"Hei, kita sudah aman. Kamu tak perlu setakut itu."
Frada membuka matanya ketika suara Yumna menuyuruhnya lebih tenang. Ya, orang-orang itu memang sudah tak mengejar. Mereka kini tengah melaju pada jalan tol. Jalanan ini … Frada menggigil. Ini adalah jalan yang dilewatinya ketika sebelum kecelakaan kala itu. Bayangan mobil terguling itu kembali. Napas Frada tercekat. Jantungnya semakin tak terkendali. Tiba-tiba saja perutnya juga ikut bergejolak. Ugh, Frada mulai tak tahan.
"Kamu kenapa?" tanya Yumna. Keadaan Frada sama sekali bukanlah hal yang wajar. Beberapa saat yang lalu gadis itu memang ketakutan. Namun bukan yang seekstrim ini. Dia tidak hanya merasa takut. Namun ada beberapa hal yang tak mampu Yumna definisikan.
"Kamu mau muntah?" Taka da jawaban. "Kak, kita bisa menepikan mobil dulu?"
"Nggak bisa, Yum. Saat ini tengah berada di jalan tol. Kita bisa kena tilang."
Yumna berdecak. Dia mencoba mencari benda apapun yang bisa menjadi tempat membuang kotoran itu. Dia tak ingin mobil ini kotor. Tapi mana? Tidak ketemu! "Ck!"
"Ugh."
Frada sudah tak mampu menahannya. Dia memuntahkan apa saja yang keluar dari mulutnya. Rasa pahit mengelilinginya. Ugh, bagaiamana ini? ini mobil temannya Yumna. Bagaimana ia bisa melakukan ini? Bagiamana ia akan bertanggung jwaba nanti? Ia tak membawa uang sepeserpun.
"Gimana? Sudah merasa baikan?" Itu suara teman Yumna.
Frada mengangguk sungkan. "Iya."
"Tak apa. kebetulan aku memang berencana menyucikan mobil ini. kamu tidak perlu sefrustasi itu."
"Terimakasih. Tapi jika ada yang bisa kulakukan, aku pasti akan melaksanakannya."
"Yang perlu kamu lakukan? Istirahatlah hingga sembuh. Supaya orang yang ada di samping itu ini tidak terlalu mencemaskanmu."
"Si—siapa yang mencemaskannya? Kita juga baru bertemu beberapa kali tahu!" Yumna menyambut jutek. Dia memalingkan wajah ke jendela. Berusaha menyembunyikan semu merah di pipi. Pun dengan tangannya yang terkepal bermaksud memukul pemuda itu.
"Benarkah? Lalu kenapa kamu seberusaha itu membantunya? Sampai berani berhadapan dengan para bodyguard itu."
"Kak Fandhi!" Tak tahan lagi, Yumna melayangkan tinjunya pada lengan kekar itu. Namun sepertinya pukulan itu hanyalah uluran tangan anak kecil baginya. Fandhi hanya membalas dengan kekehan.
"Nggak usah dengerin orang gila ini! Ngomong-ngomong kamu mabuk kendaraan, ya? Sampai muntah begitu."
Bukan—bukan itu. Alasan Frada muntah tadi adalah karena mengingat kecelakaan kala itu. kejadian itu terlalu membekas pada memori. Fradapun tak mengerti harus melakukan apa. Ia selalu kalah dengan ketakutan dan kekalutannya.
"Iya. Sepertinya begitu."
"Sepertinya bukan begitu. Kamu tak pandai berbohong, Rada." Yumna menebak akurat. "Namun tak apa jika kamu nggak mau cerita. Kamu berhak memiliki privasimu sendiri."
Entah mengapa, kata-kata Yumna yang sederhana itu mampu membuatnya kembali tenang. Perutnya mulai kembali normal. Detak jantung dan napasnya juga tak sekaruan tadi. Mungkinkah … karena ini pertama kali baginya diperlakukan selayaknya seorang teman?
***
Mobil mulai berbelok pada sebuah gang. Mereka berhenti tepat di depan sebuah rumah kayu yang nampak asri. Banyak pepohonan mengelilingi. Suasana terlihat sejuk. Ini pertama kalinya bagi Frada melihat pemandangan yang begitu hijau.
"Kita sudah sampai." Fandhi keluar. Tangannya mengulur membukakan pintu untuk Frada. "Apakah kamu perlu kugendong kembali?"
Frada menggeleng, "tidak. Terimakasih." Ia tak ingin lagi merepotkannya. Meski tubuhnya sangat lemah karena keadaan tubuhnya yang belum pulih dan muntah tadi. Namun setidaknya Frada masih mampu berjalan sendiri.
"Sini, kubantu." Yumna meraih tangannya. Menuntunnya dengan perlahan. Jujur saja, sampai sekarang Frada tak mengerti kenapa Yumna begitu baik padanya. Apakah tulus atau ada sesuatu yang diinginkan.
Bukan apa-apa. Frada sudah terlalu biasa mendapati keadaan seperti itu. semua orang—kecuali Bik Mona dan Pak Ruslan—akan bersikap baik padanya ketika ada kemauan. Setelah mencapai, mereka akan kembali ke sikap semula. Dingin.
"Terima kasih."
"Ini bukan masalah."
"Tetap saja, terimakasih."
"Terserah."
Yumna membimbingnya duduk pada kursi teras rumah. Fandhi sudah tak nampak lagi. entah di mana pemuda itu. Harum aroma mawar menguar. Frada menolehkan kepalanya. Ternyata di sebelah sana ada taman bunga kecil. Begitu indah. Bunga-bunga di sana bermekaran. Daun-daunnya basah bekas air hujan. Jika dilihat-lihat tanah juga basah. Apa mungkin tadi hujan? Mengingat ini adalah musimnya.
"Yumna."
Seorang wanita paruh baya menyapa dari balik pintu. Frada menduga itu adalah pemilik kediaman ini.
"Bunda."
Itu ibu Yumna? Jadi Yumna dan Fandhi adalah kakak-adik? Mereka bersaudara? Lantas apakah lelaki tadi adalah adiknya Noval? Mengingat perawakannya masih lebih muda. Tapi, apakah mungkin rumah seseorang yang dihormati keluarga Adam sesederhana ini? Apa mungkin keluarganya itu suka kesederhanaan dan enggan menampilkan kekayaannya. Karena jika berhasil diundang dan dan dihormati di keluarga Adam, berarti orang itu bukan orang sembarang.
"Apakah ini anak yang kamu maksud, Fand?"
"Benar, Bund. Bisakan dia tinggal bersama kita selama beberapa hari?"
Hah? Tinggal bersama mereka? Berarti Frada akan menumpang di rumah mereka selama beberapa waktu? Ah, sepertinya itu jalan terbaik untuk saat ini. Yah, meskipun itu berarti Frada harus berutang budi sekali lagi. Tapi, Frada janji. Frada akan membayarnya kelak.
"Nama saya Frada Aurelia, Tante." Frada berinisiatif memberikan salam perkenalan. Bagaimanapun ia harus berlakuk sopan karena ingin menumpang.
"Namamu sangat cantik sepertimu. Oh iya, jangan panggil tante. Panggil saja Bunda seperti Afandhi dan Yumna. Kamu juga akan tinggal beberapa hari di sini kan? jangan terlalu sungkan."
Wanita itu teramat lembut. Dia meraih tangan Frada lalu membimbingnya masuk. Frada tak mengerti, mengapa sebegitu mudanhnya mereka memasukkan orang asing ke dalam rumah? Apakah bagi mereka Frada bukanlah suatu yang harus diwaspadai? Atau … mungkinkah mereka menganggap Frada bagian dari keluargnya.
Ah, mana mungkin. Tidak akan ada orang yang menerima Frada. Si anak haram keluarga Adam. Sebuah Aib yang mestinya terkubur.
Mereka berhenti pada sebuah bilik. Frada disuruh berbaring di sana. Kamar ini tak terlalu luas. Namun cukup nyaman untuk dihuni. "Kamu masih sangat pucat. Istirahatlah. Bunda akan menyiapkan bubur."
Wanita itu tersenyum dan bangkit pergi. Sepertinya benar-benar akan membuatkannya bubur. Mengapa ada manusia sebaik dia? Fandhi dan Yumna juga. Mengapa mereka begitu baik?
Namun ada setitik ketakutan, bagaimana jika kebaikan itu hanya demi menuntut sebuah imbalan? Ugh, Frada tak mengerti. Pikirannya terlalu buyar. Sebaiknya ia mengikuti kata wanita itu. istirahat dan tidur. Ia perlu memulihkan diri.