"Jadi, apa tadi yang ingin kamu katakan?" Noval kembali pada pembahasan awal.
"Terima kasih karena sudah membela dan melindungi saya dari orang-orang yang hendak menyakiti saya. Saya senang karena bertemu Anda pada hari itu dan saat ini." Frada tersenyum.
Dia mundur dengan sopan lalu melangkah dengan perlahan. Tak lupa tangannya masih setia menyeret gagang infus. Frada berjalan munuju ayahnya. Utusan tadi memimpin. Angin berhembus. Menggelayutkan helai-helai rambutnya. Sorot mata yang sendu perlahan berubah. Keraguan yang mulanya menyusup perlahan sirna. Dia harus mengkonfirmasi kematian Bik Mona dan Pak Ruslan. Dia tak ingin percaya hanya dari mulut Arkana Adam. Anak itu … sudah terlalu sering membodohinya. Mungkin kali ini ia juga kembali melakukannya.
***
Yudhistira menyilangkan kakinya dengan santai dalam ruang rawat itu. Kelopak matanya menutup menyembunyikan bola mata berwarna hitam kecoklatan. Yudhistira menyandarkan kepalanya pada dinding belakang. Ia nampak lelah.
Di tubuhnya seperti ada berton-ton beban yang menggantung. nampak akan mematahkan kedua pundaknya. Ia letih. Dia ingin beristirahat sedikit saja.
Ruangan yang tenang dan dingin itu terlalu nyaman untuknya. Hingga tanpa sadar ia jatuh pada mimpi yang indah.
KRIET
Pintu ruangan terbuka. Frada masuk setelah dipersilahkan oleh utusan itu. Tangannya dengan setia mendorong gagang infus. Sekejap tatapannya jatuh pada seorang lelaki paruh baya di sofa. Pria itu tertidur? Frada tidak tahu. Dengan hati-hati Frada membawa gagang infusnya menuju sofa. Ruangan ini memang kelas VIP. Tidak hanya menyediakan kasur tunggal, di sini juga dilengkapi oleh sofa dan meja. Mungkin di khusukan untuk orang yang membesuk atau keluarga yang menemani.
Sayangnya Frada tak memiliki itu semua. Mimpi yang mencoba Frada jauhkan akan selalu membelenggu ketika ia melihat kursi dan meja itu. untuk apa semua itu? tidak akan ada yang datang melihatnya. Apakah itu hanya suatu siasat untuk mengingatkannya bahwa dia sendiri. Dia tak memiliki siapa-siapa. Frada … hanyalah dia seorang.
Frada duduk tepat di depan ayahnya yang masih tertidur. Dia mengamati lekuk wajah itu. Ada garis-garis halus di sana. Namun entah mengapa sama sekali tak mengurangi kadar ketampanannya. Frada penasaran, bagaimana rupa ayahnya ketika masih muda? Pasti lebih tampan lagi, kan? apakah itu juga yang membuat ibu Frada rela untuk menjadi orang ketiga? Merusak kebahagiaan orang lain.
Tidak …
Frada menggeleng. Untuk apa mengingat wanita itu? perempuan yang tega meninggalkannya sendiri ketika dirinya masih begitu kecil. Agh, Frada tak ingin mengingatnya!
"Kamu sudah kembali?"
Frada berjingkat. Suara itu datang tiba-tiba. Mata yang mulanya tertutup kini telah tebuka. Memperlihatkan iris berwarna hitam kecoklatan. Warna mata yang sama dengan dirinya.
"Ya."
"Ayah tak akan berlama-lama. Besok kamu akan segera pindah ke New Zhiland. Tiket dan paspor sudah ayah siapkan. Kamu juga akan menjalani pengobatan di sana. Ayah sudah menelepon kenalan di sana. Jadi kamu tidak perlu khawatir."
Tangan Frada mengepal. Hanya itu? mengapa tak ada pertanyaan untuknya? Mengapa yang ada hanyalah sebuah perintah tuk segera meninggalkan negara ini?
"Ayah—ah, bukan. Mungkin lebih tepatnya Tuan Besar. Saya sudah tak apa-apa. Saya sudah membaik. Silahkan batalkan janji dengan dokter itu. Toh juga jika saya mati, bukankah lebih baik untuk Anda dan keluarga Anda? Tak akan ada lagi aib yang harus ditutupi."
Gerakan Yudhistira yang hendak berdiri mendadak berhenti. Matanya menyorot tajam pada gadis di depannya. Suara gigi terdengar bergemelatuk.
"Kenapa Anda hanya diam? Apakah ucapan saya salah?"
"Tidurlah. Sepertinya kamu sudah terlalu kelelahan."
"Ayah! Apa aku bukan anakmu?" Frada menahan air mata yang hendak tumpah. Sebisa mungkin dia mnghentikan genangan air mata ini.
"Tidurlah."
"Kumohon. Mengapa kamu begitu ingin mengusirku? Jika seperti ini, bukankah lebih baik kamu tidak pernah mengambilku dari panti?! Bukankah lebaih bagus jika kita tidak saling mengetahui satu sama lain?! Jawab!"
Luruh. Semua keluar. Kemarahan yang dia pendam begitu lama akhirnya meledak. Air mata yang berusaha dia bendung akhirnya pecah. Frada sudah tak sanggup. Ketidak pedulian ayahnya sama sekali tak dimengertinya.
Mengapa? Mengapa hanya dirinya yang diperlakukan berbeda?
"Kamu tidak memiliki hak untuk menanyakan itu." Tajam dan dingin. Seperti itulah nada suaranya ketika menjawab pertanyaan. Di mana nada lembut nan pengertian ketika berbicara dengan Arkan maupun Aron?
Frada meringis, "Baiklah. Saya tidak akan menanyakan itu lagi."
"Baguslah. Sekarang tidurlah. Sepertinya kamu terlalu kelelahan." Yudhistira berdiri. Beranjak meninggalkan tempat duduk. Ketika berada diambang pintu, pertanyaan Frada kembali menahannya.
"Apakah Bik Mona dan Pak Ruslan benar-benar tidak selamat?"
Yudhistira menoleh sebentar untuk kemudian menjawab tanpa ragu, "ya." Yudhistira menghilang di balik pintu. Secara otomatis ruangan ini kembali pada keheningan yang mengerikan.
Tubuh Frada lemas. Kabar yang dia harapkan bohong nyatanya benar-benar terbukti. Yudhistira tak mungkin membodohinya. Lelaki itu bukanlah orang yanga akan membual berita tak benar.
"Argh!"
Kenapa? Dia hanya merasakan kasih sayang orang tua dari kedua orang itu. Mengapa begitu cepat meninggalkannya? Mengapa tuhan begitu tak adil padanya? Dia sudah melupakan wajah ibunya, tak mendapat kasih sayang ayahnya. Dicemooh keluarga ayahnya. Dan juga sebentar lago akan dibuang. Lantas mengapa ketika dia mulai mendapat perasaan dari orang tua … keduanya harus pergi secepat ini?
Bayang-bayang Bik Mona dan Pak Ruslan menari-nari di kepalanya. Mereka berdua tersenyum. Mereka nampak bahagia tanpa Frada. apakah begitu? mungkinkah sebenarnya Bik Mona dan Pak Ruslan lebih bahagia tanpa ada Frada di sekitar mereka?
"Tidak 'kan, Bik? Kalian lebih bahagia jika tetap ada aku?" Frada bertanya pada keheningan. Hanya saja tak ada yang menjawab. Ruangan ini terkalahkan dingin dan sunyi.
"Kenapa Bibik nggak jawab? Bik Mona tidak sedang ingi meninggalkanku, kan?Bik Mona. Jangan tinggalkan aku. Jangan pergi."
Frada bertanya pada bayang-bayang yang menari di kepalanya.
Tak ada jawaban. Suasana hening ini membuat Frada semakin meringkuk pada kehampaan. Kegelapan di hatinya entah kapan akan menemui terang. Dia lelah. Mengapa tidak sekalian Bik Mona mengajaknya? Setidaknya dia tak akan merasakan kesunyian ini.
"Pak Ruslan. Frada juga ingin ikut."
Isakannya menyayat ruangan ini. Luka itu … Frada berharap kan segera sembuh. Hatinya yang terasa pecah semoga bisa segera menyatu. Frada meluruhkan diri pada lantai dingin. Kakinya terhimpit meja dan kursi. Menekuk di antara keduanya. Darah merembes oleh selang infus yang ditarik paksa kebawah.
Namun … sekali lagi. Luka luar ini bukanlah apa-apa. Perasaannya yang kini terbelah. Frada tak tahu harus bagaimana. Dia hancur.
***
Hai hai! adakah yang menikmati kisah Frada? semoga ada ya. aku mau tanya nih, menurut kalian bagaimana sih sifat ayah kandung Frada? mengapa ia kadang-kadang cuek namun juga perhatian? kan penulis jadi bingung. ups!
hehe tolong jawab ya.
silahkan isi di kolom komentar.
Kamis, 29 Oktober 2020
salam sayang,
Zafa Diah