Frada membungkuk. Dia tersenyum dihadapan teman-teman kelasnya yang terkejut. Bagaimana tidak? Kepindahan Frada adalah sesuatu yang sama sekali tak pernah terlintas. Terlalu mendadak. Beberapa siswi berhamburan memeluknya. Hampir keseluruhannya menangis.
Frada adalah teman yang baik. Meski hanya satu tahun mereka menjalani kehidupan sekelas bersama, namun bukan berarti tak ada kenangan yang pernah terlewati. Satu tahun memang bukan waktu yang lama tapi juga bukan waktu yang sebentar untuk menjalin keakraban.
"Frada, kalau sudah dapat sekolah yang baru, jangan lupakan kami ya."
Seorang temannya memberi pesan lalu diangguki oleh seluruh orang. "Iya. Jangan mentang-mentang udah pindah ke tempat yang lebih bagus, jadi nggak mau kasih kabar ke kita-kita."
"Aku pasti akan berusaha memberi kabar."
"Kenapa harus ke luar negeri sih? New Zhiland lagi. Emang kamu sudah bisa bahasa inggris?"
Frada terdiam. Tak tau harus membalas apa. Dia tak pernah merencanakan apa-apa. Semua sudah diatur oleh orang-orang dewasa itu. Ia memang tak paham apa itu bahasa asing. Kosa katanya masih terlalu minim. Namun, itu sama sekali bukan menjadi alasan untuknya menentang. Ia tak memiliki hak. Dan Frada mengetahui itu.
"Terimakasih. Aku pasti akan baik-baik saja, kok."
"Iya, kamu harus baik-baik saja. Ah, kenapa sih kamu nggak bilang-bilang dulu kalau mau pindah? Apa kita nggak cukup akrab untuk bertukar cerita?" seorang temannya mencebik.
Frada meringis. Bagaimana dia bercerita jika semua yang alami sekrang hanyalah buah dari kecerobohannya semalam.
"Maaf." Setidaknya kata itulah yang mampu ia ucapkan. Ia tak mungkin mengatakan bahwa semua ini adalah tindakan brutal ayahnya atas perintah ibu tirinya. Itu semua terlalu sukar dipahami. Teman-temannya tak ada yang akan memercayainya. Terlebih orang tua yang ia kenal bukanlah orang tua yang diketahui teman-temannya.
"Ya sudahlah. Jaga dirimu. Jangan lupa memberi kabar kami. Oke?"
Frada mengangguk patuh. Tak berselang lama seorang guru datang. Beliau mengucapkan harus segera pergi karena orang tuanya tengah menunggu.
Sepasang suami istri tengah berbincang santai di depan mobil yang akan membawanya pergi. Kedua orang itu adalah pasangan pembantu yang mengabdikan diri di kediaman ayahnya—sekaligus walinya di sekolah. Sepasang suami istri yang menganggap keberadaan Frada bukanlah sebuah kesalahan. Mereka adalah dua dari segelintir orang yang memperlakukan Frada dengan baik.
"Nak, apa sudah selesai berpamitan?"
Bik Mona meraih pipi Frada. Senyuman terpatri pada wajahnya. Frada membalasnya. Ada kehangatan yang menyusup ketika menyadari tatapan Bik Mona. Pandangan kasih sayang tulus. Selayaknya seorang ibu. Frada merangkulnya. Mencari tempat bersandar atas rasa lelah, frustasi dan depresinya. Semua tekanan yang membelit, Frada harap akan segera berakhir.
***
CKIIT!
BRAK!
Benturan itu mengaum di antara keramaian jalan. Sebuah mobil terjungkir tepat di tengah trotoar. Banyak orang berkerumun. Hujan yang semula gerimis perlahan menjadi deras. Namun orang-orang itu sama sekali tak berkurang. Darah keluar dari dalam mobil. Seseorang berusaha membuka pintu. Hanya saja terkunci.
"Ada yang masih hidup!" seseorang berseru. Lalu kerumunan itu perlahan maju dan membuka mobil. Gadis remaja dari pintu belakang nyaris pingsan. Darah bercucuran dari kepala dan tangan.
Frada mengetuk lemah kaca jendala. Tangannya tergores oleh pecahan kaca jendela. Oh tidak. Haruskah seperti ini hidupnya berakhir? Mengapa orang-orang itu taka da yang datang menolong? Mengapa mereka hanya menonton? Apakah mereka tidak punya hati? Di sini ada Bik Mona dan Pak Ruslan. Mereka tak sadarkan diri. Bik Mona berada tepat di sampingnya lalu Pak Ruslan yang mengemudi. Mereka berdua tak bergerak.
Aroma bensin menguar dan itu membuat kepala Frada semakin berdenyut tak karuan.
Ugh, Frada tidak bisa menunggu lagi. Kepalanya terasa berat. Sakit itu semakin menjadi-jadi. Bau anjir darah melekat pada tubuhnya. Dia yakin, Bik Mona dan Pak Ruslan juga tidak jauh berbeda darinya. Ia harus keluar dan menyelamatkan Bik Mona dan Pak ruslan!
Ia mengeluarkan tangannya. Rasa sakit semakin membelit. Lengan tangannya tergores kaca. Menusuk semakin kuat. Rasanya semakin perih. Frada meringis. Mengapa sesakit ini? lengannya terasa ingin patah. Haruskah ia memecah jendela lagi untuk mencapai heandle? Namun tak bisa. Kekuatannya terlalu lemah.
"Ada yang masih hidup!"
Teriakan itu seakan mengomando orang-orang tuk mendekat. Syukurlah. Mereka masih memiliki hati nurani. Pintu mobil terbuka. Frada menghela napas panjang. Setidaknya sudah ada bantuan. Agh, kepalanya semakin berat. Pandangannya memburan. Orang-orang mengeluarkan Bibik dan Pak Ruslan.
"Terima kasih," gumamnya sebelum kesadarannya terenggut.
***
Frada mengerjapkan matanya. Ruangan serba putih ini menyapa pandangannya. Entah berada di mana ia saat ini. namun aroma obat menguar begitu kuat. Apa dia berada di rumah sakit, pukesmas atau klinik? Entahlah. Frada menoleh pada sekeliling. Sepi. Tak seorang pun yang menunggunya.
Tunggu ….
Memang dia mengharapkan apa? Ditemani ketika sakit? Itu hanyalah sebuah mimpi indah. Frada berusaha turun dari kasur. Ia ingin mengetahui bagaimana kabar Bibik dan Pak Ruslan. Mereka pasti dirawat di tempat yang sama dengannya. Mereka kecelakan bersama. Mana mungkin akan berbeda?
"Kamu sudah bangun?"
Seseorang masuk begitu saja pada kamarnya. Tanpa rasa sungkan dan ketukan. Dia langsung bersandar pada tembok ketika melihat Frada yang sudah berjalan. Arkana Adam hanya memandang remeh adiknya. Tak ada rasa simpati sedikitpun yang tersimpan di matanya.
Frada mengembuskan napas kasar. "Ada apa kamu kemari? Menjengukku?"
Arkan mendengkus. Mengejek dengan senyuman laknat. "Jangan terlalu percaya diri. Aku tidak menjengukmu. Kamu bukan orang sepenting itu."
Frada terkekeh miris. Benar. Dia bukanlah orang sepenting itu. Dia bukan ….
Frada memilih mundur. Kembali terduduk pada kasur rawat. Bertemu dengan Arkan nyatanya menyedot penuh kekuatan yang sudah terkumpul. "Lalu untuk apa kamu kemari?"
"Ah. Aku hanya ingin bertanya satu hal."
"Apa itu?"
"Kenapa kamu tidak mati?"
Genggaman tangan Frada mengerat. Sebegitu tidak berhargakah hidupya? Hingga pertanyaan itu terucap dengan mudah dari bibir? Frada tersenyum sinis. Sorot matanya nanar menatap kakaknya. Oh bukan. Arkan bukan kakaknya. Sampai kapanpun tidak akan menjadi kakaknya. Orang itu adalah Tuan Muda Adam. Bukan kakaknya. Seorang kakak tidak akan bertanya seperti itu kepada adiknya, kan?
"Apa maksudmu?"
"Dari kecelakaan besar itu, kenapa harus kamu yang masih hidup?"
"Aku tidak mengerti."
"Kamu benar-benar bodoh! Yang kumasud adalah kenapa manusia kotor dan tidak berguna seperti kamulah yang masih bertahan hidup, sedangkan dua pembantu itu malah mati?!"
"Bik Mona dan Pak Ruslan …"
"Ya, mereka tewas."
Tubuhnya menggigil. Sakit kepala menjadi-jadi. "Argh! Tidak. Tidak mungkin! Kamu berbohong. Bik Mona … Pak Ruslan … Argh!"
Frada meraung. Pada keheningan ruangan. Pada Arkan yang menatapnya datar. Pada Bik Mona dan Pak Ruslan. Pada segala hal dihidupnya. Mengapa? Sekali lagi, dia harus merasakan pahitnya ditinggalkan.
***