ikut campur pada saat dirinya sedang sukses dalam bisnis bidang properti.
***
Jika Adelard sedang pusing mencari jalan keluar dari bisnisnya yang sedang dalam masalah. Berbeda dengan Maura yang merasa bosan duduk diam sambil menatap pemandangan gedung pencakar langit kota Jakarta. Benar-benar membosankan, tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan olehnya.
Apartemen tersebut terlihat sudah bersih, tidak ada kotoran lagi. Tiba-tiba saja ingatan tentang kesepakatan dengan Adelard terlintas begitu saja. Pernikahan kontrak seharga dua miliar, berlaku sampai dua tahun saja. Sungguh Maura takut terbawa perasaan emosional dalam pernikahan itu.
Terlebih sifat Adelard sangat sulit ditebak, kadang bermulut pedas, kadang bermulut lembut. Apalagi Maura tidak mengenal latar belakang laki-laki itu. Dari mana dia berasal, keluarganya bagaimana, dan masa lalunya bagaimana. Maura tidak tahu itu.
Namun, jika dilihat-lihat, Adelard terlihat seperti dari keluarga kaya dan terhormat. Jas formalnya pun terlihat sangat mahal, apartemen yang sedang ditempati Maura pun pasti harganya selangit. Ditambah laki-laki itu mampu mrmbayar rumah sakit sang ibu dan membayar semua hutang yang ditinggali oleh ibu Maura.
"Sekaya apa dia?" tanya Maura kepada dirinya sendiri, dia menatap bayangannya di kaca jendela yang memperlihatkan jalanan kota Jakarta.
Alis yang berkerut di dahi, perlahan memudar saat dirinya mengingat sesuatu. Sepertinya dia pernah melihat Adelard sebelum mereka bertemu di hotel. Mata Maura membulat tatkala mengingat di mana dia pernah bertemu dengan Adelard, di rumah tetangganya pada saat mereka sedang makan-makan. Lebih tepatnya ditayangan televisi, di mana Adelard anak konglomerat kaya raya sedang diberitakan kembali ke Jakarta bersamaan membangun cabang baru di kota Semarang. Kalau tidak salah itu satu bulan yang lalu.
"Jadi, dia Shareef Adelard Malik? Pantas saja nama itu tidak asing ditelinga. Kalau tidak salah aku pernah mendengar gosipnya di kantor pada saat aku masih bekerja. Bahwa laki-laki itu tidak pernah akur dengan ayahnya," gumam Maura.
"Siapa yang sedang kau bicarakan?"
Sontak saja tubuh Maura langsung menegang sekaligus menoleh ke belakang di mana Adelard sedang berdiri sambil bersedekap menatap Maura lurus ke dalam bola matanya. Hampir saja jantung Maura copot.
"K–kau ... b–bisa tidak kau tidak mengejutkanku?" Maura berusaha menutupi keterkejutannya.
"Siapa yang sedang kau bicarakan dan pikirkan?" tanya Adelard.
Sementara Maura menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, bingung harus menjawab apa. Jika menjawab jujur, nanti dia disangka penasaran dengan kehidupan laki-laki itu. Lebih baik diam untuk sementara waktu.
"Tidak ada," alibi Maura.
"Bersiaplah, kita akan pergi," ucap Adelard, kembali berjalan menjauh dari Maura.
"Ke mana?" tanya Maura menghentikan langkah kaki Adelard.
"Ke butik, kita akan fitting baju pengantin. Kau lupa dengan kesepakatanmu? Jangan banyak bertanya, lakukan apa yang sudah aku katakan!"
Maura hanya mengatupkan bibir, sudah dia duga. Sifat laki-laki itu selalu berubah-ubah, ucapannya pun terdengar dingin tak ingin dibantah sama sekali.
"Apa aku bisa menjalani pernikahan kontrak ini dengan laki-laki seperti dia? Umurnya pun sangat jauh berbeda, dia terlihat di atas umurku," gumam Maura.
"Semoga saja aku bisa menjalaninya tanpa terbawa oleh perasaan.
***