"Bik, kenapa orang-orang di rumah ini membenci Frada? Frada mau kembali ke panti saja."
"Jangan seperti itu, Nona. Bagaimanapun di sini rumah Nona. Di sini ada ayah, ibu dan kakak-kakak Nona."
"Bukan. Mereka bukan ayah dan ibuku. Apalagi kedua anak laki-laki itu! mereka jahat. Mereka selalu mengejek dan menyakiti Frada. Mereka juga sering bilang kalau Frada anak haram. Anak haram itu apa sih, Bik?"
Frada mendongkak. Rasa penasaran jelas tercetak pada wajah kecil itu. Bik Mona hanya tersenyum kemudian meraih Frada pada pelukannya. Harus bagaimanakah ia menjelaskan tentang hal yang begitu kejam pada anak delapan tahun? Bagaimana mungkin dia harus bilang bahwa dia tak diinginkan. Dia diambil hanya karena sebuah ego keluarga besar. Demi aib supaya tak tersebar luas.
"Bik, anak haram itu apa?" Frada mendongkak.
"Anak haram itu … anak baik. Itu berarti tuan muda mengatakan kalau Nona adalah anak yang baik."
Frada mengerjap takjub. Jadi kedua kakaknya menyanjungnya dengan kata itu? Anak haram adalah anak yang baik. Berarti dirinya adalah anak baik. Kedua kakaknya tidak pernah membencinya.
"Anak baik. Frada anak yang baik. Baiklah kalau begitu Frada akan terus menjadi anak haram. Karena Frada baik."
"Nona Frada, sebaiknya jangan mengatakan itu di depan umum. Orang-orang nanti bisa iri dengan Nona. Jadi jangan bilang itu di depan siapapun ya?"
Frada mengerjap sedetik kemudian senyum polosnya terbit. Anggukan patuh dia hadiahkan pada Bibik yang menjaganya. Dia kembali memeluk Bik Mona begitu erat. "Baiklah. Karena Frada anak haram. Maka Frada tidak akan memberitahu siapapun."
Frada terbangun. Mimpi itu terasa nyata. Dia merangkul dirinya sendiri. Rasa takut menggerogotinya.
Anak haram.
Frada menggeleng kuat. Setiap mengingat sebutan itu, dia merasa jijik pada dirinya. Pada tubuhnya yang lahir dari sebuah dosa. Argh! Frada membencinya.
"Bik Mona …."
Frada memanggil dalam keheningan. Rasa sakit menggerogoti tiap inci kulitnya. Saat ia mengucapkan nama itu, entah mengapa memorinya akan menggali pada kejadian kecelakaan. Dia akan mengenang tubuh Bik Mona dan Pak Ruslan yang bersimbah darah. Tidak …, Frada tidak sanggup untuk mengingat itu. Bik Mona dalam mimpinya masih bugar dan cantik. Mana mungkin sudah meninggalkannya. Tidak mungkin, kan?
Ya, pasti tidak mungkin!
Frada turun dari kasur rawat. Berjalan keluar dengan menyeret gagang infus. Dia harus melihatnya sendiri. Dia harus membuktikan dengan mata kepalanya sendiri. Bik Mona dan Pak Ruslan pasti masih dirawat di kamar lain. Arkan hanya berbohong padanya.
Ada banyak ruang rawat yang terjejer. Mengapit satu sama lain. Frada tidak tahu di mana bibiknya dirawat. Haruskah dia membuka satu persatu ruangan ini? namun bukankah itu tidak sopan? Argh! Siapa peduli? Dia harus menemukan ruang rawat Bik Mona dan Pak Ruslan!
Frada mendorong gagang pintu di depannya. Di saat bersamaan rupanya seorang gadis juga tengah berusaha menarik pintu. Gadis itu nampak seumurannya. Tinggi mereka nyaris sama. Cuma lebih beberapa inci dirinya ketimbang gadis itu.
"Kamu mencari siapa?" tanyanya.
Frada baru menyadari gadis itu juga memakai baju yang sama dengannya. Hanya saja infus tidak terpasang di tubuh itu. sepertinya gadis itu juga pasien.
"Tidak. Sepertinya saya salah kamar." Frada memberi senyum. Kemudian undur diri dengan canggung.
"Bukankah aku belum memperbolehkanmu turun dari kasur?"
Suara ini?
Frada mengenalinya. Dia mendongkak. Pemuda itu berdiri di depannya. Mata elangnya sekali lagi menatap tajam pada suatu objek. Namun itu bukan Frada. Seseorang yang berdiri di belakangnya. Mungkinkah ….
"Ayolah, Kak Noval. Aku seharian sudah tiduran. Dokter juga tidak memasangkan infus. Aku hanya kelelahan. Kamu terlalu berlebihan."
Gadis dibelakangnya menjawab dengan nada jengkel. Frada mulai mengerti. Gadis itu adalah adik pria yang telah menolongnya.
"Tetap saja. Kamu harus beristirahat. Kondisi tubuhmu masih lemas. Aku akan memerintahkan dokter memberikan infus."
"Kak!"
"Jangan membantah!"
Gadis itu memandangnya sekejap. Sebelum kemudian mengambil tangan Frada yang tidak memegang gagang infus.
"Dia memintaku untuk menemaninya. Mana mungkin aku menolak. Dia masih sakit dan lemah. Dia sendirian. Kakak lihat 'kan kepalanya yang di perban? Mana mungkin aku menolaknya."
Frada membelalakkan matanya. Sejak kapan dia meminta perempuan itu untuk menemaninya? Apakah gadis itu sedang berbohong menggunakan namanya?
"Bukankah kamu orang di pesta keluarga Adam?"
Noval mengamati sejenak. Keningnya berkerut. Seingatnya gadis itu hanya pingsan karena sakit bukan terbentur. Dan itu sudah beberapa hari lalu. Mungkin saja dia mengalami kecelakaan yang lain.
"Kakak mengenalnya? Bagus! Berarti tidak apa-apa 'kan aku menemaninya?"
"Siapa bilang? Kakak akan memerintahkan orang untuk menemaninya. Kamu istirahat saja."
"Kakak, Kamu orang yang kejam!"
Gadis itu berteriak kencang. Frada sampai berjingkat karena terkejut. Bagaimana mungkin orang yang katanya sakit bisa melengkingkan suaranya setinggi itu?
"Bagaimana mungkin kakak menitipkannya dengan orang tak dikenal?"
Noval bersedakap. Tatapan tajamnya sama sekali tak berubah bahkan bertambah menyeramkan. Kali ini Frada merasakan atmosfer mengerikan. Haruskah ia melarikan diri? Namun tangannya masih digenggam erat oleh gadis itu.
"Yumna, sekarang kakak tanya, memang kamu mengenalnya? Kamu tahu siapa namanya?"
Yumna menggertakkan giginya. Dia melepaskan genggaman lalu melangkah cepat kembali pada ruangan. Tak lupa ia menggebrak pintu tepat di depan kakanya dan Frada. Ugh, emosi gadis itu sama sekali tidak terduga.
"Maafkan dia. Dia memang agak keras kepala dan seenaknya sendiri."
Frada menggeleng, "itu bukan masalah. Sebaliknya saya ingin mengucapkan terima kasih."
"Terima kasih?"
"Ya. Anda telah membantu saya ketika—"
"Nona Frada. Tuan besar sedang menunggu Anda. Mohon untuk tidak membuatnya menunggu terlalu lama."
Seseorang datang memotong ucapan Frada. Frada mengernyit. Dia tahu bahwa dia bukanlah orang yang dihormati di keluarga Adam. Namun Frada sama sekali tak menyadari bahwa dia lebih tidak dihargai lagi.
"Boleh tunggu sebentar lagi? Saya tengah mengobrol sesuatu yang panting."
"Adakah yang lebih penting dari ayah Anda sendiri, Nona?" Utusan itu tersenyum sinis. sorot matanya mengartikan bahwa Frada bukanlah apa-apa untuknya.
Jemarinya mengepal. Frada sebisa mungkin tidak menggertakkan gigi. Dia direndahkan. Bahkan itu terjadi di depan orang asing.
"Wah, baru kali ini aku melihat seorang pelayan berani memotong bahkan mendebat majikannya." Noval bertepuk tangan. Mata elangnya semakin menajam menyorot pada pelayan itu.
Frada bergidik. Dia bukanlah objek tatapan itu. Namun tekanannya masih bisa dia rasakan. Frada tersenyum canggung. Ingin membela namun dia pun merasakan kejengkelan yang luar biasa.
"Maaf." Gumam utusan itu. kepalanya yang semula mendongkak congkak pada Frada, kini beralih menunduk begitu dalam di bawah sorot mata elang milik Noval.
Lelaki ini sekali lagi menyelamatkannya. Harga dirinya yang semula berada pada titik terbawah entah mengapa mendadak mulai kembali merangkak secara perlahan. Ah, semudah itu Noval membantunya.
"Jadi, apa tadi yang ingin kamu katakan?" Noval kembali pada pembahasan awal.
"Terima kasih karena sudah membela dan melindungi saya dari orang-orang yang hendak menyakiti saya. Saya senang karena bertemu Anda pada hari itu dan saat ini." Frada tersenyum.
Dia mundur dengan sopan lalu melangkah dengan perlahan. Tak lupa tangannya masih setia menyeret gagang infus. Frada berjalan munuju ayahnya. Utusan tadi memimpin. Angin berhembus. Menggelayutkan helai-helai rambutnya. Sorot mata yang sendu perlahan berubah. Keraguan yang mulanya menyusup perlahan sirna. Dia harus mengkonfirmasi kematian Bik Mona dan Pak Ruslan dari ayahnya. Dia tak ingin percaya hanya dari mulut Arkana Adam. Anak itu … sudah terlalu sering membodohinya. Mungkin kali ini ia juga kembali melakukannya.
***