Mentari belum nampak sepenuhnya. Namun bunyi kasak-kusuk para pengawal utusan ayahnya sudah mengganggu pendengaran Frada. Apa ayahnya sama sekali tak ingin mengundur waktu barang satu jam pun?
Sepagi ini orang-orang itu telah berbaris dan menyuruhnya bergegas. Frada ingin marah. Hanya saja untuk melakukan itu pun dirinya tak berhak. Ah, setidaknya dia ingin mengunjungi makam bibi dan paman. Frada ingin mengunjungi mereka untuk terakhir kali. Karena Frada tak yakin, dia akan kembali ke negeri ini.
"Nona, silahkan masuk. Pesawat akan lepas landas satu jam lagi. Setidaknya Anda harus di sana setengah jam sebelumnya."
Seorang pengawal memberi tahu. Frada hanya diam. Ada satu harapannya yang sangat ingin dia wujudkan. Tak bisakah? Hanya satu. Dan itu bukanlah suatu yang mahal.
"Saya ingin melayat ke makam Pak Ruslan dan istrinya."
"Maafkan kami. Tapi Anda sama sekali tak ada waktu. Kondisi tubuh Anda juga masih terlalu lemah."
"Ya. Kondisiku terlalu lemah. Tapi aku masih harus naik pesawat berjam-jam lamanya."
"Nona …"
Frada tersenyum miris. Nada itu tersirat permohonan. Apakah sebegitu tak ada waktu baginya? "Hanya sebentar saja. Aku hanya akan menyampaikan salam perpisahan. Aku tak akan melakukan apapun."
"Maaf. Silahkan masuk ke dalam."
Frada menghela napas. akhirnya seperti ini. Tak ada kesempatan baginya bahkan hanya untuk berduka. Frada masuk ke dalam. Ada satu tas tangan yang sudah menunggu. Tas itu berwarna hitam polos tanpa ada corak lain. Ada satu merek brand ternama yang menghiasi. Sepertinya ini adalah hadiah terakhir dari salah satu orang rumah. Frada membukanya. Paspor dan dompet menjadi hiasan di dalam. Kembali, Frada menjatuhkan air matanya. Rencananya, dia seharusnya tinggal di sana dengan Bik Mona dan Pak Ruslan. Seharusnya dia tak akan sendirian. Dia bisa memiliki keluarga sendiri. Ya … seharusnya. Kata itu serasa menjadi kutukan. Apa mungkin jika mereka tak di tugaskan menemaninya keluar negeri, mereka tak akan mati. Mereka tak akan meninggalkannya.
Itu semua salah Frada!
Sekali lagi dia terisak. Tanpa pelukan. Tanpa kehangatan. Mobil ini melaju begitu cepat. Sama sekali tak memerdulikan seorang gadis yang kalut di jok belakang. Sendirian. Memeluk dalam sepi.
Mobil berhenti pada pom bensin. Aroma bahan bakar itu samar-samar tercium. Oh tidak! Bayangan mobil yang terguling kembali menghatui. Bik Mona dan Pak Ruslan bersimbah darah di dekatnya. Ah, kenangan ini menakutinya. Frada membuka pintu. Perutnya mendadak bergejolak. Ketakutan menguasai. Bagiamana jika mobil itu juga berguling? Lalu pengawal itu hanya akan membeku di depan matanya.
Tidak!
Jangan!
Jangan lagi yang seperti Bik Mona dan Pak Ruslan!
Frada mohon …
BRUK!
Frada tak sadarkan diri. Para pengawal yang semula hanya berjaga beberapa langkah mulai berhamburan kepadanya. Frada kembali pingsan. Wajahnya pucat pasi. Nyaris seperti mayat. Beruntung napas masih beraturan keluar dari hidung.
Kembali dia dilarikan ke rumah sakit yang sama dan di kamar yang sama. Dan lagi … dia sadarkan diri tanpa ada seorang yang menjaga.
***
"Apakah kamu tidak bisa meninggalkan Negara ini tanpa insiden apa-apa?"
Yudhistira menatap tajam wajah pucat putrinya. Tak ada kelembutan apalagi kehangatan. Hanya aura mengancam yang dia keluarkan untuk mengintimidasi Frada. Kenapa gadis itu tidak bisa meninggalkannya dengan tenang? Belum cukupkah beban yang dia berikan bertahun-tahun ini?
Yudhistira benar-benar tak habis pikir. Mengapa begitu susah memindahkannya pergi? Menjauh dan hilang. Argh! Yudhistira benar-benar ingin mengutuknya. Larasati sudah memberinya ancaman lagi pagi ini. Dan gadis ini lagi-lagi kembali dengan melewatkan penerbangan.
"Maaf, Tuan Besar." Suara Frada lemah membalas ayahnya.
Tangan Yudhistira mengepal. Entah mengapa ada rasa sakit yang mengerumuninya ketika mendengar panggilan tuan besar. Bukankah sewajarnya dia memanggil itu? karena sejatinya … Yudhistira sudah memutuskan untuk membuangnya.
"Sore ini. aku tak peduli apapun yang tejadi, kamu harus segera meninggalkan Indonesia. Meski kamu harus menaiki pesawat dengan kursi roda. Aku akan memastikan sendiri, kamu menaiki pesawatmu."
Frada tersenyum miris. Yah, memang dia berharap apalagi pada jawaban ayahnya? Tak ada lagi kepedulian seperti dulu. Dia adalah orang asing mulai saat ini dan seterusnya.
"Ya, Tuan Besar."
"Sekarang cepat minum obatmu. Setidaknya kamu harus memiliki tenaga selama di penerbangan nanti." Yudhistira berlalu pergi tanpa salam. Untuk apa? Dia adalah Tuan Besar dari kediaman yang memiliki kuasa. Sedangkan Frada tak ubahnya anak yang dibiayai. Dia … hanyalah seorang pengemis baginya.
BRUK!
"Argh! Sakit sekali."
Frada berjingkat. Suara apa itu? kenapa ada benda jatuh begitu besar di kamarnya? Tunggu, tapi tadi sepertinya suara manusia. Karena Frada memahaminya. Dia layangkan pandangan pada sumber. Seorang gadis berdiri dengan tertatih. Bukankah gadis itu … Yumna? Adik dari penolongnya.
"Hai! Sepertinya keadaanmu memburuk lagi ya?" Dia menyapa santai ketika di depan Frada. Meski ada raut kesakitan. Namun entah mengapa tak menutupi aura keceriaannya. Gadis ini sepertinya penuh cahaya. Tidak spertinya yang kelabu.
"Kamu kenapa bisa di sini?"
"Jenguk kamu." Dia menarik kursi di samping kasur.
"Ah, terimakasih." Ini pertama kalinya seseorang datang menjenguknya. Terlebih gadis ini. Frada hanya menemuinya satu kali. Itupun baru kemarin.
"Kenapa terimakasih?" Dia betanya heran.
"Bukan. Bukan apa-apa."
Yumna memandangnya sejenak. Dia melemparkan pandangan aneh. Yeah, mungkin baginya Frada memanglah gadis aneh yang berterima kasih ketika dijenguk.
"Sama-sama. Selama ini aku tak pernah mendapat ucapan itu ketika menjenguk orang. Yah … mereka memang orang aneh." Dia tersenyum pasrah. "Omong-omong kita belum berkenalan, kan?"
Frada tersenyum kikuk. Memang benar. Dari mereka belum ada perkenalan secara resmi. Frada mengetahui namanya karena Noval menyebutkan kemarin. Betapa bodohnya dia. yumna pasti tidak mengetahui namanya. Namun … mengapa masih mau repot-repot menjenguknya?
"Namaku Yumna Khaura Adriyani. Siapa namamu?"
"Frada. Frada Aurelia." Frada menjawab dengan tersenyum. Ya, namanya hanya Frada Aurelia. Sama sekali tak ada embel-embel Adam di belakangnya.
"Rada. Aku akan memanggilmu itu."
"ya. Silahkan."
"Kamu akan memanggilku apa?"
"Memangnya kamu ingin dipanggil apa?"
"Terserah sih. Tapi bagaimana kalau Yumna?" Frada mengangguk mengiyakan.
"Tadi pagi aku melihatmu. Masuk mobil dengan dikepung pengawal."
"Kamu melihatnya?"
"Ya. Kamu dipaksa masuk namun enggan."
Frada tak menyangka, intuisi Yumna ternyata setajam itu. Apakah ekspresi wajahnya sangat terlihat jelas? Namun mengapa para pengawal itu tak memilki hati untuk menurutinya?
"Kamu dipaksa pergi, kan? memangnya orang tua tadi siapa? Kenapa nggak punya hati begitu?" Yumna mencerca pertanyaan bertubi-tubi. Sepertinya cukup jengkel dengan ucapan Yudhistira tadi.
"Dia … orang yang membiayaiku. Oh iya. Kamu sudah sejak kapan di sana?" Frada baru sadar. Ketika dia bangun dari pingsan, dia sendiri. Lantas sejak kapan Yumna berada di langit-langit kamarnya?
"Entahlah. Mungkin sekitar lima belas menit. Pokonya ketika aku sampai di jendela. Orang tua itu sudah masuk."
HAH?! Sepertinya Yumna ini orang gila. Bagaimana gadis sepertinya bisa memanjat jendela setinggi itu?
"Hey, apakah kamu dipaksa pergi?" Jadi Yumna mendengarnya ya?
Frada tesenyum kecut. "Seperti itulah."
"Kenapa kamu tidak menolak jika tidak mau?"
"Karena tak punya hak." Yumna tak membalas. Karena memang jawaban itu adalah dangkal dan terlalu mampu dimengerti.
"Kamu masih manusia, kan?"
"Apa?" Frada tak mengerti. Menagapa bertanya pertanyaan macam itu?
"Selama kamu masih manusia. Kamu memiliki hak atas hidumu sendiri. Pilihanmu adalah jalanmu. Orang lain tak berhak menginterupsi apalagi memaksa kehendak mereka."
Ya … manusia memang memilki hak. Namun Frada bukanlah manusia. Dia tak ubahnya benda mati bagi orang-orang sekitarnya.