Chereads / ELBE'S LOVE STORY / Chapter 3 - BAB 2

Chapter 3 - BAB 2

Malam mendekap hari beberapa tahun kemudian. Sang Surya baru saja bergulir ke ufuk barat dan menghilang. Suara orang di surau sedang membaca zikir bersama setelah salat Magrib. Seorang gadis berkacamata memakai gamis berwarna merah muda dan berkerudung abu-abu masuk ke peron stasiun kereta Balapan, Solo. Dengan menyandang ransel di punggungnya, dia berjalan menuju sebuah bangku panjang yang setengah isi. Mereka juga penumpang yang akan naik kereta jurusan Solo-Yogyakarta.

Seorang bapak yang berdandan necis sibuk dengan gawainya. Benda yang bernama gawai memang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Serasa ada yang hilang jika tak ada di tangan. Kehilangannya bisa jadi lebih dikhawatirkan dibanding anak-anak dan waktu salat. Si bapak necis asyik membuka sebuah aplikasi video dengan sebuah earphone di telinga. Bisa dipastikan bapak itu asyik dengan dunianya sendiri.

Di sebelah bapak necis ada seorang ibu yang menyusui bayinya. Di pojok bangku seorang laki-laki yang bercelana jins belel bertopi sedang asyik merokok tanpa mempedulikan sang ibu dan bayi yang ada di dekatnya. Sang ibu sebenarnya merasa terganggu. Namun, si perokok asyik menghembuskan asap rokoknya ke udara. Tidakkah bahaya rokok lebih besar efeknya terhadap perokok pasif. Apalagi ada bayi yang sedang menyusu di sebelahnya. Sayang sekali tak ada ruang khusus menyusui di stasiun sehingga mau tak mau si ibu harus rela kelihatan auratnya, karena sedang menyusui anaknya. Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan hal-hal seperti ini.

Nina heran, tumben hari ini tak ada asongan yang berjualan. Bangku-bangku yang berjajar di sepanjang peron juga terisi orang yang sedang duduk. Yang tak kebagian tempat duduk mereka memilih berdiri sambil bersandar di dinding atau berjongkok di sepanjang selasar.

Gadis itu memperbaiki posisi kacamatanya. Dia seharusnya lebih memikirkan dirinya sendiri. Dia dalam sebuah masalah besar. Raut wajahnya memang tampak tenang, tapi dalam hatinya kebat-kebit tak karuan seperti lentera yang tertiup angin. Diambilnya sebuah buku novel dari tas ranselnya yang berisi mukena dan beberapa diktat kuliah. Aah, mengapa tadi tidak pulang ke kos-kosan dulu menaruh buku baru pulang ke Yogya. Berat, toh tak sempat juga aku belajar kalau di rumah, pikirnya sambil memandangi isi tasnya yang menggembung kebanyakan isi.

Tadi siang saat bubaran kuliah, sebuah pesan WA masuk dari ibunya.

[Cepat pulang Na, kakakmu minggat]

Isi pesan itu membuat hatinya cenat-cenut. Duuh, bikin ulah apalagi mbak Ayu nih? tanyanya dalam hati. Mbak Ayu sebentar lagi mau lamaran dengan sebuah keluarga yang terhormat, kawan ayahnya. Kalau dia minggat, terus apa yang akan keluarganya katakan pada sang calon mertua. Apalagi tinggal tiga hari lagi, sang calon juga akan datang dari luar negeri.

Suara denting pemberitahuan bahwa kereta sebentar lagi akan datang. Nina bersiap untuk menyambut datangnya kereta. Dia memasukkan buku bacaannya ke dalam tas lalu berdiri di pinggir peron. Sebuah kereta malam datang dengan lampunya yang berpendar dari kejauhan. Semakin dekat cahayanya semakin membesar dan menyilaukan mata. Kereta itu berhenti, dan para penumpang langsung menyerbu pintu-pintu kereta yang terbuka.

Perjalanan Solo-Yogyakarta hanya empat puluh menit. Setidaknya Nina bisa tiduran sebentar dalam kereta. Dia duduk di dekat jendela berseberangan dengan seorang perempuan paruh baya yang menggunakan kerudung kaos warna moka dan berjaket rajut. Di pangkuannya ada sebuah tas kulit sederhana. Sepatunya juga dari kulit imitasi. Wajahnya teduh tanpa polesan sama sekali. Perempuan itu tersenyum ramah pada Nina. Ciri khas orang Indonesia yang memang ramah terhadap siapa saja walau tak kenal sekalipun. Nina pun membalas dengan senyuman dan sedikit menganggukkan kepalanya memberi hormat pada yang lebih tua.

Pandangan Nina beralih ke luar melalui jendela. Semua bergerak dengan cepat seakan bangunan-bangunan dan pohon-pohon yang ada di sepanjang rel berlarian di samping kereta. Mereka seakan melakukan perlombaan, walau sebenarnya kereta itulah yang berlari dengan kencang. Bulan purnama di langit mengikutinya kemana pun juga dia bergerak. Waktu kecil Nina sering berjalan sambil memperhatikan langit dan bulan. Dia agak kesal dan heran, mengapa bulan bisa mengikuti dirinya kemana saja. Pandangan Nina kembali kepada perempuan yang ada di hadapannya. Perempuan itu memandang Nina dengan wajah sendu. Nina baru sadar itu.

"Mbaknya ke Yogya sendirian?" tanya perempuan itu.

"Inggih, Bu. Mau pulang kampung," jawab Nina

"Siapa namamu, Cah Ayu?" tanya perempuan itu lagi.

"Nina, Bu," balas Nina sopan.

Perempuan itu tersenyum tapi sorot matanya sendu dan air matanya tiba-tiba menitik. Nina bingung, dan bertanya dalam hati ada apa dengan ibu ini.

"Ibu sakit?" tanya Nina dengan sopan.

"Ah, tidak kok, Cah Ayu, ibu hanya ingat anak perempuan ibu yang sudah tiada. Mohon maaf, wajahnya mirip kamu," terang perempuan sendu itu yang membuat Nina jadi ikut terharu.

Nina tersenyum tapi tak tahu harus bicara apa untuk memberikan rasa nyaman di hati perempuan sendu itu agar berhenti bersedih.

"Anak perempuan saya meninggal karena leukimia setahun yang lalu, mirip kamu, wajahnya, tingginya, hanya saja dia tak berkacamata," ceritanya.

"Inggih, Bu. Yang sabar dan ikhlaskan inggih," akhirnya terucap kalimat untuk menenangkan untuk si Perempuan Sendu.

Senyum pun akhirnya terulas dari bibir sang ibu.

"Rumahmu dimana, Nduk?" tanya si Perempuan Sendu.

"Bantul, Bu. Njenengan?" Nina bertanya balik.

"Dekat sama Malioboro, Nduk," jawab si Perempuan Sendu

Percakapan panjang terjadi untuk menghilangkan kebosanan. Sesekali mereka tertawa ditingkah suara kereta dan bunyi peluit. Tak terasa lebih empat puluh menit berlalu, dan mereka sudah sampai di Stasiun Tugu Yogyakarta. Nina dan sang Perempuan Sendu saling berpamitan di depan stasiun. Nina melambaikan tangan pada perempuan sendu saat masuk ke dalam taksi lalu membawanya pergi menghilang dari pandangan. Nina pun pulang naik taksi.

***

Raut wajah Nina terlihat syok. Dia duduk di sofa ruang keluarga bersama kedua orang tuanya. Bagaimana tidak syok, jika ulah kakaknya, si Ayu yang kabur dari rumah akhirnya berimbas pada dirinya. Ibunya baru saja menyampaikan pada dirinya agar menggantikan posisi Ayu sebagai mempelai keluarga Pramodya. Begitu sampai rumah malam itu, Nina diberitahu ibunya kalau kakak perempuannya itu kabur ke Jerman bersama seorang bule temannya. Padahal tiga hari lagi calon suaminya yang juga bekerja di Jerman akan pulang untuk melihat kakaknya.

Mbak Ayu dan calonnya sejak kecil sudah dijodohkan. Nina bahkan tak tahu siapa dan bagaimana keluarga calon mertua mbak Ayu. Ayahnya bercerita perjodohan itu sesuai dengan wasiat kakek Nina agar menjodohkan anak pertama keluarga Mertodimejo dengan keluarga Pramodya. Kakek mereka dengan kakek dari keluarga Pramodya saling bersahabat sejak zaman revolusi. Mereka sama-sama mengangkat senjata sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia.

Aah, nonsense dengan janji itu! Sebuah perjanjian yang tak masuk akal dan ngawur. Masa aku harus menggantikan posisi Ayu sebagai calon mempelai. Hadeeuuh, pusing kepalaku!

Tak lama kemudian, sebuah panggilan masuk ke gawai ayahnya.

"Inggih Kang Mas, Wa'alaikumsalam," jawab ayahnya ketika panggilan itu diterima.

Ayah Nina menerima telepon sambil berjalan ke arah dapur. Terdengar jelas mereka sedang membicarakan sesuatu tentang perjodohan. Wajah Nina menegang saat ayahnya berjalan kembali ke ruang keluarga dan mengatakan sesuatu yang seakan membuat kilat dan guntur datang menerpa dirinya bersamaan.

"Besok sore mereka datang mau melihat Nina. Si Lintang sudah datang tadi malam dari Jerman," terang ayahnya.

Oh namanya Lintang? Bagus, tapi apakah orangnya juga sebagus dan sebaik namanya?

Jujur saja Nina tak bisa menolak keinginan ayah dan ibunya. Sebagai anak yang berbakti, apakah pantas Nina menolak permintaan orang tuanya, walau harus mengorbankan dirinya sendiri dan segala idealismenya? Nina masih ingin kuliah di Solo melanjutkan sekolah keguruannya. Dia juga masih ingin kumpul bersama anak-anak binaannya di rumah literasi yang sudah dirintisnya bersama teman-teman satu offeringnya. Apakah dia akan kehilangan semuanya dan pindah ke Jerman?

Belum lagi Nina akan kehilangan sosok Handika, anak jurusan Sejarah yang saat ini jadi idamannya, walau Nina tahu tak mungkin Nina pacaran. Nina tahu dosa. Tapi, Handika-lah sosok yang dia inginkan sebagai imamnya kelak. Nina hanya bisa melamun di dalam kamarnya malam itu tanpa mampu sekejap pun memejamkan mata. Jam satu malam dia benar-benar baru bisa tidur.Nina merasa lelah, benar-benar lelah.