Hujan mengguyur sejak pagi. Tanah nampak becek di sana sini. Lumpur-lumpur mengendap di antara lantai. Frada mencari-cari lantai mana yang belum dia bersihkan.
Dengan membawa seperangkat alat kebersihan, ia mencoba melindungi rumah ini dari kotoran. Hanya itulah yang dapat ia lakukan untuk membantu bunda dan Kak Fandhi. Sejak beberapa hari yang lalu mereka terus saja membantunya untuk memulihkan diri. Ia dianggap anak sendiri oleh keluarga ini.
Terharu? Tentu saja. Untuk pertama kalinya ia merasakan tempatnya pulang. Rumah yang baik untuk ditinggali.
"Frada, tubuhmu belum benar-benar membaik, Nak."
Bunda menghampiri dengan nada cemas. Frada mencoba menyembunyikan rona merah yang pasti terpatri pada pipi. Ugh, ia sangat senang dengan fakta itu. seseorang mencemaskan keadaannya. Akhirnya setelah Bik Mira dan Pak Ruslan ada orang lain yang dengan tulus mengkhawatirkannya.
"Frada sudah baikan kok, Bund. Jika Frada terus di kasur nanti Frada malah nggak sembuh-sembuh. Bagaimanapun Frada juga butuh gerak."
"Yang benar?"
Mengangguk semangat, "iya, Bund. Lagi pula jika Frada nggak keluar kamar, Frada nggak akan bisa bertemu dengan anak-anak itu."
Yang dimaksud Frada adalah anak-anak jalanan yang kini tengah belajar bersama Afandhi dan Yumna. Anak-anak itu adalah anak-anak yang tak bisa mengenyam pendidikan dengan benar.
Frada mengembuskan napas. sayang sekali, di era seperti ini dan ditengah kota besar ada saja anak yang tidak bisa bersekolah dengan baik. Pemerintah mungkin menggratiskan pendidikan terlebih untuk usia mereka yang masih masih duduk di bangku SD. Namun tetap saja, mereka juga butuh pendidikan dampingan seperti les—yang hanya bisa disentuh oleh anak-anak mampu.
"—Da?"
"Hah?" Frada terlalu kalut dengan pikirannya sendiri.
"Kamu melamunin apa sih? Sampai nggak dengerin Bunda di depanmu."
"Ah, maaf. Tadi Bunda mengatakan apa?"
Bunda mengembuskan napas. Sepertinya cukup sabar untuk menghadapi tingkahnya. "Kamu ini sama saja seperti Fandhi dan Yumna. Sama-sama suka bengong di depan Bunda. Mana mereka pasti senyum-senyum sendiri. Haduh, padahal masih muda. Kok pada suka bengong sih? Nanti kalau di rasuki demit gimana?"
Bunda menanggapi dengan cercaan panjang lebar. Frada hanya tertawa lirih. Bunda ini lucu. Suka mengomel padahal nggak ada orang yang diomeli di depannya.
"Lha kenapa kamu juga malah ketawa? Kamu ngeledek Bunda?"
Menggeleng, "mana mungkin Frada berani, Bund? Oh iya, bunda tadi mau menyampaikan apa sama Frada?"
"Oh iya. Bunda bahkan sampai lupa. Pokoknya nanti kalau sudah capai, langsung istirahat saja. Bunda nggak mau kamu sampai ngedrop lagi. Bunda masak dulu buat anak-anak ya?" pesannya.
"Mau Rada bantuin, Bund?"
"Nggak usah. Kamu kan belum terlalu pulih. Nanti kalau sudah bersih-bersihnya kamu istirahat saja. Kalau waktu makan, pasti Bunda akan manggil kamu kok."
Bunda berlalu setelah mengusap singkat pipinya. Entah mengapa, sejak beberapa hari yang lalu baik bunda maupun Yumna senag sekali mengelus pipinya. Apa terlalu gembil ya?
Ia menyentuh pipinya. Sepertinya bukan. Seingatnya, ia ini kurus dan pipinya tirus. Meski beberapa hari ini gizi sudah tercukupi, tapi mana bisa langsung mendongkak isi pipi? Nggak kan? Ah sudahlah. lebih baik bersih-bersih kembali.
"Kamu bukannya orang di rumah Adam, kan?"
Frada melonjak kaget. Seseorang tiba-tiba menegurnya. Noval? Untuk apa pemuda itu kesini? Apa mungkin mencari Yumna?
"Siapa namamu?"
Frada bengong. Noval menanyakan namanya? Bukannya saat itu sudah? Atau belum? Ia mulai meragukan ingatannya.
"Frada."
"Ah, iya. Frada, di mana Yumna?"
Ternyata benar mencari adiknya. "Dia sedang mengajar, Kak. Mungkin sebentar lagi selesai."
Noval tampak mengembuskan napas jengah. Langkah kakinya membawanya ke ruang tamu. Lalu duduk begitu saja di barisan kursi. Orang ini sepertinya sudah terbiasa datang kemari. Dia sama sekali tak nampak canggung.
Lima belas menit kemudian kelas dibubarkan. Kebetulan hujan juga sudah berhenti. Angin segar mengayunkan rambut Frada. Ia mengembangkan senyum. Sudah lama sekali ia tak merasakan suasana tenang seperti ini.
Frada kini tengah duduk di bangku panjang taman. Di hadapannya kini ada bunga-bunga yang tengah beremekaran. Mengantarkan aroma segar sekaligus wangi. Frada menyukainya.
"Kakak tahu mitos mengenai bunga mawar merah?"
Sebuah suara datang. Frada menoleh. Seorang bocah lelaki menghampirinya. Menggemaskan. Kedua pipinya terlihat sangat gemuk. Tubuhnya juga. Hm, Frada menahan diri untuk tidak mencubit gemas.
"Tidak," jawab Frada atas pertanyaan tadi.
Bocah itu mengambil setangkai mawar merah. Bukannya mawar merah itu berduri? Bagaimana jika bocah ini terluka? Bocah itu memberikan mawar merah itu pada Frada. Frada hanya meraihnya dengan bingung. Sedetik lalu ia menhkawatirkan bocah itu. lantas sekarang ia sendiri yang ketar-ketir jika terluka. Namun sepertinya tidak. Jika memegangnya dengan hati-hati sepertinya tidak akan terkena durinya.
"Kata Kak Yumna, sejarah dari bunga mawar merah ini sangat menyedihkan. Dulu ada seorang dewa yang bernama Adonis mati di saat berburu binatang buas. Kekasihnya yang bernama dewi Aprodhite sangat sedih dan menangis kencang sembari memeluk tubuh kekasihnya yang bersimbah darah. Nah, dari air mata yang penuh kesedihan dan darah orang yan dicintainya lah bunga ini terbentuk. Makanya mawar merah sering disimbolkan dengan cinta yang mendalam. Karena selain rasa cinta Dewi Aprodhite , Dewi Aprodhite sendiri juga merupakan dewi cinta. Jadi begitulah sejarah bunga mawar merah."
Bocah itu menyilangkan tangannya seraya tersenyum dengan angkuh. Frada ngin mencebik sekaligus tertawa. Sebenarnya apa sih yang di ajarkan Yumna pada anak usia ini? Dia bahkan belum cocok sama sekali membicarakan perihal cinta dan sepasang kekasih. Bocah itu bahkan mungki tidak mengerti apa yang dia ucapkan pada Frada.
"Kenapa kakak tidak memujiku?" sungutnya. Ah, rupanya meminta pujian. Memang bocah!
"Kamu hebat sekali bisa tahu sejarah bunga ini." Frada mengecup bunga mawar merah itu.
"Tentu saja, Kak Yumna itu mengajarkan apa saja padaku."
Frada tertawa kecil. Seperinya bocah ini fans-nya Yumna. Tangannya mengelus pelan rambut anak itu. "Kamu hebat. Tapi jangan cerita-cerita kisah tadi kepada orang lain ya. Karena bisa saja orang lain memberi tahu kepada orang lain lagi, tapi mengatakan bahwa cerita itu bukan darimu ataupun Kak Yumna."
Bocah itu melotot terkejut. Lucu sekali. "Benarkah?" Frada mengangguk yakin. "Baiklah Marvel nggak akan mengatakannya pada orang lain."
"Jadi namamu Marvel. Nama kakak Frada. Kamu boleh memanggil kakak Rada."
"Marvel sudah tahu kok. tadi diberi tahu sama Kak Yumna. Kakak cantik sekali seperti Kak Yumna. Marvel suka," katanya polos. Frada hanya tertawa.
"Anak-anak, waktunya makan siang!" teriakan bunda menggelegar.
"Marvel makan dulu ya, Kak Rada."
"Iya. Makan yang banyak ya."
"Iya." Marvel berlari menjauh. Menyisakan ruang kosong di sekitar Frada. Kembali ia mengamati mawar merah itu yang katanya memiliki sejarah panjang. Benarkah?