Chereads / All I Ask / Chapter 8 - 8# Hanyalah Anak Haram

Chapter 8 - 8# Hanyalah Anak Haram

"Kamu jangan bermimpi akan dianggap tuan putri. Anak haram sepertimu bahkan tak pantas disandingkan dengan pemulung!"

Jangan katakan itu!

"Dasar! Anak haram, bodoh lagi! Jangan harap ada yang mau jadi temanmu!"

Tidak! Aku punya teman!

"Anak haram sepertimu, itu nggak pantas ada di dunia ini. Bahkan bumi pun menolakmu."

Tutup mulutmu!

Frada menutup telinganya. Mencoba menghalau suara-suara yang terus bergema. Belum lagi wajah-wajah itu. Mereka seakan menikmati apa yang telah dilakukan. Manusia biadab!

Haah … haah!

Dia terbangun dengan napas memburu. Mimpi barusan benar-benar membuatnya ketakutan. Keringat menyerbak. Detak jantung seperti baru berlari berkilo-kilo meter. Frada menangkupkan wajahnya pada telapak tangan. Sudah … jangan diingat. Itu hanya mimpi buruk. Hanya mimpi buruk. Mimpi yang sebenarnya pernah dia lalui. Kenangan itu kembali melintas. Di mana dia selalu dicemooh oleh ibu dan kedua kakak tirinya. Dia anak haram. Tak mungkin memiliki teman. Tak akan ada yang mau menerimanya. Bahkan bumipun akan menolaknya kelak.

Ugh, perut Frada melilit. Detak jantungnya kian tak karuan. Memori-memori buruk kembali melintas. Dia harus apa? Bagaimana caranya menghilangkan bayang-bayang itu?

"Frada, kamu sudah bangun?" Dia menoleh pada sumber suara. Itu ibu Afandhi. Beberapa saat yang lalu beliau menyuruhnya memanggil bunda.

Bunda? Sebuah kata yang rancu pada hidup Frada. Dia tak pernah memanggil seseorang dengan sebutan itu bahkan ibu kandungnya sendiri. Apakah perempuan itu akan mengusirnya ketika tahu dia anak haram? Pasti iya. Memang siapa yang mau menerima anak haram? Tidak ada.

"Ini makan buburnya. Ya ampun, wajahmu pucat sekali!" Sejak kapan perempuan itu duduk di depan Frada? "Badanmu tidak demam. Tapi terasa dingin. Apa kamu kedinginan? Ini memang musim hujan sih. Apa perlu Bunda ambilkan selimut lagi? Ah, Fandhi! Bawakan selimut buat Frada!"

Panjang sekali kalimat itu. Apa memang semua ibu secerewet ini? Kadang kala dia juga melihat Larasati begitu cerewet kepada dua putranya. Tanpa sadar Frada tersenyum. Hatinya menghangat. Perasaan ini pernah ia lalui. Dulu yang akan perhatian dan cerewet padanya hanyalah Bik Mira dan Pak Ruslan. Mereka akan selalu memprioritaskan Frada diatas segalanya seperti anak sendiri. Bik Mira … Pak Ruslan, apa kalian sudah bahagia?

"Frada, kenapa kamu menagis? Apa tadi Bunda terlalu kasar?"

Air matanya mengalir begitu saja. Ketika mengingat Bik Mira dan Pak Ruslan entah mengapa perasaannya menjadi kacau balau. Kenangan tentang mereka adalah yang paling berharaga sekaligus menyayat.

"Apa ada yang sakit, Nak?"

Frada menggeleng. Ditatapnya bunda dengan keputusasaan. "Bund, apa Rada boleh meluk Bunda?"

"Sini, peluk Bunda."

Bunda mengulurkan tangannya lebar. Frada meyambutnya cepat. Dia butuh pelukan. Dia menginginkan seseorang untuk sandaran. Dia lelah. Dengan semuanya. Dengan apapun. Frada lelah. Dia ingin pergi. Secepatnya. Sejauh mungkin. Dia tak ingin dilukai kembali.

Tangisan Frada mengisi ruangan itu. Bunda hanya menepuk-nepuk bahunya perlahan. Memberikan dukungan apapun kepada gadis itu. Meski tak mengatakan apapun, tapi bunda tahu. Anak ini memeiliki ribuan duka. Ada begitu banyak sayatan di hatinya. Punggung yang ringkih diterpa begitu banyak cobaan. Gadis ini, pasti memiliki banyak luka.

***

"Apakah sudah enakan?"

Frada mengangguk. Sedari tadi dia hanya menunduk. Mencoba bersembunyi dari mata menelisik bunda. Ugh, malunya. Bagaiman bisa dia menangis begitu saja pada pelukan orang asing? Ini bukan gayanya. Seberat apapun masalahnya, dia tak pernah menangis begitu saja dihadapan orang lain.

"Ya udah. Ini buburnya dimakan. Ini sudah hampir dingin sih. Sepertinya harus menghangatkan sekali lagi." Bunda hendak beranjak. Namun tangan Frada menahannya.

"Tidak apa-apa. Saya tidak masalah."

"Tidak apa-apa. Tunggung sebentar ya."

Akhirnya Frada tak mampu mencegah belaiu pergi. Rasanya semakin tak enak. Dia seakan menjadi benalu yang merepotkan. Pasti bunda juga berpikir demikian.

"Nggak masalah, Da. Bunda pasti juga nggak pengen kamu makan makan yang sudah hampir dingin itu." Rupanya Yumna. Ia kini tengah berjalan kearahnya. "Kamu nggak perlu merasa sungkan. Bunda dan Kak Fandhi juga pasti sangat senang kok bantuin kamu. Mereka tuh suka anak perempuan seperti kita."

Frada mengerjap. Mengembuskan napas berat. "Kamu sih bisa biasa saja, Yum. Kan kamu anak dan adik mereka."

"Nggak kok. Aku bukan bagian keluarga ini. Bukannya kamu sudah tahu kakakku ya?"

Noval? Tentu saja Frada tahu. Namun, "Bukannya Kak fandhi juga kakakmu?"

"Bukan. Kak Fandhi tuh anak bunda. Terus aku juga orang asing seperti kamu. Lagian wajahku dengan Kak Fandhi nggak ada mirip-miripnya. Dia yang seperti orang arab mana mirip dengan wajah orientalku!" sungut Yumna panjang lebar.

Memang benar sih, rupa Yumna berbeda dengan Fandhi. Tapi patokan sedarah itu bukan hanya dengan sebatas kemiripan belaka, kan? Toh juga bunda nampak keturunan jawa-nya.

Frada mengembuskan napas panjang. "Banyak kok saudara yang enggak mirip."

"Iya, sih. Tapi aku bukan adiknya Kak Fandhi. Titik."

Yumna menekankan bukan adiknya Fandhi. Mengapa tidak sekalian dengan bukan anaknya bunda? Seperti ada yang tidak ia sukai sebagai adiknya Fandhi. Tapi bukan dengan anaknya bunda. Ah, terserah. Memikirkan itu, Frada menjadi pusing.

"Iya, kamu bukan adiknya Fandhi. Kan mau jadi pacarnya. Masak iya jadi adiknya."

Bunda datang dengan semangkuk bubur. Yumna melompat menghampiri bunda. Ia berjingkat dengan tatapan tajam. Rona merah di pipinya sama sekali tak mampu ditutupi. Hahaha, ternyata Yumna menyukai Kak Fandhi. Pantas saja ia tak mau menjadi adiknya.

"Hahaha." Tanpa sadar tawa Frada menguar. Lucu sekali tingkah Yumna.

"Hei jangan tertawa! Tuh kan gara-gara Bunda aku diketawain!"

Yumna menagkup wajahnya kemudian berlari keluar kamar. Lucunya. Pasti asyik sekali jika ada seseorang yang mengisi hati. Frada juga ingin. Tapi hatinya sama sekali belum terbuka pada siapapun. Meski kadang ada anak laki-laki yang mencoba modus padanya namun Frada sama sekali belum tertarik.

"Dia lucu, kan?"

Frada mengangguk setuju dengan ucapan bunda. Tangannya menerima mangkuk bubur yang uapnya masih mengepul. Perlahan dia mencoba memakan bubur itu. Hm, hambar. Mungkin ini efek lidahnya.

"Dulu Yumna juga hampir sama sepertimu. Bedanya dia anak urakan yang tak mudah diatur. Sementara kamu anak pendiam dengan segala bebanmu. Dia kehilangan orang tuanya diusia belia. Dan hanya tinngal bertiga dengan kakak-kakaknya. Dia kekuarangan kasih sayang orang tua. Karena bagaiamanpun, kedua kakaknya tidak akan bisa meggantikan perhatian orang tuanya."

Yumna memiliki masalu seperti itu? Ia begitu ceria. Sama sekali tak nampak seperti anak yatim piatu. Ia hampir sama sepertinya. Bedanya, sepertinya ia memiliki kakak-kakak yang mengasihinya. Sedangkan Frada tidak.

Bunda mengulurkan tangannya. Mengelus rambut panjang Frada perlahan. "Tak apa kamu tidak mau cerita dengan Bunda atau yang lainnya. Itu hak kamu. Tapi kalau boleh Bunda minta, tolong jangan pendam luka itu sendiri. Kamu juga berhak tersenyum tanpa dibayangi duka."

Buram, air matanya merebak ditengah kunyahan bubur. Frada susah payah menelan makanan itu. Kata-kata bunda meluncur langsung pada sanubari. Frada juga ingin berbagi namun sekali lagi, semua orang tak akan menerima anak haram.